Tetap Semangat Meski Diguyur Hujan
Tidak ada istilah pantang mundur, Paskibraka pun tetap ‘tempur’ hingga berlumpur demi bisa menyelesaikan tugasnya mengibarkan Sang Saka
Gadis Cantik Pembawa Baki pun Penuh Lumpur
DENPASAR, NusaBali
Siapa yang tidak bangga menjadi pembawa baki atau nampan bendera pusaka saat tampil menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Posisi ‘mentereng’ ini tentu jadi rebutan, sebab semua mata akan tertuju padanya. Hal ini disyukuri betul oleh Ni Putu Diah Trisnawati sebagai pembawa baki saat pengibaran bendera, dan Ni Made Putri Intan Indraswari, pembawa baki saat penurunan bendera pada HUT ke-73 Kemerdekaan RI, di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar, Jumat (17/8).
Keduanya memang tidak menyangka akan terpilih menjadi pembawa baki. Proses pemilihannya pun cukup ketat oleh pelatih. Menurut pelatih Paskibraka tahun 2018, Iptu Gusti Putu Dharma Yudha dari Kesatuan Brimob Polda Bali, pemilihan pembawa baki dan pengibar bendera memang memerlukan proses yang cukup teliti. Pertama, dilihat dari segi sikap berupa postur tubuh, baik menjadi pembawa baki dan pengibar bendera. Kedua, dilihat dari segi kecakapan dalam menangkap materi yang diberikan. Ketiga, dilihat dari segi langkah, baik itu langkah biasa maupun langkah tegap. Keempat, dilihat dari mental karena akan berhadapan dengan para pejabat dan peserta upacara.
“Kami dari pelatih dari mulai masuk tanggal 29 Juli sampai dengan hari ini (kemarin, red) menekankan disiplin waktu dan disiplin gerakan. Apa yang kami berikan dari awal di lapangan, kami sudah bisa menilai. Kalau sudah masuk kriteria seluruh pelatih, maka kemungkinan satu atau dua minggu kami sudah bisa tahu siapa yang cocok menempati posisi tersebut (pembawa baki dan pengibar, red),” ungkapnya.
Usai tugas mengibarkan bendera, pembawa baki Ni Putu Diah Trisnawati mengaku bersyukur karena bisa tampil secara maksimal. Padahal, pagi itu upacara diwarnai dengan turun hujan yang mengguyur Kota Denpasar. Tidak ada istilah pantang mundur, Paskibraka pun tetap ‘tempur’ hingga berlumpur demi bisa menyelesaikan tugasnya mengibarkan Sang Saka Merah Putih. “Dalam situasi apapun, walaupun hujan, prinsip kami tetap menghentakkan kaki semaksimal mungkin untuk menampilkan yang terbaik,” ujar bajang asal Banjar Sengguan, Desa Semarapura Kangin, Klungkung ini.
Menurut pelajar dari SMAN 2 Semarapura ini, yang paling berat menjadi pembawa baki itu adalah soal ketenangan dan percaya diri. Keduanya penting untuk dilatih, sebab pembawa baki adalah posisi paling terlihat. Sehingga sebisa mungkin tidak terjadi kesalahan. Diah Trisnawati sempat grogi saat gladi. Dia takut gemetar saat tampil, dan takut terpeleset saat berjalan.
“Jadi pembawa baki itu kan kita tampil sendiri ke depan. Kita harus menampilkan yang terbaik, karena kita dilihat saat jalan, maju ke depan, jadi kita harus tenang, jangan sampai tegang. Tapi sebenarnya kita sudah dilatih agar tidak gemetaran. Pas latihan, bakinya diisi bata biar tangannya kuat, supaya tangan kita terbiasa dan tidak gemetaran,” cerita sulung dari tiga bersaudara pasangan I Komamg Budiasa dan Ni Wayan Lilik Trisnawati ini.
Diah Trisnawati yang bercita-cita menjadi Polwan ini mengaku sejak kecil mendambakan bisa masuk menjadi anggota paskibraka karena melihat sang ayah, seorang polisi yang kerapkali melatih anak-anak paskibraka di Kabupaten Klungkung. Ketika cukup umur, Diah kemudian dilatih secara mandiri mengenai kedisiplinan dan peraturan dasar baris berbaris oleh sang ayah. Barulah tahun ini dia bisa bergabung menjadi anggota paskibraka. Kendati tidak bisa melenggang ke nasional, namun Diah bersyukur bisa mendapat posisi pembawa baki di tingkat provinsi. “Sedih sih, ada rasa kecewa juga nggak bisa ke nasionl. Tapi bagi kami, mengibarkan bendera pusaka dimanapun itu sama,” pungkas gadis yang hobi main catur ini.
Pengakuan berbeda datang dari pembawa baki saat penurunan bendera, Ni Made Putri Intan Indraswari. Dia malah sama sekali tidak bermimpi jadi anggota paskibraka. Pelajar dari SMAN 1 Tabanan itu mengaku sekedar ikut karena melihat antusias teman-temannya ikut seleksi paskibraka. Intan yang tertarik lantas meminta restu orang tuanya hingga akhirnya terpilh dalam seleksi di tingkat kabupaten. Siapa sangka, dia mampu melenggang ke tingkat provinsi, bahkan diplot sebagai cadangan nasional saat seleksi tingkat provinsi tahun 2018.
“Saya tidak menyangka, karena saya merasa PBB saya nggak terlalu bagus, tapi akhirnya lolos. Tapi saya sedih juga karena tidak bisa lolos ke nasional, cuma sebagai cadangan. Jadi cadangan juga bikin kayak ngambang gitu, kayak kita itu di tengah-tengah, antara provinsi atau nasional, jadi ngerasa kurang jelas gitu posisinya. Syukurnya bisa jadi pembawa baki sekarang,” tutur teruni asli Banjar Batungsel Kelod, Desa Batungsel, Pupuan, Tabanan ini.
Soal perasaan sesaat akan tampil, Intan senada dengan Diah. Pebasket sejak usia SMP ini mengaku degdegan dan grogi. Ada rasa takut jika sampai terpeleset karena kondisi lapangan yang becek. Seraya berdoa, Intan terus menguatkan dirinya pasti bisa melalui semua rangkaian penurunan bendera. “Degdegan sudah pasti, tapi karena sudah latihan jadi terbiasa. Saya menanamkan prinsip dalam pikiran saya, pasti bisa, pasti bisa. Sehingga saya tidak menjadikan pembawa baki ini sebagai beban,” ujar anak kedua dari pasangan I Gede Putu Indrawan dan Ni Wayan Sukadewi Wahyuni yang juga bercita-cita jadi Polwan ini. *ind
DENPASAR, NusaBali
Siapa yang tidak bangga menjadi pembawa baki atau nampan bendera pusaka saat tampil menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Posisi ‘mentereng’ ini tentu jadi rebutan, sebab semua mata akan tertuju padanya. Hal ini disyukuri betul oleh Ni Putu Diah Trisnawati sebagai pembawa baki saat pengibaran bendera, dan Ni Made Putri Intan Indraswari, pembawa baki saat penurunan bendera pada HUT ke-73 Kemerdekaan RI, di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar, Jumat (17/8).
Keduanya memang tidak menyangka akan terpilih menjadi pembawa baki. Proses pemilihannya pun cukup ketat oleh pelatih. Menurut pelatih Paskibraka tahun 2018, Iptu Gusti Putu Dharma Yudha dari Kesatuan Brimob Polda Bali, pemilihan pembawa baki dan pengibar bendera memang memerlukan proses yang cukup teliti. Pertama, dilihat dari segi sikap berupa postur tubuh, baik menjadi pembawa baki dan pengibar bendera. Kedua, dilihat dari segi kecakapan dalam menangkap materi yang diberikan. Ketiga, dilihat dari segi langkah, baik itu langkah biasa maupun langkah tegap. Keempat, dilihat dari mental karena akan berhadapan dengan para pejabat dan peserta upacara.
“Kami dari pelatih dari mulai masuk tanggal 29 Juli sampai dengan hari ini (kemarin, red) menekankan disiplin waktu dan disiplin gerakan. Apa yang kami berikan dari awal di lapangan, kami sudah bisa menilai. Kalau sudah masuk kriteria seluruh pelatih, maka kemungkinan satu atau dua minggu kami sudah bisa tahu siapa yang cocok menempati posisi tersebut (pembawa baki dan pengibar, red),” ungkapnya.
Usai tugas mengibarkan bendera, pembawa baki Ni Putu Diah Trisnawati mengaku bersyukur karena bisa tampil secara maksimal. Padahal, pagi itu upacara diwarnai dengan turun hujan yang mengguyur Kota Denpasar. Tidak ada istilah pantang mundur, Paskibraka pun tetap ‘tempur’ hingga berlumpur demi bisa menyelesaikan tugasnya mengibarkan Sang Saka Merah Putih. “Dalam situasi apapun, walaupun hujan, prinsip kami tetap menghentakkan kaki semaksimal mungkin untuk menampilkan yang terbaik,” ujar bajang asal Banjar Sengguan, Desa Semarapura Kangin, Klungkung ini.
Menurut pelajar dari SMAN 2 Semarapura ini, yang paling berat menjadi pembawa baki itu adalah soal ketenangan dan percaya diri. Keduanya penting untuk dilatih, sebab pembawa baki adalah posisi paling terlihat. Sehingga sebisa mungkin tidak terjadi kesalahan. Diah Trisnawati sempat grogi saat gladi. Dia takut gemetar saat tampil, dan takut terpeleset saat berjalan.
“Jadi pembawa baki itu kan kita tampil sendiri ke depan. Kita harus menampilkan yang terbaik, karena kita dilihat saat jalan, maju ke depan, jadi kita harus tenang, jangan sampai tegang. Tapi sebenarnya kita sudah dilatih agar tidak gemetaran. Pas latihan, bakinya diisi bata biar tangannya kuat, supaya tangan kita terbiasa dan tidak gemetaran,” cerita sulung dari tiga bersaudara pasangan I Komamg Budiasa dan Ni Wayan Lilik Trisnawati ini.
Diah Trisnawati yang bercita-cita menjadi Polwan ini mengaku sejak kecil mendambakan bisa masuk menjadi anggota paskibraka karena melihat sang ayah, seorang polisi yang kerapkali melatih anak-anak paskibraka di Kabupaten Klungkung. Ketika cukup umur, Diah kemudian dilatih secara mandiri mengenai kedisiplinan dan peraturan dasar baris berbaris oleh sang ayah. Barulah tahun ini dia bisa bergabung menjadi anggota paskibraka. Kendati tidak bisa melenggang ke nasional, namun Diah bersyukur bisa mendapat posisi pembawa baki di tingkat provinsi. “Sedih sih, ada rasa kecewa juga nggak bisa ke nasionl. Tapi bagi kami, mengibarkan bendera pusaka dimanapun itu sama,” pungkas gadis yang hobi main catur ini.
Pengakuan berbeda datang dari pembawa baki saat penurunan bendera, Ni Made Putri Intan Indraswari. Dia malah sama sekali tidak bermimpi jadi anggota paskibraka. Pelajar dari SMAN 1 Tabanan itu mengaku sekedar ikut karena melihat antusias teman-temannya ikut seleksi paskibraka. Intan yang tertarik lantas meminta restu orang tuanya hingga akhirnya terpilh dalam seleksi di tingkat kabupaten. Siapa sangka, dia mampu melenggang ke tingkat provinsi, bahkan diplot sebagai cadangan nasional saat seleksi tingkat provinsi tahun 2018.
“Saya tidak menyangka, karena saya merasa PBB saya nggak terlalu bagus, tapi akhirnya lolos. Tapi saya sedih juga karena tidak bisa lolos ke nasional, cuma sebagai cadangan. Jadi cadangan juga bikin kayak ngambang gitu, kayak kita itu di tengah-tengah, antara provinsi atau nasional, jadi ngerasa kurang jelas gitu posisinya. Syukurnya bisa jadi pembawa baki sekarang,” tutur teruni asli Banjar Batungsel Kelod, Desa Batungsel, Pupuan, Tabanan ini.
Soal perasaan sesaat akan tampil, Intan senada dengan Diah. Pebasket sejak usia SMP ini mengaku degdegan dan grogi. Ada rasa takut jika sampai terpeleset karena kondisi lapangan yang becek. Seraya berdoa, Intan terus menguatkan dirinya pasti bisa melalui semua rangkaian penurunan bendera. “Degdegan sudah pasti, tapi karena sudah latihan jadi terbiasa. Saya menanamkan prinsip dalam pikiran saya, pasti bisa, pasti bisa. Sehingga saya tidak menjadikan pembawa baki ini sebagai beban,” ujar anak kedua dari pasangan I Gede Putu Indrawan dan Ni Wayan Sukadewi Wahyuni yang juga bercita-cita jadi Polwan ini. *ind
Komentar