Orang Bali Membaca Puisi
DULU, sebelum 70-an, tidak ada orang membaca puisi di panggung. Yang ada orang berdeklamasi. Mereka menghafal puisi-puisi itu, lalu menampilkannya di pentas. Para deklamator dan deklamatris itu tampil dengan berbagai gaya, eks-presif, menggerak-gerakkan tangan, menggoyang tubuh. Kadang mata mendelik, mulut menyeringai, sementara otak harus sibuk mengingat puisi.
Jika dalam lomba deklamasi, para deklamator nilainya sangat ditentukan apakah mereka hafal akan puisi itu. Jika tiba-tiba lupa sesaat, nilainya akan berkurang, dan jangan harap jadi pemenang. Maka, mereka harus sungguh-sungguh hebat, tampil tanpa diganggu oleh tatapan mata ke arah kertas, seperti pembaca puisi zaman sekarang. Tatapan mereka bisa tajam menyapu pandangan hadirin. Di zaman lomba deklamasi, kekuatan menghafal, artikulasi, bahasa tubuh, penguasaan panggung, sungguh-sungguh menjadi ciri-ciri kekuatan seorang deklamator. WS Rendra dikenal sebagai juara deklamasi di Jogjakarta, ketika dia masih pelajar.
Lama kelamaan, kebiasaan berdeklamasi surut, diganti poetry reading, yang kini dikenal sebagai seni membaca puisi di panggung. Bahasa tubuh tidak bisa seleluasa dulu di zaman deklamasi, karena mata terhujam ke kertas yang memuat puisi yang dibaca. Belakangan, banyak orang menyimpan puisi di gawai, sehingga ketika membaca puisi, mereka membacanya dari hand phone. Tidak repot, tapi penonton kadang bertanya-tanya, “Apa ya merk handpone-nya?”
Bali tentu saja punya pembaca puisi yang bagus. Gusti Bawa Samar Gantang dari Tabanan, misalnya, sering ditunggu-tunggu kehadirannya kalau ada acara pembacaan puisi. Banyak yang berkomentar, orang Bali punya banyak kemungkinan dalam pembacaan puisi, karena Bali kaya tembang-tembang lawas dalam bentuk puisi yang sangat terbuka untuk dieksplorasi dalam pembacaan puisi di panggung.
Dalam peluncuran buku Bir Bali karya Made Sanggra (1926-2007) yang digelar putra-putranya di rumah budaya Penggak Men Mersi di Kesiman, Denpasar, Rabu, 20 Juni lalu, juga dimeriahkan pembacaan puisi. Puisi Made Sanggra berjudul ‘Gending Tan Pasuling’ dibaca oleh Ketut Rasmini dengan menembangkan Semarandhana. Dia mencoba menunjukkan, orang Bali punya bekal tradisi kuat mengolah pembacaan puisi menjadi penampilan yang khas dan memikat, karena banyak yang piawai makidung dan makekawin.
Beberapa orang tampil dalam acara itu membaca puisi. Ketika puisi dibaca, hadirin diajak sekalian menikmati makan siang nasi bungkus. Budayawan Abu Bakar, yang juga diminta membaca puisi memeriahkan syukuran peluncuran buku itu, mengungkapkan ketidaksetujuannya, jika pas puisi dibaca, hadirin sibuk menikmati santapan. Sebagai penyair, dia tersinggung. “Kita ini tidak menghormati puisi,” keluhnya. Dia meminta hadirin menghentikan sejenak makan siang mereka, dan ayo nikmati puisi-puisi yang dibaca.
Beberapa orang yang sedang lahap menikmati santapan tak sepenuhnya sependapat dengan ajakan Abu. “Tidak apa kita makan sambil menikmati pembacaan puisi. Malah bagus,” ujarnya kepada rekan yang duduk di sebelahnya.
“Tapi, benar juga, kalau kita khusuk menikmati pembacaan puisi, sebaiknya tidak diganggu kegiatan lain,” bela si rekan.
“Aku malah ingin puisi itu dibaca seperti kita mendengarkan musik. Bukankah musik kita nikmati di restoran, di kedai kopi, di kafe, sambil kita menikmati makanan dan minuman?”
Puisi selama ini membutuhkan musik agar puisi semakin dikenal luas. Musikalisasi puisi tidak hanya meramu seni, juga upaya ‘menumpangkan’ puisi pada musik, sehingga semua lapisan bisa menikmatinya. “Maka bersyukurlah kita kalau puisi dibacakan di mal dan di pasar swalayan, didengar oleh mereka yang sedang lalu lalang berbelanja, menikmati nasi goreng atau ketupat opor,” ujar lelaki jangkung yang hadir dalam peluncuran buku itu.
Banyak orang selama ini bangga kalau puisi itu angker seperti mantra, yang dikumandangkan untuk acara-acara sakral semata. Komunitas pecinta puisi pun terbatas, orangnya itu ke itu belaka. Kalau saja orang Bali memanfaatkan tembang-tembang lawas dalam puisi, bisa saja kita mendengar puisi karya Wayan Jengki Sunarta atau Alit S Rini dalam pesantian-pesantian saat odalan di pura. Yang jelas, penyair dan pemusik Tan Lioe Ie sudah acap mengumandangkan puisi karyanya dan karya Umbu Landu Paranggi dalam garapan musiknya, yang diperdengarkan di restoran dan pub. Banyak puisi dalam musik yang dinikmati oleh orang-orang sambil menyeruput kopi, menyantap burger atau mereguk wine.
Beberapa orang yang mendengar musik Yoki (panggilan akrab Tan Lioe Ie) itu, mengaku senang. “Saya jadi makan lebih lahap,” ujarnya. Ketika diberitahu, lirik musik itu berasal dari puisi, dia kaget. “Wah, harus diteruskan dan diperbanyak puisi dalam musik, dan diperdengarkan buat orang yang sedang menikmati hidangan. Ini puisi bisa menjadi obat,” tanggapnya. Semoga makin banyak puisi dibaca di pusat perbelanjaan, restoran, gerai kopi, dinikmati sambil menyantap makanan dan minuman. *
Aryantha Soethama
------------------------
Pengarang
Lama kelamaan, kebiasaan berdeklamasi surut, diganti poetry reading, yang kini dikenal sebagai seni membaca puisi di panggung. Bahasa tubuh tidak bisa seleluasa dulu di zaman deklamasi, karena mata terhujam ke kertas yang memuat puisi yang dibaca. Belakangan, banyak orang menyimpan puisi di gawai, sehingga ketika membaca puisi, mereka membacanya dari hand phone. Tidak repot, tapi penonton kadang bertanya-tanya, “Apa ya merk handpone-nya?”
Bali tentu saja punya pembaca puisi yang bagus. Gusti Bawa Samar Gantang dari Tabanan, misalnya, sering ditunggu-tunggu kehadirannya kalau ada acara pembacaan puisi. Banyak yang berkomentar, orang Bali punya banyak kemungkinan dalam pembacaan puisi, karena Bali kaya tembang-tembang lawas dalam bentuk puisi yang sangat terbuka untuk dieksplorasi dalam pembacaan puisi di panggung.
Dalam peluncuran buku Bir Bali karya Made Sanggra (1926-2007) yang digelar putra-putranya di rumah budaya Penggak Men Mersi di Kesiman, Denpasar, Rabu, 20 Juni lalu, juga dimeriahkan pembacaan puisi. Puisi Made Sanggra berjudul ‘Gending Tan Pasuling’ dibaca oleh Ketut Rasmini dengan menembangkan Semarandhana. Dia mencoba menunjukkan, orang Bali punya bekal tradisi kuat mengolah pembacaan puisi menjadi penampilan yang khas dan memikat, karena banyak yang piawai makidung dan makekawin.
Beberapa orang tampil dalam acara itu membaca puisi. Ketika puisi dibaca, hadirin diajak sekalian menikmati makan siang nasi bungkus. Budayawan Abu Bakar, yang juga diminta membaca puisi memeriahkan syukuran peluncuran buku itu, mengungkapkan ketidaksetujuannya, jika pas puisi dibaca, hadirin sibuk menikmati santapan. Sebagai penyair, dia tersinggung. “Kita ini tidak menghormati puisi,” keluhnya. Dia meminta hadirin menghentikan sejenak makan siang mereka, dan ayo nikmati puisi-puisi yang dibaca.
Beberapa orang yang sedang lahap menikmati santapan tak sepenuhnya sependapat dengan ajakan Abu. “Tidak apa kita makan sambil menikmati pembacaan puisi. Malah bagus,” ujarnya kepada rekan yang duduk di sebelahnya.
“Tapi, benar juga, kalau kita khusuk menikmati pembacaan puisi, sebaiknya tidak diganggu kegiatan lain,” bela si rekan.
“Aku malah ingin puisi itu dibaca seperti kita mendengarkan musik. Bukankah musik kita nikmati di restoran, di kedai kopi, di kafe, sambil kita menikmati makanan dan minuman?”
Puisi selama ini membutuhkan musik agar puisi semakin dikenal luas. Musikalisasi puisi tidak hanya meramu seni, juga upaya ‘menumpangkan’ puisi pada musik, sehingga semua lapisan bisa menikmatinya. “Maka bersyukurlah kita kalau puisi dibacakan di mal dan di pasar swalayan, didengar oleh mereka yang sedang lalu lalang berbelanja, menikmati nasi goreng atau ketupat opor,” ujar lelaki jangkung yang hadir dalam peluncuran buku itu.
Banyak orang selama ini bangga kalau puisi itu angker seperti mantra, yang dikumandangkan untuk acara-acara sakral semata. Komunitas pecinta puisi pun terbatas, orangnya itu ke itu belaka. Kalau saja orang Bali memanfaatkan tembang-tembang lawas dalam puisi, bisa saja kita mendengar puisi karya Wayan Jengki Sunarta atau Alit S Rini dalam pesantian-pesantian saat odalan di pura. Yang jelas, penyair dan pemusik Tan Lioe Ie sudah acap mengumandangkan puisi karyanya dan karya Umbu Landu Paranggi dalam garapan musiknya, yang diperdengarkan di restoran dan pub. Banyak puisi dalam musik yang dinikmati oleh orang-orang sambil menyeruput kopi, menyantap burger atau mereguk wine.
Beberapa orang yang mendengar musik Yoki (panggilan akrab Tan Lioe Ie) itu, mengaku senang. “Saya jadi makan lebih lahap,” ujarnya. Ketika diberitahu, lirik musik itu berasal dari puisi, dia kaget. “Wah, harus diteruskan dan diperbanyak puisi dalam musik, dan diperdengarkan buat orang yang sedang menikmati hidangan. Ini puisi bisa menjadi obat,” tanggapnya. Semoga makin banyak puisi dibaca di pusat perbelanjaan, restoran, gerai kopi, dinikmati sambil menyantap makanan dan minuman. *
Aryantha Soethama
------------------------
Pengarang
1
Komentar