MUTIARA WEDA : Material vs Spiritual
Maitreya melanjutkan: wahai Vidura, karena ingin memuaskan istri tercintanya, Rsi Kandama mengeluarkan kesaktian yoga dan seketika itu menghasilkan rumah besar di udara yang bisa bergerak sesuai kehendaknya.
Maitreya uvaca:
Priyayah priyam anvicchan, Kandamo yogam asthitah
Vimanam kama gam ksattas Tarhy evaviracikarat
(Bhagavata Purana, 3.23.12)
SEBELUM prinsip-prinsip Vairagya yang dimaknai sebagai keterlepasan secara total dengan objek keduniawian dan kemudian diaktualisasikan dengan hidup jauh dari kekayaan dan segala bentuk pemuasan duniawi, para maharsi zaman dulu tidak menjadikan hal-hal duniawi sebagai sesuatu yang bertentangan. Seperti misalnya teks di atas, walaupun Rsi Kandama adalah seorang Rsi Agung, dirinya tidak pernah melepaskan kewajiban duniawinya. Hal-hal yang bersifat duniawi seperti memuaskan istri tetap menjadi perhatian penting dari seorang Rsi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggunakan kemampuan yoganya dalam menjalankan kewajiban duniawinya.
Memenuhi kewajiban duniawi sepertinya adalah aplikasi dari ajaran spiritual. Maka dari itu, spiritualitas bukanlah lawan dari duniawi. Objek-objek duniawi beserta dengan kenikmatannya adalah bagian dari keberadaan yang tidak bisa dinegasi. Dia ada dan merupakan integral dengan kehidupan. Dunia materi dan dunia spiritual adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain, bahkan sesungguhnya satu adanya. Artinya, jika orientasi kita adalah spiritual, maka segalanya adalah spiritual, demikian juga sebaliknya jika orientasi kita material, metode spiritual apapun akan tetap material. Paham Saiva memandang bahwa alam semesta ini adalah cermin dari Siva itu sendiri, sehingga setiap aspek yang ada pada prinsipnya adalah Siva.
Lalu mengapa dewasa ini terjadi dikotomi pemahaman yang begitu berat seolah-olah dunia spiritual berlawanan dengan dunia material? Tidak dipungkiri bahwa materi adalah penyebab kejatuhan manusia. Orang yang terjebak di dunia materi akan senantiasa berada di dalam ikatan samsara tanpa tepi. Namun, walaupun demikian, mendikotomi berlebihan terhadap keduanya bisa saja salah arah. Badan adalah dunia material. Pikiran adalah material. Pertanyaannya, dari mana kita dapat mempertentangkannya sehingga terjadi jarak yang ekstrem di dalam pemikiran dan pemahaman? Meskipun praktiknya dalam keseharian berjalan seiring, kenyataannya senantiasa hand to hand, tetapi di dalam pikiran kita senantiasa mempertentangkannya secara tajam.
Mengapa kita memahaminya secara dikotomi? Karena kita menganggap bahwa dunia spiritual adalah sesuatu dan dunia material adalah sesuatu yang lain. Dunia spiritual adalah kebaikan, kesucian, yang merupakan tujuan tertinggi, sementara dunia material adalah penuh keburukan, pusat kekotoran, menjadi penghambat, dan yang lainnya. Jadi oleh karena kita berpikir bahwa dunia spiritual dan dunia material adalah sesuatu, makanya kita mempertentangkannya. Jika kedua dunia ini bertentangan, lalu bagaimana seorang Maharsi yang telah matang Vairagyanya berpikir dan bertindak untuk memuaskan istrinya? Dalam konteks dikotomi bukankah ini menjadi sebuah kontradiksi?
Berdasarkan teks di atas, kita dapat berpikir bahwa sesungguhnya materi dan spiritual adalah satu kesatuan dan bahkan yang ada sesungguhnya hanya satu. Apa itu spiritual? Hanya ketika keterikatan seseorang telah selesai, ketika dirinya telah menjadi segala sesuatu, atau dirinya sepenuhnya bukan sesuatu, maka disinilah spiritual. Jika seseorang masih merasa dirinya ada dan berbeda dengan yang lain, maka dia belum berada dalam spiritual. Hanya ketika orang yang telah mampu merasakan dirinya ada dan keberadaannya tidak berbeda dengan yang lain, dia bisa dikatakan berada dalam dunia spiritual. Demikian juga hanya ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak ada sama sekali dan yang ada hanya Realitas Sejati, maka orang itu bisa disebut berada di dalam spiritual. Jika orang mengada hanya setengah-setengah atau meniada setengah-setengah maka dipastikan dia belum berada dalam dunia spiritual. Atas dasar inilah mengapa dikotomi antara spiritual dan material sesungguhnya perlu dipertimbangkan keberadaannya di pikiran kita. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Vimanam kama gam ksattas Tarhy evaviracikarat
(Bhagavata Purana, 3.23.12)
SEBELUM prinsip-prinsip Vairagya yang dimaknai sebagai keterlepasan secara total dengan objek keduniawian dan kemudian diaktualisasikan dengan hidup jauh dari kekayaan dan segala bentuk pemuasan duniawi, para maharsi zaman dulu tidak menjadikan hal-hal duniawi sebagai sesuatu yang bertentangan. Seperti misalnya teks di atas, walaupun Rsi Kandama adalah seorang Rsi Agung, dirinya tidak pernah melepaskan kewajiban duniawinya. Hal-hal yang bersifat duniawi seperti memuaskan istri tetap menjadi perhatian penting dari seorang Rsi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggunakan kemampuan yoganya dalam menjalankan kewajiban duniawinya.
Memenuhi kewajiban duniawi sepertinya adalah aplikasi dari ajaran spiritual. Maka dari itu, spiritualitas bukanlah lawan dari duniawi. Objek-objek duniawi beserta dengan kenikmatannya adalah bagian dari keberadaan yang tidak bisa dinegasi. Dia ada dan merupakan integral dengan kehidupan. Dunia materi dan dunia spiritual adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain, bahkan sesungguhnya satu adanya. Artinya, jika orientasi kita adalah spiritual, maka segalanya adalah spiritual, demikian juga sebaliknya jika orientasi kita material, metode spiritual apapun akan tetap material. Paham Saiva memandang bahwa alam semesta ini adalah cermin dari Siva itu sendiri, sehingga setiap aspek yang ada pada prinsipnya adalah Siva.
Lalu mengapa dewasa ini terjadi dikotomi pemahaman yang begitu berat seolah-olah dunia spiritual berlawanan dengan dunia material? Tidak dipungkiri bahwa materi adalah penyebab kejatuhan manusia. Orang yang terjebak di dunia materi akan senantiasa berada di dalam ikatan samsara tanpa tepi. Namun, walaupun demikian, mendikotomi berlebihan terhadap keduanya bisa saja salah arah. Badan adalah dunia material. Pikiran adalah material. Pertanyaannya, dari mana kita dapat mempertentangkannya sehingga terjadi jarak yang ekstrem di dalam pemikiran dan pemahaman? Meskipun praktiknya dalam keseharian berjalan seiring, kenyataannya senantiasa hand to hand, tetapi di dalam pikiran kita senantiasa mempertentangkannya secara tajam.
Mengapa kita memahaminya secara dikotomi? Karena kita menganggap bahwa dunia spiritual adalah sesuatu dan dunia material adalah sesuatu yang lain. Dunia spiritual adalah kebaikan, kesucian, yang merupakan tujuan tertinggi, sementara dunia material adalah penuh keburukan, pusat kekotoran, menjadi penghambat, dan yang lainnya. Jadi oleh karena kita berpikir bahwa dunia spiritual dan dunia material adalah sesuatu, makanya kita mempertentangkannya. Jika kedua dunia ini bertentangan, lalu bagaimana seorang Maharsi yang telah matang Vairagyanya berpikir dan bertindak untuk memuaskan istrinya? Dalam konteks dikotomi bukankah ini menjadi sebuah kontradiksi?
Berdasarkan teks di atas, kita dapat berpikir bahwa sesungguhnya materi dan spiritual adalah satu kesatuan dan bahkan yang ada sesungguhnya hanya satu. Apa itu spiritual? Hanya ketika keterikatan seseorang telah selesai, ketika dirinya telah menjadi segala sesuatu, atau dirinya sepenuhnya bukan sesuatu, maka disinilah spiritual. Jika seseorang masih merasa dirinya ada dan berbeda dengan yang lain, maka dia belum berada dalam spiritual. Hanya ketika orang yang telah mampu merasakan dirinya ada dan keberadaannya tidak berbeda dengan yang lain, dia bisa dikatakan berada dalam dunia spiritual. Demikian juga hanya ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak ada sama sekali dan yang ada hanya Realitas Sejati, maka orang itu bisa disebut berada di dalam spiritual. Jika orang mengada hanya setengah-setengah atau meniada setengah-setengah maka dipastikan dia belum berada dalam dunia spiritual. Atas dasar inilah mengapa dikotomi antara spiritual dan material sesungguhnya perlu dipertimbangkan keberadaannya di pikiran kita. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar