Pemkab Dituding Ngekoh Dirikan BPR
Padahal untuk mendirikan BPR itu juga sudah dipasang anggaran Rp 3,5 miliar.
NEGARA, NusaBali
Rencana pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jembrana terhambat karena belum berhasilnya pembentukan calon direksi dan calon dewan komisaris sejak tahun 2017, hingga jadi sorotan DPRD Jembrana. DPRD menuding kalangan eksekutif ngekoh alias tidak serius mendirikan BPR yang telah dibuatkan Peraturan Daerah (Perda) tersebut.
Tudingan itu dilontarkan Ketua Komisi B DPRD Jembrana I Nyoman Sutengsu Kusumayasa alias Suheng, Kamis (30/8). Menurutnya, sesuai Perda menyangkut pendirian BPR yang sebelumnya dimunculkan atas inisiatif dirinya di Komisi B, BPR itu seharusnya sudah mulai beroperasi per tahun 2019. Padahal untuk mendirikan BPR itu juga sudah dipasang anggaran Rp 3,5 miliar. “Perda dan anggaran sudah ada, tinggal pelaksanaan. Sekarang yang menjadi masalah utama, ya pelaksanaannya itu,” kata anggota dewan asal Desa/Kecamatan Pekutatan ini.
Menurutnya, dalam sejumlah rapat kerja (raker), pihaknya mengaku juga telah berulang kali menanyakan tindak lanjut terhadap Perda tentang pendirian BPR tersebut. Dari penjelasan eksekutif, pendirian BPR itu terhambat rekrutmen untuk pembentukan dua orang Direksi serta dua orang Dewan Komisaris. Di mana untuk pendirian Direksi serta Dewan Komisaris yang diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK), eksekutif kesulitan mencari minimal 8 orang pendaftar yang memenuhi syarat memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP). “Kendalanya mencari orang yang bersertifikat. Sedangkan, sebagian besar orang yang sudah punya sertifikat, katanya sudah bekerja. Melihat akar masalah itu, bisa dicarikan solusi, dan saya sudah sarankan dua solusi. Pertama, untuk mencari orang yang sudah bersertifikat, eksekutif harus berani menantang, menentukan berapa gaji Direksi dan Dewan Komisaris. Kalau tidak diperjelas, orang yang sudah bersertifikat dan sudah kerja saat ini, jelas enggan melamar, apalagi diharusk
an mundur dari tempat kerja sebelumnya,” ujarnya.
Kemudian solusi kedua, adalah mencetak calon pendaftar, dengan terlebih dulu membuka rekrutmen secara umum untuk orang-orang yang berkompenten dalam bidang perbankan, tanpa mensyaratkan sertifikasi LSPP. Ketika sudah terjaring sesuai kebutuhan, barulah dilanjutkan untuk memfasilitasi calon pendaftar untuk mendapat sertifikasi LSPP. “Ini juga membuka peluang orang-orang berkempentens di Jembrana. Nanti yang tidak masuk Direksi atau Dewan Komisaris, bisa juga nanti mereka ikut direkrut di BPR. Dua solusi ini, sudah kami berusaha tekankan ke eksekutif,” ungkapnya.
Selain masalah rekrutmen Direksi dan Dewan Komisaris, kata Suheng, sebenarnya dalam pendirian BPR ini, pihaknya juga meminta eksekutif untuk menyiapkan segala proses administrasi dengan membentuk tim ad hoc. Baik itu menyangkut AD/ART, izin, dan lain sebagainya, untuk benar-benar mematangkan kesiapan pengoperasian BPR yang sangat diharapkan menjadi pendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut. “Tetapi yang saya lihat, sekarang hanya ada Panitia Seleksi (Pansel) untuk rekrutmen Direksi dan Dewan Komisaris yang belum juga diselesaikan setahun. Padahal kalau mau bergerak, beberapa kabupaten di Bali sudah ada punya BPR. Sekarang masalahnya, apakah mau serius atau tidak,” pungkasnya.
Sekda Jembrana I Made Sudiada, saat dikonfirmasi Jumat (31/8), membantah eksekutif dinyatakan tidak serius untuk mendirikan BPR yang telah dibuatkan Perda itu. Menurutnya, setelah Perda disahkan tahun 2017 lalu, dan juga mendapat dukungan anggaran dari legislatif, pihaknya sudah langsung bergerak untuk berusaha mendirikan BPR. Namun hambatan terbesar, adalah pembentukan Direksi dan Dewan Komisaris yang minim pelamar. Sejak mulai dibuka pertama mulai Desember 2017 lalu, hingga memasuki pembukaan rekrutmen yang ketujuh kali memasuki bulan Agustus sampai terakhir 30 September 2018 nanti, sementara baru ada 6 pendaftar dari syarat minimal 8 pendaftar. “Pembentukan Direksi dan Dewan Komisaris ini menjadi syarat mutlak, dan kalau belum terbentuk, tidak bisa melanjutkan proses lainnya. Nah, yang menentukan persyarat itu langsung dari OJK. Sedangkan kami di Kabupaten hanya melaksanakan seleksi administrasi untuk mencari pendaftar. Untuk mencari pendaftar, itu kami sudah berusaha sosialisasikan, dan sudah sampai tujuh kali kami buka pendaftaran, dan kenyataan baru ada 6 pendaftar, masih kurang lagi 2 pendaftar,” katanya.
Menurut Sudiada, ketika harus membuka seleksi secara umum untuk mencetak calon pendaftar, pihaknya mengaku harus berkoordinasi dengan OJK, sehingga tidak sampai melanggar aturan. Rencananya dalam waktu dekat ini, pihaknya juga akan berkoordinasi kembali ke OJK, terkait hambatan rekrutmen calon Direksi dan Dewan Komisaris tersebut, dengan harapan mendapat solusi terbaik. “Nanti kami berusaha koordinasi, apa seleksi tidak bisa dilanjutkan dengan jumlah pendaftar saat ini. Kami tetap berusaha mencari solusi. Tidak benar kalau kami dikatakan tidak serius atau setengah hati untuk mendirikan BPR,” ujarnya. *ode
Tudingan itu dilontarkan Ketua Komisi B DPRD Jembrana I Nyoman Sutengsu Kusumayasa alias Suheng, Kamis (30/8). Menurutnya, sesuai Perda menyangkut pendirian BPR yang sebelumnya dimunculkan atas inisiatif dirinya di Komisi B, BPR itu seharusnya sudah mulai beroperasi per tahun 2019. Padahal untuk mendirikan BPR itu juga sudah dipasang anggaran Rp 3,5 miliar. “Perda dan anggaran sudah ada, tinggal pelaksanaan. Sekarang yang menjadi masalah utama, ya pelaksanaannya itu,” kata anggota dewan asal Desa/Kecamatan Pekutatan ini.
Menurutnya, dalam sejumlah rapat kerja (raker), pihaknya mengaku juga telah berulang kali menanyakan tindak lanjut terhadap Perda tentang pendirian BPR tersebut. Dari penjelasan eksekutif, pendirian BPR itu terhambat rekrutmen untuk pembentukan dua orang Direksi serta dua orang Dewan Komisaris. Di mana untuk pendirian Direksi serta Dewan Komisaris yang diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK), eksekutif kesulitan mencari minimal 8 orang pendaftar yang memenuhi syarat memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP). “Kendalanya mencari orang yang bersertifikat. Sedangkan, sebagian besar orang yang sudah punya sertifikat, katanya sudah bekerja. Melihat akar masalah itu, bisa dicarikan solusi, dan saya sudah sarankan dua solusi. Pertama, untuk mencari orang yang sudah bersertifikat, eksekutif harus berani menantang, menentukan berapa gaji Direksi dan Dewan Komisaris. Kalau tidak diperjelas, orang yang sudah bersertifikat dan sudah kerja saat ini, jelas enggan melamar, apalagi diharusk
an mundur dari tempat kerja sebelumnya,” ujarnya.
Kemudian solusi kedua, adalah mencetak calon pendaftar, dengan terlebih dulu membuka rekrutmen secara umum untuk orang-orang yang berkompenten dalam bidang perbankan, tanpa mensyaratkan sertifikasi LSPP. Ketika sudah terjaring sesuai kebutuhan, barulah dilanjutkan untuk memfasilitasi calon pendaftar untuk mendapat sertifikasi LSPP. “Ini juga membuka peluang orang-orang berkempentens di Jembrana. Nanti yang tidak masuk Direksi atau Dewan Komisaris, bisa juga nanti mereka ikut direkrut di BPR. Dua solusi ini, sudah kami berusaha tekankan ke eksekutif,” ungkapnya.
Selain masalah rekrutmen Direksi dan Dewan Komisaris, kata Suheng, sebenarnya dalam pendirian BPR ini, pihaknya juga meminta eksekutif untuk menyiapkan segala proses administrasi dengan membentuk tim ad hoc. Baik itu menyangkut AD/ART, izin, dan lain sebagainya, untuk benar-benar mematangkan kesiapan pengoperasian BPR yang sangat diharapkan menjadi pendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut. “Tetapi yang saya lihat, sekarang hanya ada Panitia Seleksi (Pansel) untuk rekrutmen Direksi dan Dewan Komisaris yang belum juga diselesaikan setahun. Padahal kalau mau bergerak, beberapa kabupaten di Bali sudah ada punya BPR. Sekarang masalahnya, apakah mau serius atau tidak,” pungkasnya.
Sekda Jembrana I Made Sudiada, saat dikonfirmasi Jumat (31/8), membantah eksekutif dinyatakan tidak serius untuk mendirikan BPR yang telah dibuatkan Perda itu. Menurutnya, setelah Perda disahkan tahun 2017 lalu, dan juga mendapat dukungan anggaran dari legislatif, pihaknya sudah langsung bergerak untuk berusaha mendirikan BPR. Namun hambatan terbesar, adalah pembentukan Direksi dan Dewan Komisaris yang minim pelamar. Sejak mulai dibuka pertama mulai Desember 2017 lalu, hingga memasuki pembukaan rekrutmen yang ketujuh kali memasuki bulan Agustus sampai terakhir 30 September 2018 nanti, sementara baru ada 6 pendaftar dari syarat minimal 8 pendaftar. “Pembentukan Direksi dan Dewan Komisaris ini menjadi syarat mutlak, dan kalau belum terbentuk, tidak bisa melanjutkan proses lainnya. Nah, yang menentukan persyarat itu langsung dari OJK. Sedangkan kami di Kabupaten hanya melaksanakan seleksi administrasi untuk mencari pendaftar. Untuk mencari pendaftar, itu kami sudah berusaha sosialisasikan, dan sudah sampai tujuh kali kami buka pendaftaran, dan kenyataan baru ada 6 pendaftar, masih kurang lagi 2 pendaftar,” katanya.
Menurut Sudiada, ketika harus membuka seleksi secara umum untuk mencetak calon pendaftar, pihaknya mengaku harus berkoordinasi dengan OJK, sehingga tidak sampai melanggar aturan. Rencananya dalam waktu dekat ini, pihaknya juga akan berkoordinasi kembali ke OJK, terkait hambatan rekrutmen calon Direksi dan Dewan Komisaris tersebut, dengan harapan mendapat solusi terbaik. “Nanti kami berusaha koordinasi, apa seleksi tidak bisa dilanjutkan dengan jumlah pendaftar saat ini. Kami tetap berusaha mencari solusi. Tidak benar kalau kami dikatakan tidak serius atau setengah hati untuk mendirikan BPR,” ujarnya. *ode
1
Komentar