Sanggar Seni Catur Muka Swara, Menelurkan Bibit Unggul
Sanggar Seni Catur Muka Swara merupakan salah satu sanggar seni yang konsisten menjaring insan-insan muda yang gemar akan dunia tarik suara.
DENPASAR, NusaBali
Mengisi hari sehari sebelum ajang Bali Mandara Mahalango V berakhir, Sangga Seni Catur Muka pun mendapat kesempatan untuk menampilkan bibit-bibit unggulnya di Gedung Ksirarnawa, Taman Bidaya-Art Center, Denpasar, Senin (27/8) malam.
Bukan suatu hal yang asing lagi bahwa Sanggar Seni Catur Muka Swara senantiasa membentuk bibit unggul dalam dunia tarik suara Bali. “Kami selalu mencari bibit-bibit unggul di dunia tarik suara melalui proses seleksi,” jelas I Komang Astita selaku pemimpin sanggar.
Dikatakan, sanggar tersebut sudah ada sejak tahun 2013. Awalnya dimiliki oleh Kota Denpasar untuk mencari anak-anak yang berminat sungguh-sungguh dalam menyanyi. Para penyanyi maupun musisi yang tergabung dalam sanggar adalah anak-anak pilihan dengan mengambil langkah seleksi sebelumnya. “Misalnya itu seperti Deva (salah satu anggota Sanggar Seni Catur Muka Swara, red) dia dari kecil ikut seleksi sampai kuliah seperti saat ini pun dia tetap gabung,” tambah Astita.
Malam itu, instrumen yang menjadi persembahan pertama adalah Uma Sadina yang digarap oleh I Komang Astita pada tahun 1980. Garapan tersebut ditampilkan oleh Catur Muka Swara bersama Deva, Dena Ersafira, Mahalini Raharja, Meiska Adinda, Cening Wijaya, Angling, Saly, Diva, dan Wimas. Tak hanya instrument dengan nuansa tradisional, para penyanyi pun turut mebawakan beberapa lagu kekinian, salah satunya yang dibawakan oleh Meiska Adinda, Mahalini Raharja, dan Dena Ersafira dengan lagu bertajuk All I Ask dari Adele. Lagu sendu ini pun sukses membawa penonton ke dalam haru birunya kisah friend zone yang memelit anak muda.
Setelah dibawa pada lagu kekinian, sebagai pamungkas lagu-lagu Bali pun bermunculan. Seperti Jempiring Putih sebagai lagu maskot Kota Denpasar, Ni Diah Tantri, dan Tat Twam Asi. Ketiga lagu tersebut kembali dibawakan oleh trio Meiska, Mahalini, dan Dena dengan suara merdunya kembali membalut penonton dalam suasana lagu. Ditambah dengan alunan musik yang apik semakin membuat lagu yang dibawakan kian sempurna.
Sementara itu, pengamat seni yang juga kurator Bali Mandara Mahalango V, Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan, potensi anak-anak yang tergabung Sanggar Seni Catur Muka Swara cukup besar. Anak-anak yang tampil cukup terlatih. Hanya saja, menurut Dibia, soal pemilihan materi lagu tertentu (lagu barat) dan kostum (kostum Bali) dipakai yang terasa agak menghambat mereka berakting. “Sehingga agak sulit memberikan tenaga di dalam pertunjukan, karena kalau terlalu dibuka, kostumnya tidak menunjang. Kalau nggak, lagunya sendiri menuntut untuk itu,” ujarnya.
Sedangkan menurut pengamat seni dalam Bali Mandara Mahalango I Made Bandem V, Prof Dr I Made Bandem, ada keharmonisan dalam garapan dari Sanggar Seni Catur Muka Swara. Namun, Prof Bandem pun tetap memberi masukan bahwa pada garapan Astita yang bertajuk Uma Sadina sejatinya lebih cocok hanya dengan gamelan Bali saja. “Tapi karena ini suatu eksperimen itu tidak boleh dilarang,” ujar Prof Bandem. *ind
Bukan suatu hal yang asing lagi bahwa Sanggar Seni Catur Muka Swara senantiasa membentuk bibit unggul dalam dunia tarik suara Bali. “Kami selalu mencari bibit-bibit unggul di dunia tarik suara melalui proses seleksi,” jelas I Komang Astita selaku pemimpin sanggar.
Dikatakan, sanggar tersebut sudah ada sejak tahun 2013. Awalnya dimiliki oleh Kota Denpasar untuk mencari anak-anak yang berminat sungguh-sungguh dalam menyanyi. Para penyanyi maupun musisi yang tergabung dalam sanggar adalah anak-anak pilihan dengan mengambil langkah seleksi sebelumnya. “Misalnya itu seperti Deva (salah satu anggota Sanggar Seni Catur Muka Swara, red) dia dari kecil ikut seleksi sampai kuliah seperti saat ini pun dia tetap gabung,” tambah Astita.
Malam itu, instrumen yang menjadi persembahan pertama adalah Uma Sadina yang digarap oleh I Komang Astita pada tahun 1980. Garapan tersebut ditampilkan oleh Catur Muka Swara bersama Deva, Dena Ersafira, Mahalini Raharja, Meiska Adinda, Cening Wijaya, Angling, Saly, Diva, dan Wimas. Tak hanya instrument dengan nuansa tradisional, para penyanyi pun turut mebawakan beberapa lagu kekinian, salah satunya yang dibawakan oleh Meiska Adinda, Mahalini Raharja, dan Dena Ersafira dengan lagu bertajuk All I Ask dari Adele. Lagu sendu ini pun sukses membawa penonton ke dalam haru birunya kisah friend zone yang memelit anak muda.
Setelah dibawa pada lagu kekinian, sebagai pamungkas lagu-lagu Bali pun bermunculan. Seperti Jempiring Putih sebagai lagu maskot Kota Denpasar, Ni Diah Tantri, dan Tat Twam Asi. Ketiga lagu tersebut kembali dibawakan oleh trio Meiska, Mahalini, dan Dena dengan suara merdunya kembali membalut penonton dalam suasana lagu. Ditambah dengan alunan musik yang apik semakin membuat lagu yang dibawakan kian sempurna.
Sementara itu, pengamat seni yang juga kurator Bali Mandara Mahalango V, Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan, potensi anak-anak yang tergabung Sanggar Seni Catur Muka Swara cukup besar. Anak-anak yang tampil cukup terlatih. Hanya saja, menurut Dibia, soal pemilihan materi lagu tertentu (lagu barat) dan kostum (kostum Bali) dipakai yang terasa agak menghambat mereka berakting. “Sehingga agak sulit memberikan tenaga di dalam pertunjukan, karena kalau terlalu dibuka, kostumnya tidak menunjang. Kalau nggak, lagunya sendiri menuntut untuk itu,” ujarnya.
Sedangkan menurut pengamat seni dalam Bali Mandara Mahalango I Made Bandem V, Prof Dr I Made Bandem, ada keharmonisan dalam garapan dari Sanggar Seni Catur Muka Swara. Namun, Prof Bandem pun tetap memberi masukan bahwa pada garapan Astita yang bertajuk Uma Sadina sejatinya lebih cocok hanya dengan gamelan Bali saja. “Tapi karena ini suatu eksperimen itu tidak boleh dilarang,” ujar Prof Bandem. *ind
1
Komentar