DenPasar2018: Sebuah Pameran dan Gerakan dalam JINGGA
Melanjutkan keberhasilan dari pendahulunya yang bertemakan "Bahasa Pasar", program tahunan DenPasar Art+Design kembali pada kali ini dengan tema "JINGGA". Juga dikenal sebagai semburat oranye kekuningan, jingga merepresentasikan berbagai rona yang bercampur di kala terbit dan terbenamnya matahari, yaitu saat terang dan gelap melebur satu sama lainnya.
DENPASAR, NusaBali
Terinspirasi dari kekayaan warna pada momen-momen tersebut, DenPasar2018 bertujuan untuk menangkap berbagai perspektif dalam realitas Bali yang beragam dan berlapis, melalui sebuah pameran bersama tiga bulan lamanya, dengan menampilkan karya-karya seniman, desainer, arsitek, dan penampil. Selama pameran ini berlangsung, DenPasar2018 juga akan merangkul para individu maupun komunitas kreatif, baik yang berasal dari dalam maupun luar Bali, untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam acara DesignTalk serta kegiatan kreatif lainnya, sebagai bagian dari gerakan yang akan tercantum dalam DenPasar Art+Design Map 2018-2019. Melalui pameran, kegiatan, dan pemetaan entitas-entitas sosial dan kreatif yang beragam, baik peserta maupun pengunjung diundang untuk menyelidiki citra Bali yang telah terbentuk, dan menjelajahi berbagai sisi kehidupan masyarakat Bali yang tradisional, yakni yang dirayakan dan yang disisihkan, seraya mereka beradaptasi untuk memenuhi tuntutan era kontemporer.
Publikasi komprehensif untuk DenPasar2018, termasuk semua partisipan dan rincian pembukaan. Desain oleh CushCush Gallery.
Diinisiasi oleh CushCush Gallery, pameran eponim DenPasar2018 dan aktivitasnya akan digelar di jantung ibukota Bali pada bulan Oktober mendatang. Melengkapi inisiatif-inisiatif yang telah lama berlangsung, yakni Pesta Kesenian Bali, serta Festival Denpasar yang juga dikenal sebagai Festival Gajah Mada, yang menyorot kesenian dan kebudayaan tradisional di Bali, DenPasar2018 hendak mempromosikan kota Denpasar sebagai bingkai bagi kesenian, desain, dan pergerakan kebudayaan kontemporer di Bali. Secara harafiah berarti "Pasar Utara", Denpasar merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan di provinsi tersebut, juga rumah bagi cabang Institut Seni Indonesia (ISI) di Bali. Dilimpahi dengan berbagai sumber daya strategis, serta semangat berkarya yang konstan di kota ini, maka DenPasar2018 merupakan sebuah usaha kolektif untuk menandai sebuah kota sebagai titik temu kesenian, desain, dan kebudayaan yang memiliki karakternya sendiri.
Sampul depan DenPasar Art+Design Map 2018-2019, dengan karya kolaborasi dari seniman Andre Yoga dan Tri Haryoko, yang juga dikenal sebagai Uncle Joy. Desain oleh CushCush Gallery.
Acara
DenPasar2018 merupakan sebuah acara yang terdiri dari pameran kelompok, DesignTalk, dan programprogram publik yang merangkul berbagai bentuk ekspresi kreatif melalui para praktisi yang telah terhubung ke Bali dalam perjalanannya masing-masing. Selama tiga bulan, karya-karya seni dari berbagai asal akan mendiami ruang pameran CushCush Gallery yang berlimpah penerangan alami, dikurasi oleh penemu dan pemilik CushCush Gallery Suriawati Qiu dan Jindee Chua, serta kurator independen Stella Katherine. Partisipan terdiri dari tiga undangan terhormat, serta dua belas seniman terpilih dari panggilan terbuka yang menjangkau berbagai daerah di Indonesia.
Tamu terhormat yang diundang ke pameran ini antara lain: Pelukis, dalang dan penampil, serta perantau berkediaman Sydney, Jumaadi (b. 1973, Sidoarjo, Jawa Timur), yang bekerja sama dengan para pelukis Kamasan; desainer dan aktivis Alit Ambara (b. 1970, Singaraja, Bali), yang karya-karyanya merupakan manifestasi kekuatan visual dalam pergerakan sosial; dan arsitek serta seniman masyhur Yoka Sara (b. 1965, Denpasar, Bali), yang merupakan pendiri serta pemimpin SPRITES ART & CREATIVE BIENNALE (2013–) yang masih berjalan hingga kini.
Jumaadi dan kanvas buatan Kamasan dalam studio-nya di Imogiri (kiri); dan detail karyanya yang masih dalam proses pembuatan (kanan). Foto milik seniman.
Desain poster Alit Ambara. Gambar milik Instagram @Nobodycorp.
Instalasi seni Tetrahedron untuk SPRITES AGNI (2017). Foto milik Sprites Bali.
Menanggapi panggilan terbuka untuk berpartisipasi dalam pameran kelompok, dua belas seniman telah terpilih untuk menyajikan interpretasi mereka masing-masing terhadap tema JINGGA, melalui berbagai teknik dan medium dari lukisan dan prints, hingga instalasi interaktif. Di antara keberagaman karya lainnya, Kuncir Satya Vikhu (lahir 1990, Batukaru, Bali) membuat sebuah spanduk khas kedai makanan kaki-lima atau angkringan; Renee Melchert Thorpe (lahir 1959, Carthage, Illinois, A.S) mengapresiasi industri cat lokal melalui contoh atau sample pigmen "khas" Denpasar, yang juga berfungsi sebagai kartu pos; dan Putra Wali Aco (lahir 1997, Polewali, Sulawesi Barat) menyorot kehidupan dan perasaan etnis minoritas Bugis di Bali, untuk membuka percakapan mengenai migrasi.
SELANJUTNYA...
1
2
Komentar