nusabali

MUTIARA WEDA : Kelas Sosial

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kelas-sosial

Menurut tiga sifat alam dan pekerjaan yang ada hubungannya dengan sifat-sifat itu, empat bagian masyarakat diciptakan oleh-Ku. Walaupun akulah yang menciptakan sistem ini. Hendaknya engkau mengetahui bahwa aku tetap sebagai yang tidak berbuat karena aku tidak dapat diubah.

catur-varnyam maya srstamguna-karma-vibhagasah

tasya kartaram api mamviddhy akartaram avyayam
(Bhagavad Gita, IV.13)


ORANG mengatakan bahwa perbedaan kelas sosial itu adalah sesuatu yang mutlak adanya. Kelas sosial ini ada di dalam masyarakat dan merupakan bentukan masyarakat iu sendiri. Sehingga dengan demikian, siapapun yang mencoba mengungkit keberadaan kelas sosial ini dengan jargon egalitarianisme akan kandas. Apapun kekuatan yang mencoba melenyapkan konsep kelas sosial ini akan menguap secara alami. Sepanjang ada masyarakat, sepanjang itu kelas sosial akan ada dan tidak akan pernah tergantikan. Terkecuali masyarakat habis, maka dengan sendirinya kelas sosial hilang. Akar kelas sosial ada di dalam masyarakat dan mengadanya secara alami.

Dalam masyarakat Hindu, sejak berabad-abad yang lalu senantiasa bergejolak dengan permasalahan ini dan bahkan sampai saat ini tidak pernah selesai, dan dipastikan tidak akan bisa selesai. Apalagi mereka merasa bahwa kitab suci mendukung kondisi ini, sehingga perbedaan kelas oleh karena kelahiran menjadi sesuatu yang suci dan indikasi dari sebuah tugas suci untuk menjaganya turun-menurun. Kontak sosial di dalam masyarakat melalui sebuah perbedaan kelas yang rigit merupakan perintah Tuhan yang harus tetap dipelihara, dan ini baik untuk kelangsungan masyarakat itu sendiri. Memberikan hukuman atas kesalahan ketika terjadi kontak sosial merupakan sesuatu yang wajar dan harus diterapkan demi menjaga kesucian perintah itu. Seperti misalnya, di dalam upaya menjaga kemurnian kelas tertentu, mereka harus berani menghukum siapapun orang yang berani keluar dari pakemnya. Menikah dengan beda kelas misalnya, mereka harus mendapat hukuman moral dengan cara melepaskan predikat kelas yang disandangnya. Orang ini wajar dipermalukan seperit itu demi menjadi sebuah kesucian sabda suci.

Seperti teks di atas misalnya sangat gampang dijadikan sebagai rujukan utama untuk melanggengkan kelas sosial tersebut, di mana perbedaan varna memang telah ditakdirkan untuk ada oleh karena Tuhan yang membuatnya. Selama ini, teks wahyu tidak pernah salah dan dengan tetap memeliharanya, semua akan berjalan baik. Berkah dan keselamatan akan senantiasa ada jika mereka mampu menjaga kelasnya masing-masing. Jika seseorang dilahirkan dari kelas bodoh, maka belajar adalah sebuah kutukan. Siapapun orang yang berani membangkang dari kelas itu harus dihukum dengan keras. Orang yang dilahirkan dari kelas bodoh mesti harus menjalani kehidupannya dengan cara bodoh selamanya. Belajar untuk menjadi pintar sangat dilarang. Tradisi sangat menentang keras orang yang berani pintar bagi orang yang lahir dari kelas bodoh. Mereka percaya bahwa orang ini akan menjadi sumber bencana. Seperti misalnya Karna di dalam kisah legendaris Mahabharata, saat diyakini bahwa dirinya sebagai keturunan seorang kusir, maka belajar dan pintar memainkan senjata adalah sebuah kutukan. Ia tidak boleh memiliki keahlian melebihi dari apa yang telah dimiliki oleh generasi sebelumnya.

Namun, walaupun perbedaan kelas akan tetap bertahan selamanya, tradisi ini telah melahirkan orang hebat sepanjang masa. Pada abad kelima sebelum Masehi (SM) beberapa tokoh besar dihadirkan seperti Siddharta Buddha, Mahavira, Makali Gosala, Lokayata, dan yang lainnya. Mereka adalah orang yang secara konsisten melakukan perlawanan terhadap kaum Brahmin yang memelihara tradisi suci perbedaan kelas ini. Peran mereka sampai saat ini masih bergaung dan hidup di masyarakat. Di abad modern, tokoh yang paling aktif menentang perbedaan kelas ini adalah Mahatma Gandhi dengan menyebut orang dari kelas terpinggirkan, kelas orang yang tidak tersentuh itu dengan sebutan Harijan atau anak Tuhan. Gandhi dengan jargon ahimsa selalu bersama dengan mereka, yang menurut sistem kelas sosial menyebut bahwa walaupun bayangannya saja disentuh akan menimbulkan kekotoran. Seperti halnya Adi Sankara tiba-tiba secara tidak sengaja menyentuh bayangan kelas candala, dirinya harus kembali mandi dan menyucikan diri. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta  

Komentar