Sanggar Kayonan Sajikan ‘Cetik Gumi’
Pementasan Sanggar Kayonan ini bukan sekedar hiburan, namun juga kental pesan kehidupan
Libatkan Penyuluh Bahasa Bali di Klungkung
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Kayonan Semarapura yang menjadi wakil Kabupaten Klungkung dalam Parade Drama Gong di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 mengetengahkan lakon menarik. Ini ada hubungannya dengan ‘Cetik’ yang tidak asing di telinga masyarakat Bali. Pementasan itu berjudul ‘Cetik Gumi’ sukses dipentaskan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Jumat (13/7) malam. Dalam pementasannya, Sanggar Kayonan turut melibatkan Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Klungkung.
Lakon ‘Cetik Gumi’ mengisahkan, setelah bercerai lebih dari 25 tahun lamanya dengan Raja Wijaya Tanu di Kerajaan Padang Bulan, Datu Regek berniat membalaskan dendamnya karena tidak terima dengan pengusiran dirinya atas tuduhan menguasai ilmu hitam. Datu Regek menugaskan Dadong Kliwon, sisia terbaiknya untuk mencari kelemahan Kerajaan Padang Bulan. Kemudian penantian panjang pun nyaris menuai hasil. Saat itu, Putra Mahkota Padang Bulan, Raden Aradya Tanu secara tidak sengaja terjebak dalam kekuatan sihir Dadong Kliwon. Inilah kemudian menjadi pematik api pertikaian, perseteruan antara pengusung kebijakan dan ilmu sihir.
Pementasan drama gong dari Sanggar Kayonan ini mendapat apresiasi penonton yang memadati kalangan Ayodya. Penonton bahkan bertahan hingga akhir pertunjukan. Pertunjukan yang sedemikian apik itu berniatan menjadi pecut teruntuk siapa saja yang menyaksikannya. Pelatih Sanggar Kayonan, AA Gede Rai Kalam, berharap pementasan Sanggar Kayonan bukan sekedar hiburan, namun juga kental pesan kehidupan. “Penonton dapat melihat makna dalam pementasan drama gong. Bukan sekedar ikut tertawa saat ada lelucon atau pun sedih jika adegannya menyedihkan,” ujarnya.
Meski usianya memang tengah menginjak kepala delapan, namun ingatan Rai Kalam akan masa lalu bersama drama gong masih begitu melekat. Rai Kalam yang sering dilihat berperan sebagai Patih Anom ini bercerita, dari 1976 dirinya telah beradu peruntungan dalam pertunjukan drama gong. Telah lama berkecimpung dalam kesenian itu membuat Rai Kalam amat bersyukur. “Kalau mendengar ada begini, sekalipun sudah tidak kuat lagi fisik, mau tidak mau, tergugah tanggung jawab batin dalam diri saya,” tutur Rai Kalam.
Kini, drama gong dilanjutkan oleh yang muda. Meski dirinya tak lagi muda, tanggung jawab batin masih dirasakannya. Dia tetap aktif membina drama gong, seni yang telah membesarkannya itu. Selain anak-anak sanggar, Sanggar Kayonan juga turut melibatkan empat orang penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Klungkung. Mereka terlibat dalam beberapa karakter atau tokoh penting, seperti Patih Anom, Permaisuri, Dadong Kliwon, dan Dayang.
Menurut Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Klungkung, I Wayan Artha Dipta SPdB, tema drama gong yang berlatarkan istana sentris memiliki keterkaitan dengan penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali. Karena itu, beberapa penyuluh yang dianggap memiliki potensi, peran, akting dan dalam bertata bahasa, akhirnya diikutsertakan dalam parade drama gong itu.
“Ini merupakan kesempatan bagi kami untuk berkarya dalam bidang seni yang bersinergi dengan tata bahasa. Sebab salah satu tugas penyuluh adalah melestarikan budaya bali, khususnya pelestarian tata bahasa berupa Sor Singgih Bahasa Bali yang ditampilkan melalui kesenian ini (drama gong, red),” ungkap Artha Dipta.
Dijelaskan, drama gong merupakan bagian dari susastra Bali Purwa dengan teks cerita berbahasa Bali (sor singgih bahasa). Dalam pementasan drama gong itu, terdapat pula penggunaan kereb ketika tokoh Dadong Kliwon melakukan adegan ngereh dengan sisianya. Dalam kereb tersebut juga bertuliskan aksara Bali, Modre, Wianjana, Swalalita, dan aksara lainnya. Penyuluh merasa memiliki tanggung jawab untuk menyosialisasikan hal-hal yang berbau aksara Bali.
“Di sini penyuluh dapat menyampaikan pada masyarakat tentang bagaimana tata-titi berbicara menggunakan sor singgih bahasa lewat pementasan drama gong. Jadi, sor singgih bahasa bukan hanya dapat diajarkan di sekolah saja yang mnggunakan media buku, melainkan lewat media seni drama gong dan kesenian lainnya,” tandas Artha Dipta. *ind
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Kayonan Semarapura yang menjadi wakil Kabupaten Klungkung dalam Parade Drama Gong di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 mengetengahkan lakon menarik. Ini ada hubungannya dengan ‘Cetik’ yang tidak asing di telinga masyarakat Bali. Pementasan itu berjudul ‘Cetik Gumi’ sukses dipentaskan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Jumat (13/7) malam. Dalam pementasannya, Sanggar Kayonan turut melibatkan Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Klungkung.
Lakon ‘Cetik Gumi’ mengisahkan, setelah bercerai lebih dari 25 tahun lamanya dengan Raja Wijaya Tanu di Kerajaan Padang Bulan, Datu Regek berniat membalaskan dendamnya karena tidak terima dengan pengusiran dirinya atas tuduhan menguasai ilmu hitam. Datu Regek menugaskan Dadong Kliwon, sisia terbaiknya untuk mencari kelemahan Kerajaan Padang Bulan. Kemudian penantian panjang pun nyaris menuai hasil. Saat itu, Putra Mahkota Padang Bulan, Raden Aradya Tanu secara tidak sengaja terjebak dalam kekuatan sihir Dadong Kliwon. Inilah kemudian menjadi pematik api pertikaian, perseteruan antara pengusung kebijakan dan ilmu sihir.
Pementasan drama gong dari Sanggar Kayonan ini mendapat apresiasi penonton yang memadati kalangan Ayodya. Penonton bahkan bertahan hingga akhir pertunjukan. Pertunjukan yang sedemikian apik itu berniatan menjadi pecut teruntuk siapa saja yang menyaksikannya. Pelatih Sanggar Kayonan, AA Gede Rai Kalam, berharap pementasan Sanggar Kayonan bukan sekedar hiburan, namun juga kental pesan kehidupan. “Penonton dapat melihat makna dalam pementasan drama gong. Bukan sekedar ikut tertawa saat ada lelucon atau pun sedih jika adegannya menyedihkan,” ujarnya.
Meski usianya memang tengah menginjak kepala delapan, namun ingatan Rai Kalam akan masa lalu bersama drama gong masih begitu melekat. Rai Kalam yang sering dilihat berperan sebagai Patih Anom ini bercerita, dari 1976 dirinya telah beradu peruntungan dalam pertunjukan drama gong. Telah lama berkecimpung dalam kesenian itu membuat Rai Kalam amat bersyukur. “Kalau mendengar ada begini, sekalipun sudah tidak kuat lagi fisik, mau tidak mau, tergugah tanggung jawab batin dalam diri saya,” tutur Rai Kalam.
Kini, drama gong dilanjutkan oleh yang muda. Meski dirinya tak lagi muda, tanggung jawab batin masih dirasakannya. Dia tetap aktif membina drama gong, seni yang telah membesarkannya itu. Selain anak-anak sanggar, Sanggar Kayonan juga turut melibatkan empat orang penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Klungkung. Mereka terlibat dalam beberapa karakter atau tokoh penting, seperti Patih Anom, Permaisuri, Dadong Kliwon, dan Dayang.
Menurut Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Klungkung, I Wayan Artha Dipta SPdB, tema drama gong yang berlatarkan istana sentris memiliki keterkaitan dengan penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali. Karena itu, beberapa penyuluh yang dianggap memiliki potensi, peran, akting dan dalam bertata bahasa, akhirnya diikutsertakan dalam parade drama gong itu.
“Ini merupakan kesempatan bagi kami untuk berkarya dalam bidang seni yang bersinergi dengan tata bahasa. Sebab salah satu tugas penyuluh adalah melestarikan budaya bali, khususnya pelestarian tata bahasa berupa Sor Singgih Bahasa Bali yang ditampilkan melalui kesenian ini (drama gong, red),” ungkap Artha Dipta.
Dijelaskan, drama gong merupakan bagian dari susastra Bali Purwa dengan teks cerita berbahasa Bali (sor singgih bahasa). Dalam pementasan drama gong itu, terdapat pula penggunaan kereb ketika tokoh Dadong Kliwon melakukan adegan ngereh dengan sisianya. Dalam kereb tersebut juga bertuliskan aksara Bali, Modre, Wianjana, Swalalita, dan aksara lainnya. Penyuluh merasa memiliki tanggung jawab untuk menyosialisasikan hal-hal yang berbau aksara Bali.
“Di sini penyuluh dapat menyampaikan pada masyarakat tentang bagaimana tata-titi berbicara menggunakan sor singgih bahasa lewat pementasan drama gong. Jadi, sor singgih bahasa bukan hanya dapat diajarkan di sekolah saja yang mnggunakan media buku, melainkan lewat media seni drama gong dan kesenian lainnya,” tandas Artha Dipta. *ind
Komentar