Mitologi Kajeng Kliwon
Hari raya merupakan hari istimewa bagi umat Hindu. Intinya, hari raya merupakan ungkapan rasa syukur ke hadapan Sang Kausa Prima. Namun, ada sebuah fenomena religi menarik berkaitan dengan upacara Kajeng Kliwon.
Apakah upacara Kajeng Kliwon berfungsi sebagai ungkapan rasa terima kasih? Kepada siapa dan sebagai apa, itulah pertanyaan yang mengusik.
Upacara Kajeng Keliwon dilaksanakan setiap 15 hari kalender. Upacara dan upakara-upakara yang wajîb dilakukan pada hari Kajeng Kliwon hampir sama dengan upacara dan upakara Kliwon lainnya. Hanya saja segehan-segehannya bertambah dengan nasi-nasi kepel lima warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning, dan brumbun. Tetabuhannya adalah tuak/arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi. Di bawah dihaturkan segehan yang dipersembahkan kepada Sang Butha Bucari, Sang Kala Bucari, dan Sang Durgha Bucari. Jadi, upacara Kajeng Kliwon merupakan Dewa Yadnya, yang memiliki arti upacara pengorbanan suci sebagai persembahan yang tulus dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Pengorbanan suci itu dipercaya akan memberi perlindungan kepada umat manusia. Di samping kesucian, kekeramatan upacara Kajeng Kliwon memperoleh aksentuasi lebih.
Analog dengan situasi saat ini, ‘perilaku liar’ telah menyebar dalam peri kehidupan manusia. Mereka itu sering mendapat suguhan (baca disogok), walau mereka bergeser ke kiri dari pusar kebenaran. Atau, mereka meraup suguhan sendiri dengan rakusnya, tanpa sadar bahwa perilakunya menjauhi etika. Suguhan itu mungkin berwujud ‘materi berakumulasi banyak’, ‘peluang istimewa yang kerap’ atau ‘kedudukan tinggi’ dalam berbagai situasi dan kondisi. Perilaku-perilaku demikian wajib dinafikan, bukan diladeni atau dirahasiakan.
Sebagaimana dijelaskan bahwa pada malam Kajeng Kliwon diselenggarakan rapat atau ‘sangkepan leak’. Mereka melakukan puja bakti memuja Dewa Siwa, Durga, dan Bairawi. Saat ini, situasi dan kondisi Bali serupa dengan malam kajeng kliwon. Bali kini disesaki dengan permasalahan pascapariwisata (post cultural tourism). Kumuhnya lingkungan urban karena pendatang yang mengais rezeki di Bali. Runtuhnya sendi-sendi moral remaja karena terlibat obat bius dan pergaulan bebas. Tercerabutnya kearifan lokal dari sistem beretika di kalangan remaja dan pemuda. Terpinggirkannya penduduk miskin ke sudut-sudut kehidupan gemerlap. Teralihfungsikan tanah menjadi restoran, hotel, vila, dan bangunan pendukung pariwisata lainnya. Komodifikasi seni sakral menjadi seni profan. Glokalisasi kuisin tradisional menjadi konsumsi laris manis, dan aspek kehidupan lainnya yang tidak dapat disebutkan.
Transformasi ‘kawi dalam’ (deep structure) sosio-budaya Bali menjadi ‘kawi permukaan’ (surface structure) seharusnya diberi ‘segehan wanca warna’, agar tidak menimbulkan efek negatif. Misalnya, pembangunan geothermal di Bedugul harus dikaji untung-rugi-manfaatnya bagi kemaslahatan krama Bali. Demikian juga, alih fungsi tanah pertanian menjadi perumahan atau vila harus diwaspadai gerusannya terhadap keyakinan pada Dewi Kesuburan dengan segala manisfestasinya. Pergeseran etika berpikir, berkata, dan berperilaku di kalangan generasi muda harus ditanggulangi agar karakter krama Bali berkesesuaian dengan etika Hindu.
Upacara Kajeng Kliwon dilaksanakan setiap 15 hari kalender. Tetapi upacara penanggulangan efek negatif transformasi kehidupan seharusnya dilakukan setiap saat. Para bhuta kala seakan memiliki kesabaran lebih besar dibandingkan dengan perilaku liar manusia. Bhuta Kala menunggu tenggat waktu 15 hari, sedangkan perilaku liar manusia tidak mengenal waktu, siang maupun malam tidak ada bedanya. Setiap kesempatan digunakan untuk meraih suguhan material dan fisikal. Semoga makna upacara Kajeng Kliwon dapat dijadikan cermin agar krama Bali bisa bertri-kaya-parisudha dengan baik.
Komentar