Topeng Panca Budakeling di PKB
Meski diakui menggarap pertunjukan Topeng Panca ini cukup sulit, namun seniman muda di Budakeling tak putus asa dan tetap semangat berkarya.
Menjaga Jejak Ketulusan Dang Hyang Astapaka
DENPASAR, NusaBali
Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem merupakan salah satu jejak sejarah perjalanan Dang Hyang Astapaka di Bali. Sejumlah seniman yang tergabung dalam Sanggar Seni Citta Wistara, Duta Kabupaten Karangasem pun menampilkan kesenian topeng panca yang menceritakan keberadaan Desa Budakeling itu. Termasuk tiga diantaranya adalah keturunan langsung dari Dang Hyang Astapaka.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Ketua Sanggar Seni Citta Wistara, Ida Wayan Oka Adnyana. “Topeng Panca ini ditarikan oleh 5 orang. Semua karakter topeng ada dalam tarian ini. Dari segi dalem, topeng keras, topeng tua, ada juga patih. Satu penari dari Rendang, satu lagi dari Culik (Abang), sedangkan tiga orang adalah keturunan Dang Hyang Astapaka di Budakeling,” ungkapnya ditemui usai pentas Topeng Panca di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Minggu (8/7).
Bagi Ida Wayan Oka Adnyana, bukan hal mudah menggarap pertunjukan itu. Ada saja kendala yang menghadang dalam proses persiapannya. “Karena ini merupakan seni klasik. Anak-anak agak susah menjiwai karakter tapel. Misalnya topeng tua, yang menarikan adalah yang muda-muda. Jadi gerakannya itu masih dominan ke gerak seperti agak kenceng gitu. Itu yang berat dipelajari oleh anak-anak,” tutur Oka Adnyana.
Kendati demikian mengganggap berkesenian adalah panggilan jiwa. Syukurnya regenerasi untuk kesenian di Budakeling terus berlanjut, tidak pernah putus. “Biasanya berdasarkan garis keturunan. Tapi anak-anak kami semangat meneruskannya. Sebab ini adalah peninggalan leluhur yang harus kami lestarikan,” katanya.
Lakon yang melibatkan 50 penabuh, 5 penari, dan 8 orang pembina ini mengambil judul Tejaning Jnana Kasogathan. “Itu artinya api aura dari ilmu Budha Kasogathan,” tutur Pembina Khusus bagian naskah Sanggar Seni Citta Wistara, Ida Nyoman Sugata. Penampilan itu menceritakan perjalanan Dang Hyang Astapaka dari Kerajaan Klungkung menuju ke Kerajaan Karangasem. Perjalanannya itu didasari rasa kecewa atas ulah Gusti Batan Jeruk yang semula sebagai murid kesanyangannya ingin mengambil alih pimpinan kerajaan di Gelgel setelah Raja Gelgel wafat. Maka Dang Hyang Astapaka menuju ke arah timur menetap di Budekeling.
Salah seorang pengamat seni PKB, Cokorda Raka Tisnu melontarkan pujian. Hanya saja dirinya agak menyayangkan, karena alur ceritanya kurang bagus dan kurang simpel. “Penarinya mampu menjiwai tari yang bawakan. Secara keseluruhan penampilannya bagus,” ungkap Cokorda Raka Tisnu. *ind
DENPASAR, NusaBali
Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem merupakan salah satu jejak sejarah perjalanan Dang Hyang Astapaka di Bali. Sejumlah seniman yang tergabung dalam Sanggar Seni Citta Wistara, Duta Kabupaten Karangasem pun menampilkan kesenian topeng panca yang menceritakan keberadaan Desa Budakeling itu. Termasuk tiga diantaranya adalah keturunan langsung dari Dang Hyang Astapaka.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Ketua Sanggar Seni Citta Wistara, Ida Wayan Oka Adnyana. “Topeng Panca ini ditarikan oleh 5 orang. Semua karakter topeng ada dalam tarian ini. Dari segi dalem, topeng keras, topeng tua, ada juga patih. Satu penari dari Rendang, satu lagi dari Culik (Abang), sedangkan tiga orang adalah keturunan Dang Hyang Astapaka di Budakeling,” ungkapnya ditemui usai pentas Topeng Panca di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Minggu (8/7).
Bagi Ida Wayan Oka Adnyana, bukan hal mudah menggarap pertunjukan itu. Ada saja kendala yang menghadang dalam proses persiapannya. “Karena ini merupakan seni klasik. Anak-anak agak susah menjiwai karakter tapel. Misalnya topeng tua, yang menarikan adalah yang muda-muda. Jadi gerakannya itu masih dominan ke gerak seperti agak kenceng gitu. Itu yang berat dipelajari oleh anak-anak,” tutur Oka Adnyana.
Kendati demikian mengganggap berkesenian adalah panggilan jiwa. Syukurnya regenerasi untuk kesenian di Budakeling terus berlanjut, tidak pernah putus. “Biasanya berdasarkan garis keturunan. Tapi anak-anak kami semangat meneruskannya. Sebab ini adalah peninggalan leluhur yang harus kami lestarikan,” katanya.
Lakon yang melibatkan 50 penabuh, 5 penari, dan 8 orang pembina ini mengambil judul Tejaning Jnana Kasogathan. “Itu artinya api aura dari ilmu Budha Kasogathan,” tutur Pembina Khusus bagian naskah Sanggar Seni Citta Wistara, Ida Nyoman Sugata. Penampilan itu menceritakan perjalanan Dang Hyang Astapaka dari Kerajaan Klungkung menuju ke Kerajaan Karangasem. Perjalanannya itu didasari rasa kecewa atas ulah Gusti Batan Jeruk yang semula sebagai murid kesanyangannya ingin mengambil alih pimpinan kerajaan di Gelgel setelah Raja Gelgel wafat. Maka Dang Hyang Astapaka menuju ke arah timur menetap di Budekeling.
Salah seorang pengamat seni PKB, Cokorda Raka Tisnu melontarkan pujian. Hanya saja dirinya agak menyayangkan, karena alur ceritanya kurang bagus dan kurang simpel. “Penarinya mampu menjiwai tari yang bawakan. Secara keseluruhan penampilannya bagus,” ungkap Cokorda Raka Tisnu. *ind
1
Komentar