Revitalisasi Enam Pasar Tradisional Diterpa Isu Pelicin
TP4D Bantah Adanya Pungutan
SINGARAJA, NusaBali
Proyek revitalisasi 6 pasar tradisional di Buleleng, diterpa isu tidak sedap. Konon ada pemotongan dana setiap proyek dengan jumlah bervariasi sesuai nilai proyek. Diduga, potongan dana itu dipakai sebagai fee pelicin agar proyek berjalan mulus. Fee pelecin itu disebut-sebut atas petunjuk Tim Pengawal Pengamanan Pembangunan Pemerintah Daerah (TP4D).
Isu miring itu diungkapkan salah satu rekanan pemenang tender salah satu dari enam proyek revitalisasi pasar tradisional. Rekanan bernama Ketut Yasa, dari CV Arya Dewata, pemenang tender untuk Pasar di Desa/Kecamatan Busungbiu. Ketut Yasa kepada awak media, Selasa (4/9) mengungkapkan, saat melengkapi syarat adminitrasi kontrak pekerjaan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Dagprin), dirinya melihat daftar nilai dari masing-masing proyek pasar yang direvitalisasi. Namun ada hal yang aneh, karena dalam daftar itu ada angka-angka nilai uang yang tertulis di samping nilai setiap proyek. Disebutkan, dalam daftar tercantum nilai proyek sebesar Rp 1,3 miliar, di sampingnya ada angka Rp 100 juta, kemudian proyek dengan nilai Rp 100 juta ada angka Rp 75 juta, dan proyek dengan dana Rp 650 juta, ada angka Rp 50 juta. “Saya ditunjukkan daftar itu, setelah saya baca, kok ada angka-angka nilai uang di samping nilai proyek. Karena aneh, saya tanyakan ke PPK-nya (Pejabat Pembuat Komitmen), agar jelas maksudnya,” ungkap
Yasa, yang tinggal di Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng.
Masih kata Yasa, dari penjelasan PPK, daftar pencantuman angka-angka nilai uang tersebut harus disampaikan kepada setiap rekanan, sesuai dengan surat dari atasannya yakni Kepala Dinas Dagprin. “Keterangan dari PPK, diprintahkan oleh atasnanya atas surat TP4D, dan PPK menyebut kalau angka-angka dalam daftar proyek itu, agar proyek saat dikerjakan tidak dimasalahkan oleh TP4D,” kata Yasa.
Lebih lanjut Yasa mengaku, menolak ada pemotongan sesuai angka besaran uang yang tertera dalam daftar tersebut. Baginya, tindakan itu bisa terindikasi korupsi. “Ini tidak benar dan kental dengan indikasi korupsi. Kami minta dibuka dan kalau tidak kita lawan. Pengawasan oleh TP4D juga terlalu berlebihan, padahal kita bekerja sudah ada lembaga resmi yasng mengawasi seperti Konsultan Pengawas, Inspektorat, BPKP dan BPK,” bebernya.
Kepala Disdagrpin Buleleng, Ketut Suparto dikonfirmasi enggan berkomentar banyak, karena mengaku tidak tahu persis persoalan tersebut. “Saya tidak tahu saat itu tida ikut di sana,” ujarnya singkat saat ditemui di Gedung DPRD Buleleng.
Di tempat terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Singaraja M Fahrur Rozy selaku pimpinan TP4D yang dikonfirmasi di ruang kerjanya Rabu (5/9), membantah keras isu tersebut. Dikatakan, TP4D tidak penah membuat, atau membicarakan terkait angka-angka pada daftar proyek apalagi memungut fee. “TP4D tidak ada membicarakan apalagi membuat angka-angka itu. Apalagi menyebut fee. Setiap turun (TP4D,red), kami sampaikan sama pimpinan instansi agar tidak menyebut uang, dan tim ditugaskan menampingi agar proyek tidak tersangkut hukum,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, TP4D tugasnya membantu pemerintah memberikan bimbingan hukum, sehingga proyek-proyek pemerintah seperti revitalisasi pasar tradisional terhindar dari persoalan hukum. Meski demikian, setiap proyek yang didampingi TP4D bukan berarti bebas dari kemungkinan pelanggaran hukum. Ini karena pendampingan hanya mencegah, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan pekerjaan dan program pembangunan. *k19
Komentar