Rizal Ramli Nilai Kasus BLBI Janggal
Kwik Kian Gie sebut Yusril Ihza Mahendra terlibat dalam penerbitan SKL
JAKARTA, NusaBali
Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) periode 2000-2001, Rizal Ramli menilai kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tidak masuk akal.
Rizal mengaku janggal banyaknya pihak yang memiliki kewenangan di atas jabatan Syafruddin tapi tidak ikut dijerat. "Bahasa sederhananya, ini enggak masuk akal. Kok cuma pak Syafruddin yang diperiksa," kata Rizal di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/7).
Menurut Rizal, BPPN tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena harus meminta persetujuan KKSK sebelum mengambil kebijakan. Apalagi terkait dengan kebijakan yang strategis. Aturan ini, kata Rizal, sudah diterapkan selama dirinya menjabat Kepala KKSK.
"Jadi menurut kami agak ajaib kasus ini, kok hanya berhenti di level ketua BPPN. Harusnya sampai level-level di atas-atas, yang selama ini selalu sembunyi, seolah-olah enggak ada tanggung jawab," kata dia seperti dilansir cnnindonesia.
Sementara itu Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie mengatakan praktisi hukum Yusril Ihza Mahendra terlibat dalam penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri.
Aturan itu menjadi dasar hukum penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk para pemilik bank yang berutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). SKL tersebut memberi jaminan pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para penerima BLBI yang dianggap telah melunasi utangnya.
"Seingat saya (Megawati) menugaskan Pak Yusril sebagai Menteri Kehakiman untuk menyusun (aturannya)," kata Kwik Kian Gie dalam sidang perkara korupsi penerbitan SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, (5/7).
Ditemui usai sidang, Yusril membantah pernyataan Kwik. Dia mengatakan draf Inpres tersebut dibuat Menteri Sekretaris Kabinet yang waktu itu dijabat Bambang Kesowo. Menurutnya Menteri Kehakiman tidak berwenang membuat draf Inpres.
"Setelah dicek aslinya, ternyata di situ ada salinan tertanda oleh Deputi Sekretaris Kabinet Lambok Bahartan. Jadi jelas itu dari Sekretariat Kabinet, tidak mungkin dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM," kata Yusril Ihza.
Jika menteri kehakiman yang membuat draf, menurut Yusril, seharusnya ada tanda tangan Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Kehakiman dalam draf. "Saya pernah jadi menteri kehakiman, pernah juga jadi mensesneg. Waktu sebagai mensesneg saya buat draf inpres. Saya kira seperti itulah yang terjadi," kata Yusril dilansir kompas.
Kasus BLBI mencuat sejak Mei 2002. Saat itu, KPK mencium praktik korupsi dalam penerbitan SKL kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Menurut KPK, kewajiban Sjamsul yang mesti diserahkan ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul baru membayarnya lewat penyerahan aset perusahan miliknya, Dipasena, yang nilainya hanya Rp1,1 triliun. Alhasil, Sjamsul memiliki kewajiban Rp3,7 triliun.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak April lalu. Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. *
Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) periode 2000-2001, Rizal Ramli menilai kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tidak masuk akal.
Rizal mengaku janggal banyaknya pihak yang memiliki kewenangan di atas jabatan Syafruddin tapi tidak ikut dijerat. "Bahasa sederhananya, ini enggak masuk akal. Kok cuma pak Syafruddin yang diperiksa," kata Rizal di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/7).
Menurut Rizal, BPPN tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena harus meminta persetujuan KKSK sebelum mengambil kebijakan. Apalagi terkait dengan kebijakan yang strategis. Aturan ini, kata Rizal, sudah diterapkan selama dirinya menjabat Kepala KKSK.
"Jadi menurut kami agak ajaib kasus ini, kok hanya berhenti di level ketua BPPN. Harusnya sampai level-level di atas-atas, yang selama ini selalu sembunyi, seolah-olah enggak ada tanggung jawab," kata dia seperti dilansir cnnindonesia.
Sementara itu Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie mengatakan praktisi hukum Yusril Ihza Mahendra terlibat dalam penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri.
Aturan itu menjadi dasar hukum penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk para pemilik bank yang berutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). SKL tersebut memberi jaminan pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para penerima BLBI yang dianggap telah melunasi utangnya.
"Seingat saya (Megawati) menugaskan Pak Yusril sebagai Menteri Kehakiman untuk menyusun (aturannya)," kata Kwik Kian Gie dalam sidang perkara korupsi penerbitan SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, (5/7).
Ditemui usai sidang, Yusril membantah pernyataan Kwik. Dia mengatakan draf Inpres tersebut dibuat Menteri Sekretaris Kabinet yang waktu itu dijabat Bambang Kesowo. Menurutnya Menteri Kehakiman tidak berwenang membuat draf Inpres.
"Setelah dicek aslinya, ternyata di situ ada salinan tertanda oleh Deputi Sekretaris Kabinet Lambok Bahartan. Jadi jelas itu dari Sekretariat Kabinet, tidak mungkin dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM," kata Yusril Ihza.
Jika menteri kehakiman yang membuat draf, menurut Yusril, seharusnya ada tanda tangan Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Kehakiman dalam draf. "Saya pernah jadi menteri kehakiman, pernah juga jadi mensesneg. Waktu sebagai mensesneg saya buat draf inpres. Saya kira seperti itulah yang terjadi," kata Yusril dilansir kompas.
Kasus BLBI mencuat sejak Mei 2002. Saat itu, KPK mencium praktik korupsi dalam penerbitan SKL kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Menurut KPK, kewajiban Sjamsul yang mesti diserahkan ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul baru membayarnya lewat penyerahan aset perusahan miliknya, Dipasena, yang nilainya hanya Rp1,1 triliun. Alhasil, Sjamsul memiliki kewajiban Rp3,7 triliun.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak April lalu. Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. *
1
Komentar