Tari Baris Memedi Antarkan Roh Menuju Nirwana
Keluarga Merajan Gede Pasek Badak di Jatiluwih Gelar Tarian Sakral
TABANAN, NusaBali
Keluarga besar Merajan Gede Pasek Badak di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan pentaskan kesenian sakral Tari Baris Memedi, Rabu (15/8) sore. Tarian sakral yang dipentaskan jaba Merajan Gede Pasek Badak tersebut sebagai rangkaian upacara ngaben yang akan dilaksanakan pada Wraspati Pon Uye, Kamis (16/8) ini. Tari Baris Memedi ini dipercaya sebagai sarana untuk mengantarkan roh menuju alam nirwana.
Tari Baris Memedi dipentaskan Rabu sore sekitar pukul 15.00 Wita. Uniknya, pementasan dilakukan di jaba Merajan Gede Pasek Badak, sementara mepayas (berhias)-nya justru dilaksakan di Setra Desa Pakraman Jatiluwih. Usai mepayas, barulah pragina (penari) Tari Baris Memedi bergerak jalan kaki dari setra menuju jaba Merajan Gede Pasek Badak, yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Sesuai namanya, para penari Baris Memedi dihias sedemikian rupa hingga penampilannya menyeramkan. Wajah mereka dipoles hingga seperti memedi (mahkluk halus), sementara seluruh tubuhnya kecuali wajah dibungkus dari sampah yang ada di setra. Dominan terbungkus menggukan kraras (daun pisang kering), rumput, bahkan kain bekas pembungkus mayat di setra.
Menurut Pamangku Pangempu Baris Memedi, Jro Mangku Ketut Darmadi, jumlah penari Baris Memedi tidak dibatasi, namun biasanya berjumlah ganjil antara 9 dan 11 orang. Penarinya semua laki-laku dewasa. “Kriteria penari tidak dibatasi, yang penting merasa terpanggil untuk ngayah,” jelas Jro Mangku Darmadi.
Jro Mangku Darmadi menyebutkan, Tari Baris Memedi selalu dipentaskan H-1 upacara pengabenan. Ini merupakan tradisi sakral warisan leluhur, yang dipercaya untuk mengantar roh ke alam nirwana. Tari Baris Memedi merupakan tarian sakral dan langka, yang hanya bisa dipentaskan ketika ada upacara Atiwa-tiwa (ngaben).
"Ini warisan leluhur tak pernah tidak dipentaskan saat uacara ngaben," ujarnya. "Baris serupa juga ada di Banjar Puluk-puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Tabanan," imbuh Jro Mangku Darmadi.
Disebutkan, pentas Tari Baris Memedi bisa dilakukan setelah semua persiapan rampung, mulai dari nunas restu ke pangempu (mengendalikan secara niskala) Baris Memedi hingga nunas bangket (piuning) di taman setra. "Jadi, Tari Baris Memedi ditampilkan persis setelah sarana upacara datang dari beji," papar Jro Mangku Darmadi.
Saat ngigel (menari), kata Jro Mangku Darmadi, para penari Baris Memedi bisa dalam keadaan sadar, bisa pula setengah sadar, tapi masih tetap terkendali. Semua tergantung kondisi masing-masing. Lama menari tidak ditentukan, tergantung dari penamprat (salah satu komandan) menaruh klakat yang sudah diisi rerajahan ini di atas penari.
"Jadi, sebelum klakat diletakkan di atas kepala, mereka akan menari terus dengan gerakan bebas. Jika sudah diletakkan klakat, maka mereka akan berhenti menari dan kembali ke setra," terangnya. “Jika ada yang belum sadarkan diri, maka akan dihaturkan segehan di setra.”
Dari setra, para penari Baris Memedi tidak langsung pulang, melainkan harus mandi dulu ke sungai. Tujuanya, untuk membersihkan diri secara niskala. Habis mandi di sungai, mereka kembali lagi ke setra untuk ritual nebusin, yang bermakna mengembalikan jiwa yang sebelumnya sempat tidak menyatu. “Kemudian, dilanjutkan proses malukat. Di sini baru dikatakan penari sudah sadar sepenuhnya,” tegas Jro Mangku Darmadi.
Menurut Jro Mangku Darmadi, Tari Baris Memedi sebenarnya boleh saja tidak dipentaskan. Hanya saja, krama yang akan melaksanakan upacara Pitra Yadnya harus nunas tirta ke setra sebagai simbolis. Namun, Tari Baris Memedi biasanya selalu digelar H-1 pengabenan, karena dipercaya untuk mengantarkan roh menuju alam nirwana. Tari Baris Memedi diyakini merupakan implementasi rencang Ida Batara yang berada di Taman Setra.
Sementara itu, salah seorang pragina Tari Baris Memedi, I Ketut Pityasa, 44, mengaku sudah 10 kali ngayah ngigel. Selama ini, ketut Pityasa tidak pernah mengalami hal-hal magis dalam menari Baris Memedi. “Hanya saja, ketika menari, tanah yang diinjak tidak terlihat datar, melainkan seperti tebing. Orang yang menyaksikan pun seperti bertambah dua kali lipat,” cerita Pityasa. *de
Keluarga besar Merajan Gede Pasek Badak di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan pentaskan kesenian sakral Tari Baris Memedi, Rabu (15/8) sore. Tarian sakral yang dipentaskan jaba Merajan Gede Pasek Badak tersebut sebagai rangkaian upacara ngaben yang akan dilaksanakan pada Wraspati Pon Uye, Kamis (16/8) ini. Tari Baris Memedi ini dipercaya sebagai sarana untuk mengantarkan roh menuju alam nirwana.
Tari Baris Memedi dipentaskan Rabu sore sekitar pukul 15.00 Wita. Uniknya, pementasan dilakukan di jaba Merajan Gede Pasek Badak, sementara mepayas (berhias)-nya justru dilaksakan di Setra Desa Pakraman Jatiluwih. Usai mepayas, barulah pragina (penari) Tari Baris Memedi bergerak jalan kaki dari setra menuju jaba Merajan Gede Pasek Badak, yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Sesuai namanya, para penari Baris Memedi dihias sedemikian rupa hingga penampilannya menyeramkan. Wajah mereka dipoles hingga seperti memedi (mahkluk halus), sementara seluruh tubuhnya kecuali wajah dibungkus dari sampah yang ada di setra. Dominan terbungkus menggukan kraras (daun pisang kering), rumput, bahkan kain bekas pembungkus mayat di setra.
Menurut Pamangku Pangempu Baris Memedi, Jro Mangku Ketut Darmadi, jumlah penari Baris Memedi tidak dibatasi, namun biasanya berjumlah ganjil antara 9 dan 11 orang. Penarinya semua laki-laku dewasa. “Kriteria penari tidak dibatasi, yang penting merasa terpanggil untuk ngayah,” jelas Jro Mangku Darmadi.
Jro Mangku Darmadi menyebutkan, Tari Baris Memedi selalu dipentaskan H-1 upacara pengabenan. Ini merupakan tradisi sakral warisan leluhur, yang dipercaya untuk mengantar roh ke alam nirwana. Tari Baris Memedi merupakan tarian sakral dan langka, yang hanya bisa dipentaskan ketika ada upacara Atiwa-tiwa (ngaben).
"Ini warisan leluhur tak pernah tidak dipentaskan saat uacara ngaben," ujarnya. "Baris serupa juga ada di Banjar Puluk-puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Tabanan," imbuh Jro Mangku Darmadi.
Disebutkan, pentas Tari Baris Memedi bisa dilakukan setelah semua persiapan rampung, mulai dari nunas restu ke pangempu (mengendalikan secara niskala) Baris Memedi hingga nunas bangket (piuning) di taman setra. "Jadi, Tari Baris Memedi ditampilkan persis setelah sarana upacara datang dari beji," papar Jro Mangku Darmadi.
Saat ngigel (menari), kata Jro Mangku Darmadi, para penari Baris Memedi bisa dalam keadaan sadar, bisa pula setengah sadar, tapi masih tetap terkendali. Semua tergantung kondisi masing-masing. Lama menari tidak ditentukan, tergantung dari penamprat (salah satu komandan) menaruh klakat yang sudah diisi rerajahan ini di atas penari.
"Jadi, sebelum klakat diletakkan di atas kepala, mereka akan menari terus dengan gerakan bebas. Jika sudah diletakkan klakat, maka mereka akan berhenti menari dan kembali ke setra," terangnya. “Jika ada yang belum sadarkan diri, maka akan dihaturkan segehan di setra.”
Dari setra, para penari Baris Memedi tidak langsung pulang, melainkan harus mandi dulu ke sungai. Tujuanya, untuk membersihkan diri secara niskala. Habis mandi di sungai, mereka kembali lagi ke setra untuk ritual nebusin, yang bermakna mengembalikan jiwa yang sebelumnya sempat tidak menyatu. “Kemudian, dilanjutkan proses malukat. Di sini baru dikatakan penari sudah sadar sepenuhnya,” tegas Jro Mangku Darmadi.
Menurut Jro Mangku Darmadi, Tari Baris Memedi sebenarnya boleh saja tidak dipentaskan. Hanya saja, krama yang akan melaksanakan upacara Pitra Yadnya harus nunas tirta ke setra sebagai simbolis. Namun, Tari Baris Memedi biasanya selalu digelar H-1 pengabenan, karena dipercaya untuk mengantarkan roh menuju alam nirwana. Tari Baris Memedi diyakini merupakan implementasi rencang Ida Batara yang berada di Taman Setra.
Sementara itu, salah seorang pragina Tari Baris Memedi, I Ketut Pityasa, 44, mengaku sudah 10 kali ngayah ngigel. Selama ini, ketut Pityasa tidak pernah mengalami hal-hal magis dalam menari Baris Memedi. “Hanya saja, ketika menari, tanah yang diinjak tidak terlihat datar, melainkan seperti tebing. Orang yang menyaksikan pun seperti bertambah dua kali lipat,” cerita Pityasa. *de
Komentar