Bahan Baku Mahal, Tekstil RI Kalah Saing
Sebagai salah satu industri yg diprioritaskan oleh pemerintah, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah membuktikan kontribusi besar yaitu 6,39 persen terhadap PDB pada tahun 2017.
JAKARTA, NusaBali
Namun demikian, kinerja ini masih banyak menyimpan permasalahan yang dihadapi oleh para produsen tekstil. Salah satunya adalah harga bahan baku yang tersedia di dalam negeri. Ditemukan bahwa harga bahan baku dalam negeri justru kalah bersaing dengan bahan yang sama dari sumber importasi. Bahan baku tersebut adalah serat polyester sebagai bahan baku benang.
Menurut ketua Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, harga bahan baku polyester di tanah air mencapai 13 persen lebih mahal dari pada harga di luar negeri. “Kondisi ini mengakibatkan merosotnya daya saing ekspor produk tekstil Indonesia hingga ke hilir,” ungkap Ade dalam keterangan resmi, Rabu (25/7).
Lebih lanjut Ade menjelaskan, perbedaan harga yang cukup signifikan ini, menegaskan industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan sesama negara penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS. Menurutnya juga, agar kondisi tidak semakin memburuk, maka perlu kerjasama antar produsen, penentu kebijakan untuk mengevaluasi penerapan bea masuk komoditas bahan baku (kasus bea masuk serat polyester) dan pengetatan pengawasan dari kementerian terkait. “Diharapkan bila kebijakan bea masuk polyester ini dapat ditinjau lagi, maka harga bahan baku yg berdaya saing bisa meningkatkan produktifitas ekspor ITPT Indonesia di pasar dunia,” ungkap dia.
Hal ini juga sejalan dengan target API untuk meningkatkan net ekspor dan nilai tambah yang disumbang oleh industri tekstil sampai akhir tahun 2018 menjadi 4 miliar dolar AS, lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai nilai 3,5 miliar dolar AS.
Sementara itu, di tengah-tengah waktu penantian keputusan oleh pihak Amerika Serikat tentang evaluasi fasilitas GSP yang mereka berikan kepada para negara mitra dagang, menyatakan optimisme ITPT bisa menaikan kinerja ekspornya. API memproyeksikan pertumbuhan ekspor tekstil tahun ini dapat mencapai 7 persen. Namun optimisme ini harus didukung oleh sinergitas antar pihak, seperti rangkaian para produsen dari hulu ke hilir, pendukung ITPT, dan penentu kebijakan.*
Namun demikian, kinerja ini masih banyak menyimpan permasalahan yang dihadapi oleh para produsen tekstil. Salah satunya adalah harga bahan baku yang tersedia di dalam negeri. Ditemukan bahwa harga bahan baku dalam negeri justru kalah bersaing dengan bahan yang sama dari sumber importasi. Bahan baku tersebut adalah serat polyester sebagai bahan baku benang.
Menurut ketua Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, harga bahan baku polyester di tanah air mencapai 13 persen lebih mahal dari pada harga di luar negeri. “Kondisi ini mengakibatkan merosotnya daya saing ekspor produk tekstil Indonesia hingga ke hilir,” ungkap Ade dalam keterangan resmi, Rabu (25/7).
Lebih lanjut Ade menjelaskan, perbedaan harga yang cukup signifikan ini, menegaskan industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan sesama negara penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS. Menurutnya juga, agar kondisi tidak semakin memburuk, maka perlu kerjasama antar produsen, penentu kebijakan untuk mengevaluasi penerapan bea masuk komoditas bahan baku (kasus bea masuk serat polyester) dan pengetatan pengawasan dari kementerian terkait. “Diharapkan bila kebijakan bea masuk polyester ini dapat ditinjau lagi, maka harga bahan baku yg berdaya saing bisa meningkatkan produktifitas ekspor ITPT Indonesia di pasar dunia,” ungkap dia.
Hal ini juga sejalan dengan target API untuk meningkatkan net ekspor dan nilai tambah yang disumbang oleh industri tekstil sampai akhir tahun 2018 menjadi 4 miliar dolar AS, lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai nilai 3,5 miliar dolar AS.
Sementara itu, di tengah-tengah waktu penantian keputusan oleh pihak Amerika Serikat tentang evaluasi fasilitas GSP yang mereka berikan kepada para negara mitra dagang, menyatakan optimisme ITPT bisa menaikan kinerja ekspornya. API memproyeksikan pertumbuhan ekspor tekstil tahun ini dapat mencapai 7 persen. Namun optimisme ini harus didukung oleh sinergitas antar pihak, seperti rangkaian para produsen dari hulu ke hilir, pendukung ITPT, dan penentu kebijakan.*
Komentar