Merdeka atau Mati!
TANAH Air menikmati Agustus sebagai bulan kemerdekaan. Ini bulan dengan hari-hari di tahun 1945 hiruk pikuk oleh kepalan tangan teracung ke atas disertai lengkingan “Merdeka!” Ini bulan Proklamasi Kemerdekaan.
Orang-orang merasa hebat, bangga, bahagia, terharu, setiap mengucapkan mantra sakti ‘Merdeka’ itu. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, setelah 1945, pertempuran gerilya melanda daerah-daerah, dan teriakan ‘Merdeka’ semakin menggelegar.
Sekarang pun, setelah lebih tujuh puluh tahun, orang-orang masih suka meneriakkan kata keramat itu. Mereka melontarkannya dalam pembukaan pidato politik misalnya, atau saat menyapa sesama kawan dan kerabat ketika bertemu. Dan di bulan Agustus ini teriakan ‘merdeka’ mulai sering terdengar. Banyak yang terharu jika memandang bendera merah putih berkibar di gerbang rumah, sembari teringat teriakan ‘Merdeka’. Yang sudah uzur, lebih 70 tahun, mengenang bagaimana di bulan Agustus, dulu, Hari Proklamasi dirayakan meriah. Banyak orang-orang uzur itu berpendapat, “Sekarang perayaan proklamasi tidak semeriah dulu.”
Yang banyak diperbincangkan sekarang justru pertanyaan, apakah benar kita sudah merdeka? Apakah kita merdeka jika tahu dan tempe yang kita santap dibuat dari kedelai impor? Mereka kemudian memastikan, sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar merdeka. Begitu kita merasa dan mengaku merdeka, ada saja ganjalan yang membuat kita mengetahui kita tidak sepenuhnya merdeka. Lepas dari belenggu penjajahan Belanda, kita masuk dalam penjajahan ekonomi. Soekarno menyebutnya sebagai neo-kolonialisme, penjajahan baru.
Tahun1998, sepanjang bulan Oktober, Bali gegap gempita oleh dengung “Bali merdeka!” Pemicunya, AM Saefuddin, Menteri Negara Pangan dan Hortikultura saat itu, yang menjadi menteri dalam kabinet Presiden BJ Habibie, dianggap melecehkan Hindu. Ia mencoba menyudutkan Megawati, putri Soekarno, yang berniat jadi presiden.
Megawati, yang memang acap berdoa di sekian pura di Bali, dicela oleh Saefuddin. “Relakah rakyat Indonesia dipimpin orang beragama Hindu?” sergahnya. Dan pernyataan ini menyinggung orang Bali yang beragama Hindu. Mobilisasi massa terjadi, menjadi demo terbesar sepanjang sejarah Pulau Surga. Emosi, hujatan, caci maki, terlontar, berlompatan saling mendahului di alun-alun, di spanduk, di warung, di seantero Bali, menuding Saefuddin sebagai menteri rasialis.
Ketua KNPI saat itu, Pande Malihana, bersama rekan mendatangi Pangdam IX/Udayana Mayor Jenderal TNI Adam Damiri. Malihana menyampaikan usulan kepada Pangdam, agar disampaikan kepada Presiden, menuntut Saefuddin dipecat sebagai menteri. Kalau tidak, Bali akan memisahkan diri dari NKRI, “Bali akan merdeka,” ujar Malihana. Dari situlah kemudian meluncur gagasan Bali merdeka.
Tapi, Bali merdeka itu sesungguhnya seperti apa? Menolak pusat? Merdeka secara politik, ekonomi, hukum, budaya? Bukankah jika Bali merdeka berarti mengingkari cita-cita Soekarno yang mendambakan kesatuan Republik Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini hadir dalam suasana genting, ketika gagasan Bali merdeka dilontarkan. Banyak pertimbangan muncul, perlukah Bali merdeka? Megawati bahkan berujar, “Saya tak yakin Bali ingin merdeka.”
Acap kali orang Bali menganggap, mereka bisa bertahan hidup, punya kemampuan mengatur diri sendiri, sanggup menjadi republik sendiri, punya presiden sendiri, dengan keunikan yang mereka warisi. “Buktinya, leluhur kita bisa bertahan hidup dengan tradisi yang kita warisi. Kenapa kita tidak?!” begitu acap orang Bali berkomentar. Tetapi, seperti apakah jadinya sebuah bangsa yang berniat merdeka cuma mengandalkan tradisi dan emosi?
Orang Bali yang menekuni spiritualisme, yang mewarisi nilai-nilai tradisi moyang mereka, yakin hidup itu tak merdeka. Tubuh tidak bisa merdeka karena terikat pada karma. Ada juga yang berpendapat, siapa pun tak akan merdeka, karena manusia ibarat layang-layang yang terikat benang. Ketika angin bagus, layang-layang terbang tinggi, namun tak bisa terbang sesuka hati. Benang itu mengikat layang-layang justru agar bisa melesat naik, namun tetap terbang sepanjang benang. Ini diibaratkan hubungan badan kasar dengan atman. Jika ingin lepas merdeka, jangan terikat benang, jangan atman terikat dengan badan kasar.
Para penekun spiritual mengajak orang-orang untuk memilih melepaskan atman dari badan, memutus benang, agar layang-layang bebas lepas melenggang merdeka. Itu artinya, siapa pun kalau mau merdeka, harus siap mati, tidak terikat fisik yang justru menjadikan tidak merdeka.
Lalu, apakah Bali perlu merdeka? Kapan sebaiknya Bali merdeka? Ini pertanyaan yang bisa diikuti oleh pertanyaan baru, apakah Bali mau mati? Karena hanya dengan mati, menurut para penekun spiritual itu, kita merdeka. Mungkin itu sebabnya, di bulan Agustus ketika Proklamasi dikumandangkan tahun 1945, di zaman revolusi, sering menggelegar teriakan, “Merdeka atau mati!” Dulu, merdeka itu harga mati, sekarang NKRI harga mati. Tapi, belum pernah terdengar teriakan “Bali merdeka atau mati!” *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar