Produk Coklat Olahan Masih Konsumsi Lokal
Produksi olahan kakao atau coklat Bali relatif masih kecil. Dari sekitar rata-rata 6.000 ton biji kakao kering setahun, yang sudah diolah menjadi produk coklat jadi antara 5 -10 persen.
DENPASAR, NusaBali
Selebihnya, dijual keluar, termasuk untuk ekspor. Padahal peluang pasar coklat olahan dinilai sangat prospek. Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali Lanang Haryawan, mengutarakan Senin (30/7). “Karena produksinya kecil, sudah habis malah kekurangan untuk pasar lokal,” ujar Lanang Haryawan.
Beberapa produk coklat siap saji disebutkan Lanang Haryawan, dengan merk dagangnya di antaranya coklat susu, waks cocoa, lemak kakao dan yang lainnya. Produk-produk olahan coklat tersebut diproduksi Unit Pengolahan Hasil Sari Bumi di Subak Abian Merta Nadi di Desa Gumbrih Kecamatan Pekutataan, Jembrana. “Kapasitas produksinya memang masih relatif kecil,” ujar Lanang Haryawan.
Kata Lanang Haryawan, produk coklat olahan siap saji tersebut, jelas memberi nilai tambah lebih tinggi daripada penjualan biji coklat yang selama merupakan produk biji kakao fermentasi. Karena itulah, akan diupayakan pembinaan dan rencana bantuan alat pengolahan biji kakao. Sehingga produksi kakao atau coklat Bali, memiliki nilai lebih. “Tentu akan diupayakan itu,” ujarnya.
Sementara potensi perkebunan kakao Bali seluas 22 ribu hektare. Namun yang baru efektif dibudidayakan 14.471 hektare. Sehingga masih ada sekitar 8.000 hektare yang potensial dikembangkan. Rencananya sekitar 6000 hektare di Kabupaten Jembrana dan Tabanan. 2000 sisanya tersebar di kabupaten/kota lainnya di Bali. *k17
Beberapa produk coklat siap saji disebutkan Lanang Haryawan, dengan merk dagangnya di antaranya coklat susu, waks cocoa, lemak kakao dan yang lainnya. Produk-produk olahan coklat tersebut diproduksi Unit Pengolahan Hasil Sari Bumi di Subak Abian Merta Nadi di Desa Gumbrih Kecamatan Pekutataan, Jembrana. “Kapasitas produksinya memang masih relatif kecil,” ujar Lanang Haryawan.
Kata Lanang Haryawan, produk coklat olahan siap saji tersebut, jelas memberi nilai tambah lebih tinggi daripada penjualan biji coklat yang selama merupakan produk biji kakao fermentasi. Karena itulah, akan diupayakan pembinaan dan rencana bantuan alat pengolahan biji kakao. Sehingga produksi kakao atau coklat Bali, memiliki nilai lebih. “Tentu akan diupayakan itu,” ujarnya.
Sementara potensi perkebunan kakao Bali seluas 22 ribu hektare. Namun yang baru efektif dibudidayakan 14.471 hektare. Sehingga masih ada sekitar 8.000 hektare yang potensial dikembangkan. Rencananya sekitar 6000 hektare di Kabupaten Jembrana dan Tabanan. 2000 sisanya tersebar di kabupaten/kota lainnya di Bali. *k17
1
Komentar