Anak-anak Manja
MASA kanak-kanak itu di mana saja sama: indah, leluasa berbuat salah, sehingga kenakalan selalu termaafkan.
Tapi anak-anak zaman dulu tidak sama dengan anak-anak masa kini. Perilaku mereka tidak sama, bahkan banyak yang berkomentar, tabiat anak-anak dulu beda jauh dengan masa kini. Mereka yang berusia lebih setengah abad sekarang, tentu fasih betul, tingkah anak-anak zaman mereka berbeda dengan polah cucu-cucu mereka kini. Pasti banyak yang bisa diungkap tentang perbedaan-perbedaan tabiat itu. Tentu banyak tabiat yang tidak terlalu harus dipersoalkan, karena zaman memang tidak sama. Namun ada perilaku dasar anak-anak yang memang berbeda dulu dengan sekarang yang acap merisaukan, perilaku yang tak terbendung, dan sering digolongkan sebagai tingkah yang keterlaluan.
Dulu, tahun 1960-an, banyak tempat di pinggiran kota belum ada listrik. Tepi kota itu masuk kategori desa, kampung. Sekolah dasar hanya ada di kota, kadang cuma tiga SD, yang juga disebut sekolah rakyat (SR), dan satu sekolah menengah (SMP), satu SMA, satu sekolah guru (SPG). Banyak anak-anak dan remaja ke sekolah jalan kaki 3-4 kilometer, tanpa alas kaki, tanpa pakaian seragam, tak sedikit yang mengenakan baju robek dan celana tambalan. Banyak yang tidak membawa tas, sehingga batu tulis dan buku pelajaran dibawa begitu saja. Tas sekolah barang mewah kala itu.
Anak-anak berangkat dan pulang sekolah sendiri, atau bergerombol dengan kawan tetangga. Tidak ada orangtua yang sibuk mengurus antar anak-anak mereka. Tidak ada urusan mempersiapkan sarapan. Pulang sekolah anak-anak bermain bersama teman, atau menangkap capung dan belalang, kemudian dibakar dan disantap.
Banyak waktu yang dinikmati anak-anak sepulang sekolah, karena pekerjaan rumah (PR) tak pernah ada. Les mata pelajaran juga tidak perlu. Belajar malam juga sebentar, bahkan sangat jarang. Tidak ada kesibukan menonton televisi, sehingga anak-anak tidur awal, tak pernah begadang.
Di kelas anak-anak ini bersikap santun. Anak-anak yang nakal tergolong sedikit. Mereka biasanya suka menggoda rekannya, jahil. Jarang anak nakal sampai merepotkan orangtua atau guru mereka. Anak nakal justru banyak punya teman, karena ia dianggap pemberani dan tampil sebagai pemimpin. Jika pulang sekolah, si pemimpin, anak bengal ini, mengajak teman-temannya memanjat pohon juwet atau mangga di tegalan. Kadang mengajak rekan mereka memetik tomat dan mentimun di sawah. Tentu tanpa seizin yang punya.
Kisah masa kanak-kanak ini menjadi kenangan indah yang dilontarkan dalam reuni bapak-ibu dan kakek-nenek zaman kini. Mereka akan tertawa tergelak-gelak, sampai air mata berlinang saking gembira dan terharu. Dari reuni inilah kemudian para orang tua menyimpulkan, alangkah beda anak-anak zaman dulu dengan sekarang. Di kota dan desa, anak-anak ke sekolah banyak yang naik motor sendiri, hampir tak ada lagi yang jalan kaki seperti dulu.
Yang berkomentar ini adalah orang-orang gaek yang sering merasa ganjil melihat tingkah cucu mereka. Anak-anak sekarang memang tahu banyak hal, namun mereka dinilai tidak peduli dengan sopan santun. Mereka manja-manja, mau diurus ortu semua kebutuhannya. Mereka menjadi congkak karena seluruh keperluan terpenuhi. Di kota-kota, anak-anak itu diantar dan dijemput orangtua atau kakek mereka. Terlambat dijemput, mereka marah-marah, ketus, dan cemberut.
Anak-anak zaman dulu kalau masuk kelas berbaris rapi. Duduk di bangku, tangan mereka bersidekap di atas meja yang kokoh terbuat dari kayu jati atau kayu pilihan. Mereka berdiri ketika guru masuk kelas, lalu serentak mengucapkan, “Selamat pagi bapak ibu guruuu......” Mereka menunggu dengan patuh pelajaran dan tugas yang akan diberikan guru.
Di hari-hari tertentu ada pemeriksaan kebersihan tangan. Yang diperiksa adalah kuku. Jika ada kuku yang panjang dan hitam dekil ujungnya, harus dipotong, dan besok harus bersih. Kalau tetap kotor, dihukum berdiri di depan kelas. Tidak ada alat khusus pemotong kuku kala itu, karena pemotong itu barang mewah dan hanya milik orang kaya. Kuku dipotong menggunakan pisau silet yang pipih dan tajam kedua sisinya.
Kuku harus bersih, karena anak-anak makan pakai tangan. Kuku kotor berisi banyak kuman yang gampang masuk ke perut ketika menyantap makanan dengan tangan. Tak ada anak-anak yang makan pakai sendok, karena sendok juga barang mewah. Kaki, gak pernah diperiksa, karena pasti kotor, berdebu atau berlumpur, karena anak-anak ke sekolah tidak bersepatu, tanpa alas kaki, persis kaki ayam.
Sekarang semua sudah jauh berbeda. Jika ingin tahu seberapa jauh dan drastis perbedaan itu, mintalah kakek-nenek kita berkisah. Mereka akan bercerita, misalnya, anak-anak sekarang susah sekali di atur. Di dalam kelas, ketika belajar, mereka bermain-main dengan rekan-rekan sebangku dan sebelah menyebelah. Berkali-kali guru berteriak agar mereka tenang, beberapa saat kemudian mereka ribut lagi. Jika guru menghardik, si anak melapor ke bapak-ibu. Esok pagi guru harus berurusan dengan orangtua murid karena dianggap melanggar hak asasi anak. Dituding melakukan tindak kekerasan, walau itu cuma kekerasan suara.
Jangan-jangan salah kita yang terlalu memanjakan anak, sehingga mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak manja dengan perilaku tak tahu sopan santun, gampang marah, mudah ketus, dan cemberut. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar