Sri: Penerimaan Pajak Agak Ambisius
Sekalipun penerimaan pajak dicanangkan naik 15 persen, tapi pemerintah optimis bisa memenuhi target.
JAKARTA, NusaBali
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui proyeksi penerimaan pajak dalam RAPBN 2019 sebesar Rp1.781 triliun atau tumbuh 15 persen dari outlook 2018 sebesar Rp1.548,5 triliun, merupakan target yang agak ambisius. Namun, kata Menkeu dalam jumpa pers Nota Keuangan dan RAPBN 2019 di Jakarta, Kamis, semestinya target tersebut masih bisa dicapai. "Total 'tax' tumbuh 15 persen. Ini cukup baik, tidak terlalu 'unrealistic', agak ambisius, tapi semestinya masih bisa dicapai," katanya.
Target penerimaan pajak Rp1.781 triliun dalam RAPBN 2019 terdiri dari pajak nonmigas Rp1.510 triliun, PPh nonmigas Rp62,3 triliun dan kepabeanan dan cukai Rp208,7 triliun. Menkeu mengatakan salah satu upaya untuk mencapai target tersebut adalah dengan mendorong pengawasan kepatuhan perpajakan melalui implementasi pertukaran akses informasi keuangan secara otomatis (AEOI). Selain itu, melakukan ekstensifikasi dan peningkatan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca pelaksanaan amnesti pajak serta penanganan UMKM melalui pendekatan business development services. "Kita melihat selama ini 'tax ratio' masih rendah dan kepatuhan bisa ditingkatkan, melalui AEOI, BEPS, kerja sama internasional, pertukaran akses informasi plus 'post tax amnesty'," katanya.
Pengawasan kepatuhan ini juga didukung oleh sinergi pelayanan otoritas pajak maupun kepabeanan dan cukai, pembenahan basis data perpajakan dan penerapan pengawasan Wajib Pajak berbasis risiko.
Upaya lainnya adalah dengan penegakan hukum kepada Wajib Pajak melalui pelaksanaan penegakan hukum secara berkeadilan dan peningkatan mutu pemeriksaan melalui perbaikan tata kelola.
Penguatan pelayanan perpajakan juga dilakukan dengan simplifikasi registrasi, perluasan tempat pemberian pelayanan, perluasan cakupan e-filing dan kemudahan restitusi. "Kita sudah mempertimbangkan situasi perpajakan secara total, dengan melihat kombinasi yang pas antara keinginan peningkatan 'tax ratio' tapi tetap realistis dengan kondisi perekonomian," ujar Sri Mulyani.
Secara terpisah Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo justru menilai target penerimaan pajak dalam RAPBN 2019 sebesar Rp1.572,4 triliun lebih realistis untuk dicapai. "Target penerimaan pajak hanya naik 15,39 - 16,68 persen dari proyeksi kami atas realisasi penerimaan pajak pada APBN 2018, yakni 94,6-95,6 persen dari target tanpa melakukan perubahan APBN. Target ini lebih realistis melihat kemajuan reformasi perpajakan yang berjalan telah memberikan hasil positif bagi kinerja Ditjen Pajak," ujar Yustinus.
Selain kinerja, lanjut Yustinus, reformasi perpajakan telah mendorong peningkatan kepatuhan pajak pasca amnesti, perbaikan kualitas pelayanan, pemeriksaan yang lebih kredibel dan adil, pemanfaatan informasi atau data keuangan dari Automatic Exchange of Information (AEoI) serta insentif yang lebih terukur dan tepat sasaran.
Menurut Yustinus, perlu fokus dan prioritas yang lebih baik agar harapan masyarakat akan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel dapat segera tercapai. Kepastian revisi UU Perpajakan seperti UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perlu disampaikan, termasuk penurunan tarif pajak, simplifikasi administrasi dan sengketa, transformasi kelembagaan menjadi badan semi-otonom, dan perlindungan hukum bagi fiskus.
Peranan penerimaan perpajakan dalam APBN juga semakin signifikan, yaitu naik dari 74 persen pada 2014 menjadi 83,1 persen pada 2019. Penerimaan perpajakan dipatok Rp1.781 triliun dengan rincian penerimaan pajak Rp1.572,4 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 208,6 triliun. Sedangkan penerimaan PNBP sebesar Rp361,1 triliun.
"Target penerimaan negara lain seperti cukai juga dipatok secara realistis. Jika dibandingkan dengan perkiraan 2018, kenaikan target penerimaan cukai naik sebesar 6,5 persen," ujar Yustinus.
Ia mengatakan, pemerintah tinggal konsisten menjalankan kebijakan eksisting seperti PMK-146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, agar hasilnya lebih optimal dan menjamin kepastian usaha.
Selain itu, kebijakan kepabeanan juga semakin menunjukkan keseimbangan peran, antara pengumpulan pendapatan (revenue collection) dan fasilitator perdagangan (trade facilitator), bantuan terhadap industri (industrial assistance), pelindung komunitas (community protector) melalui kemudahan layanan, simplifikasi administrasi, perbaikan 'dwelling time", optimalisasi Pusat Logistik Berikat, dan penerbitan importir berisiko tinggi.
"Lahirnya UU Penerimaan Negara Bukan Pajak yang baru juga akan berdampak signifikan untuk meningkatkan pendapatan negara karena adanya kepastian hukum, simplifikasi administrasi, transparansi pemungutan, dan akuntabilitas pengelolaan," ujar Yustinus. *ant
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui proyeksi penerimaan pajak dalam RAPBN 2019 sebesar Rp1.781 triliun atau tumbuh 15 persen dari outlook 2018 sebesar Rp1.548,5 triliun, merupakan target yang agak ambisius. Namun, kata Menkeu dalam jumpa pers Nota Keuangan dan RAPBN 2019 di Jakarta, Kamis, semestinya target tersebut masih bisa dicapai. "Total 'tax' tumbuh 15 persen. Ini cukup baik, tidak terlalu 'unrealistic', agak ambisius, tapi semestinya masih bisa dicapai," katanya.
Target penerimaan pajak Rp1.781 triliun dalam RAPBN 2019 terdiri dari pajak nonmigas Rp1.510 triliun, PPh nonmigas Rp62,3 triliun dan kepabeanan dan cukai Rp208,7 triliun. Menkeu mengatakan salah satu upaya untuk mencapai target tersebut adalah dengan mendorong pengawasan kepatuhan perpajakan melalui implementasi pertukaran akses informasi keuangan secara otomatis (AEOI). Selain itu, melakukan ekstensifikasi dan peningkatan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca pelaksanaan amnesti pajak serta penanganan UMKM melalui pendekatan business development services. "Kita melihat selama ini 'tax ratio' masih rendah dan kepatuhan bisa ditingkatkan, melalui AEOI, BEPS, kerja sama internasional, pertukaran akses informasi plus 'post tax amnesty'," katanya.
Pengawasan kepatuhan ini juga didukung oleh sinergi pelayanan otoritas pajak maupun kepabeanan dan cukai, pembenahan basis data perpajakan dan penerapan pengawasan Wajib Pajak berbasis risiko.
Upaya lainnya adalah dengan penegakan hukum kepada Wajib Pajak melalui pelaksanaan penegakan hukum secara berkeadilan dan peningkatan mutu pemeriksaan melalui perbaikan tata kelola.
Penguatan pelayanan perpajakan juga dilakukan dengan simplifikasi registrasi, perluasan tempat pemberian pelayanan, perluasan cakupan e-filing dan kemudahan restitusi. "Kita sudah mempertimbangkan situasi perpajakan secara total, dengan melihat kombinasi yang pas antara keinginan peningkatan 'tax ratio' tapi tetap realistis dengan kondisi perekonomian," ujar Sri Mulyani.
Secara terpisah Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo justru menilai target penerimaan pajak dalam RAPBN 2019 sebesar Rp1.572,4 triliun lebih realistis untuk dicapai. "Target penerimaan pajak hanya naik 15,39 - 16,68 persen dari proyeksi kami atas realisasi penerimaan pajak pada APBN 2018, yakni 94,6-95,6 persen dari target tanpa melakukan perubahan APBN. Target ini lebih realistis melihat kemajuan reformasi perpajakan yang berjalan telah memberikan hasil positif bagi kinerja Ditjen Pajak," ujar Yustinus.
Selain kinerja, lanjut Yustinus, reformasi perpajakan telah mendorong peningkatan kepatuhan pajak pasca amnesti, perbaikan kualitas pelayanan, pemeriksaan yang lebih kredibel dan adil, pemanfaatan informasi atau data keuangan dari Automatic Exchange of Information (AEoI) serta insentif yang lebih terukur dan tepat sasaran.
Menurut Yustinus, perlu fokus dan prioritas yang lebih baik agar harapan masyarakat akan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel dapat segera tercapai. Kepastian revisi UU Perpajakan seperti UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perlu disampaikan, termasuk penurunan tarif pajak, simplifikasi administrasi dan sengketa, transformasi kelembagaan menjadi badan semi-otonom, dan perlindungan hukum bagi fiskus.
Peranan penerimaan perpajakan dalam APBN juga semakin signifikan, yaitu naik dari 74 persen pada 2014 menjadi 83,1 persen pada 2019. Penerimaan perpajakan dipatok Rp1.781 triliun dengan rincian penerimaan pajak Rp1.572,4 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 208,6 triliun. Sedangkan penerimaan PNBP sebesar Rp361,1 triliun.
"Target penerimaan negara lain seperti cukai juga dipatok secara realistis. Jika dibandingkan dengan perkiraan 2018, kenaikan target penerimaan cukai naik sebesar 6,5 persen," ujar Yustinus.
Ia mengatakan, pemerintah tinggal konsisten menjalankan kebijakan eksisting seperti PMK-146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, agar hasilnya lebih optimal dan menjamin kepastian usaha.
Selain itu, kebijakan kepabeanan juga semakin menunjukkan keseimbangan peran, antara pengumpulan pendapatan (revenue collection) dan fasilitator perdagangan (trade facilitator), bantuan terhadap industri (industrial assistance), pelindung komunitas (community protector) melalui kemudahan layanan, simplifikasi administrasi, perbaikan 'dwelling time", optimalisasi Pusat Logistik Berikat, dan penerbitan importir berisiko tinggi.
"Lahirnya UU Penerimaan Negara Bukan Pajak yang baru juga akan berdampak signifikan untuk meningkatkan pendapatan negara karena adanya kepastian hukum, simplifikasi administrasi, transparansi pemungutan, dan akuntabilitas pengelolaan," ujar Yustinus. *ant
1
Komentar