Agar Tak Berurusan dengan Pihak Berwajib
Pelaksanaan perkawinan sejenis yang pernah terjadi di Ubud menjadi pengalaman bagi Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman harus berhadapan dengan pihak berwajib.
Dua Profesor Susun Buku Hukum Untuk Rohaniawan Hindu
DENPASAR, NusaBali
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi bersama dengan akademisi Universitas Udayana Prof Wayan P Windia menyusun buku berjudul ‘Hukum Rohaniawan Hindu: Pengetahuan Dasar Hukum bagi Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman di Bali’. Dalam menyempurnakan penyusunannya, digelar Focus Group Discussion (FGD) di ruang pertemuan PHDI Provinsi Bali, Jalan Ratna, Denpasar, Kamis (17/3).
Prof Sudiana mengatakan, buku ini terinspirasi oleh kenyataan bahwa ada beberapa upacara tertentu dalam Agama Hindu yang memiliki konsekuensi hukum baik hukum pidana maupun perdata. Di lain pihak, pada umumnya Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum terutama dalam hubungan dengan pelaksanaan upacara tertentu sesuai dengan Agama Hindu.
"Kehadiran buku ini nantinya diharapkan menjadi penuntun bagi Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman dalam menjalankan swadharma (kewajiban) masing-masing baik dalam memimpin atau menjadi saksi pelaksanaan upacara," ungkap Sudiana.
Dikatakan, beberapa contoh upacara sesuai agama Hindu yang memiliki konsekuensi hukum seperti upacara perkawinan, perceraian, pengangkatan anak, ngeruak karang, sumpah cor, mangening-ening atau medewa saksi, dan pengukuhan sentana rajeg. Sebagai contoh pelaksanaan perkawinan sejenis yang pernah terjadi di Desa Pakraman Sayan, Ubud, Gianyar yang menjadi pengalaman bagi Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman harus berhadapan dengan pihak berwajib.
"Ternyata sampai sekarang belum ada buku penuntun yang menjelaskan keberadaan Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman dalam hubungan dengan pelaksanaan upacara tertentu bagi umat Hindu yang dapat menyebabkan perubahan status hukum seseorang. Ketidakadaan buku tersebut menimbulkan keraguan bagi Rohaniawan Hindu dan Prajuru Desa Pakraman dalam memimpin atau menjadi saksi pelaksanaan upacara yang dimaksud," ujar Sudiana.
"Tentu kurang arif apabila Rohaniwan dan Prajuru Desa Pakraman harus dalam posisi yang serba sulit dan stres sebelum melaksanakan swadharma (kewajiban). Oleh karena itu, semua pihak harus mengetahui, memahami, dan menyadari memang ada upacara tertentu yang memiliki potensi terjadinya pelanggaran hukum baik hukum adat Bali maupun nasional," imbuh Guru Besar Sosiologi Agama di IHDN Denpasar ini.
Sementara Guru Besar Bidang Hukum Adat Bali, Prof Dr Wayan P Windia menambahkan, sampai saat ini sudah ada beberapa teks yang menjelaskan mengenai hukum adat. Namun menurutnya, kurang lengkap jika belum ada buku penuntun. "Buku penuntun ini bisa dijadikan pegangan pada saat melaksanakan swadharma-nya. Kalau dilihat dari kasus yang berpotensi pelanggaran hukum, memang tidak terlalu banyak. Namun ini kita jadikan inspirasi agar tidak semakin banyak," tegasnya.
Masukan dari Focus Group Discussion (FGD) ini nantinya akan digunakan untuk menyempurnakan draft buku tersebut sebelum diterbitkan pada akhir April 2016. Buku ini diharapkan dapat didistribusikan ke masing-masing desa pakraman (desa adat) terutama kepada rohaniawan/sulinggih dan pamangku.
FGD menghadirkan sejumlah ahli agama dan ahli hukum, diantaranya Dr AA Sri Rahayu Gorda SH MH (Dekan FH Undiknas), Dr Drs I Wayan Sujana MSi (Dekan FE Unmas), Dr Ida Bagus Suryadharmajaya SH MH (Dosen Hukum Pidana FH Unud), Dr I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra SH MH (Dosen Hukum Acara FH Unud), dan beberapa dosen IHDN Denpasar seperti I Gede Suwantana SAg, Ir I Wayan Sudarta, I Made Suastika Ekasana SH MAg MH, IGA Jatianan Manik Wedanti SH, Dra Kantriani MAg. 7 i
1
Komentar