Tekstil RI Kalah Bersaing dari Vietnam
Terkendala Bahan Baku
JAKARTA, NusaBali
Sebagai salah satu industri yang diprioritaskan oleh pemerintah, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terbukti telah memberikan kontribusi besar yang mencapai 6,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2017. Namun demikian, di balik hal tersebut, industri tekstil masih banyak menyimpan permasalahan.
Salah satunya adalah permasalahan harga bahan baku yang tersedia di dalam negeri. Harga bahan baku dalam negeri dinilai kalah bersaing dengan bahan yang sama dari sumber importasi. Bahan baku tersebut adalah serat polyester sebagai bahan baku benang. Menurut ketua Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, harga bahan baku polyester di Tanah Air 13 persen lebih mahal ketimbang harga di luar negeri.
“Kondisi ini mengakibatkan merosotnya daya saing ekspor produk tekstil Indonesia hingga ke hilir,” ungkapnya, Jumat (27/7) seperti dilansir kontan. Lebih lanjut Ade menjelaskan, perbedaan harga yang cukup signifikan ini, menegaskan industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan sesama negara penerima fasilitas GSP.
Dia melanjutkan, agar kondisi tidak semakin memburuk, maka perlu kerjasama antar produsen, penentu kebijakan untuk mengevaluasi penerapan bea masuk komoditas bahan baku seperti kasus bea masuk serat polyester dan pengetatan pengawasan dari kementerian terkait.
“Diharapkan bila kebijakan bea masuk polyester ini dapat ditinjau lagi, maka harga bahan baku yang berdaya saing bisa meningkatkan produktivitas ekspor ITPT Indonesia di pasar dunia,” ungkap dia. Hal ini juga sejalan dengan target API untuk meningkatkan net ekspor dan nilai tambah yang disumbang oleh industri tekstil sampai akhir tahun 2018 menjadi 4 miliar dollar AS (Rp 57,6 triliun), lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai nilai 3,5 miliar dollar AS (Rp 50,4 triliun).
Adapun tengah-tengah waktu penantian keputusan oleh pihak Amerika Serikat tentang evaluasi fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang mereka berikan kepada para negara mitra dagang, Adi menyatakan optimisme ITPT bisa menaikan kinerja ekspornya. API memproyeksikan pertumbuhan ekspor tekstil tahun ini dapat mencapai 7 persen.
"Namun optimisme ini harus didukung oleh sinergitas antar pihak, seperti: rangkaian para produsen dari hulu ke hilir, pendukung ITPT, dan penentu kebijakan," tutupnya. *
Sebagai salah satu industri yang diprioritaskan oleh pemerintah, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terbukti telah memberikan kontribusi besar yang mencapai 6,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2017. Namun demikian, di balik hal tersebut, industri tekstil masih banyak menyimpan permasalahan.
Salah satunya adalah permasalahan harga bahan baku yang tersedia di dalam negeri. Harga bahan baku dalam negeri dinilai kalah bersaing dengan bahan yang sama dari sumber importasi. Bahan baku tersebut adalah serat polyester sebagai bahan baku benang. Menurut ketua Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, harga bahan baku polyester di Tanah Air 13 persen lebih mahal ketimbang harga di luar negeri.
“Kondisi ini mengakibatkan merosotnya daya saing ekspor produk tekstil Indonesia hingga ke hilir,” ungkapnya, Jumat (27/7) seperti dilansir kontan. Lebih lanjut Ade menjelaskan, perbedaan harga yang cukup signifikan ini, menegaskan industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan sesama negara penerima fasilitas GSP.
Dia melanjutkan, agar kondisi tidak semakin memburuk, maka perlu kerjasama antar produsen, penentu kebijakan untuk mengevaluasi penerapan bea masuk komoditas bahan baku seperti kasus bea masuk serat polyester dan pengetatan pengawasan dari kementerian terkait.
“Diharapkan bila kebijakan bea masuk polyester ini dapat ditinjau lagi, maka harga bahan baku yang berdaya saing bisa meningkatkan produktivitas ekspor ITPT Indonesia di pasar dunia,” ungkap dia. Hal ini juga sejalan dengan target API untuk meningkatkan net ekspor dan nilai tambah yang disumbang oleh industri tekstil sampai akhir tahun 2018 menjadi 4 miliar dollar AS (Rp 57,6 triliun), lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai nilai 3,5 miliar dollar AS (Rp 50,4 triliun).
Adapun tengah-tengah waktu penantian keputusan oleh pihak Amerika Serikat tentang evaluasi fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang mereka berikan kepada para negara mitra dagang, Adi menyatakan optimisme ITPT bisa menaikan kinerja ekspornya. API memproyeksikan pertumbuhan ekspor tekstil tahun ini dapat mencapai 7 persen.
"Namun optimisme ini harus didukung oleh sinergitas antar pihak, seperti: rangkaian para produsen dari hulu ke hilir, pendukung ITPT, dan penentu kebijakan," tutupnya. *
1
Komentar