nusabali

Nomor Urut Bawah Jadi Favorit Caleg

  • www.nusabali.com-nomor-urut-bawah-jadi-favorit-caleg

Fenomena caleg memilih nomor urut paling bawah yang boleh dikatakan sebagai nomor cantik tidak berpengaruh dengan suara dan pembagian kursi.

Fenomena di Pileg 2019, Dianggap Mudahkan Sosialisasi

DENPASAR, NusaBali
Ada fenomena menarik soal nomor urut favorit para calon anggota legislatif (caleg) pada Pileg 2019 ini. Sebagian caleg berebut di nomor urut sepatu alias nomor paling bawah (terakhir) setelah gagal bertengger di nomor urut 1 (satu). Bahkan kabarnya para caleg sampai lakukan lobi-lobi politik di partai politik untuk bisa meraih nomor urut sepatu.

Pengamat politik, demokrasi dan pemerintahan dari Universitas Ngurah Rai Denpasar yang juga Ketua Bali Sruti Bali, Luh Riniti Rahayu di Denpasar, Minggu (19/8) mengatakan secara psikologis caleg dengan nomor urut atas (Nomor 1) diuntungkan dengan konstituen yang tidak mau susah-susah menyisir nomor urut jagonya ketika coblosan di TPS (Tempat Pemungutan Suara).

“Itu wajar saja, ingin berebut nomor urut 1 atau nomor paling bawah. Jadi yang paling mudah adalah mencari nomor urut paling atas atau paling bawah. Jadi caleg kalau nggak dapat nomor 1, ya mereka ingin nomor paling bawah. Ini hanya memudahkan caleg mengkampanyekan diri mereka kepada konstituen yang tidak mau repot nyisir nomor,” ujar Riniti Rahayu.

Riniti juga membeber fenomena caleg memilih nomor urut paling bawah yang boleh dikatakan sebagai nomor cantik tidak berpengaruh dengan suara dan pembagian kursi. “Nomor atas dan nomor paling bawah tidak mempengaruhi suara atau saat pembagian kursi yang akan mereka dapatkan nanti,” ujar mantan Komisioner KPU Bali 2008-2013 ini.

Lanjut Riniti, secara psikologis nomor urut 1 dicap adalah unggulan, nomor 1 adalah dianggap terbaik, nomor 1 dianggap paling hebat di antara yang lain.  “Padahal kan belum tentu seperti itu. Di setiap internal partai politik, pemberian nomor urut tentu beda-beda sistemnya. Ada nomor 1 diberikan ke petahana (incumbent), ada diberikan kepada yang paling berjasa ke partai, ada yang lewat undian. Namun selama ini kesannya nomor 1 memang diunggulkan, belum tentu,” tegas Riniti.

Kata perempuan asal Singaraja ini, untuk pemilih cerdas tidak bermasalah soal nomor urut. “Namun tidak semua pemilih kita cerdas, apalagi pemilih yang hanya sekadar kenal dan tidak melihat visi misi atau track record calon. Mereka memilih berdasarkan mengingat nomor yang gampang,” ujar Riniti.

Sementara untuk nomor di tengah menurut Riniti agak kena dampak. Terutama konstituen yang ‘malas’ menyisir nomor jagonya. “Ya lebih susah peluang mereka (nomor urut tengah). Karena pemilih tidak mudah mencoblos kandidat yang dijagokan, terutama pemilih yang malas menyisir. Namun kalau yang sudah punya jago perempuan, biasanya suara sudah pasti diberikan kepada perempuan. Perempuan posisinya di pencalegan sebagian dipakai sebagai syarat 30% keterwakilan perempuan,” ujar Riniti.

Untuk keterwakilan perempuan, Riniti membeber sampai saat ini sudah pemilu yang ke 4 sejak diamanatkan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan, ternyata hasil keterwakilan perempuan belum sesuai denga harapan. Pada dua pemilu terakhir, memang telah berhasil mencalonkan minimal 30%. Itupun dikarenakan adanya PKPU, namun bila calon hanya 30% tentu hasilnya tidak mungkin menang semua. “Karena itulah keterwakilan jadi tidak pernah berhasil mencapai 30%,” ujar Riniti.

Sementara mantan Ketua KPU Bali, I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa secara terpisah mengatakan nomor urut paling bawah menjadi trend dipilih para caleg merupakan strategi untuk memudahkan sosialisasi di masyarakat. Masyarakat yang tidak mau pusing dengan mencari nomor calon, pasti langsung mengarahkan dengan gampangan ke nomor urut bawah.

“Ini sejak adanya tarung bebas. Kalau pemilihan dengan nomor urut, ya nomor urut 1 mungkin bergengsi. Sekarang terbalik, nomor urut paling bawah lebih disukai caleg, karena gampang sosialisasikan diri di masyarakat,” ujar Lanang Perbawa.

Selain nomor urut sepatu menguntungkan caleg di setiap perhelatan Pileg dengan sistem tarung bebas, sosialisasi ke bawah lebih penting. Karena sosialisasi akan membuka peluang keterpilihan. “Nomor urut sepatu ini juga harus diimbangi dengan sosialisasi ke bawah. Nomor urut sudah gampang diingat, nanti kan strategi sosialisasinya lebih penting. Kalau nggak sosialisasi juga nggak berpeluang dapat suara,” kata akademisi asal Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng ini. *nat

Komentar