Berkebun Salak Diusulkan Jadi Warisan Budaya Dunia
Pemkab Karangasem melalui Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Karangasem, mengusulkan berkebun salak jadi warisan budaya dunia (WBD).
AMLAPURA, NusaBali
Usulan ini menyangkut tata cara bercocok tanam, sejarah pelestariannya, ritual dan tradisi budaya pendukungnya. Proposal usulan telah diajukan tahun 2017 ke Kementerian Pertanian, dan Kementerian PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Bahkan proposal ini telah diverifikasi pemerintah pusat dan utusan FAO (Food And Organization) Roma Clelia Maria Puzo, selaku Spesialis Program GIAHS FAO Roma, agar nantinya masuk usulan GIAHS (Globally Important Agriculture Heritage System) yakni menjadi warisan budaya pertanian dunia. Tinggal menunggu kunjungan dari delegasi FAO ke Karangasem, guna mengecek kondisi di lapangan sesuai proposal diajukan.
Sekretaris Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Karangasem I Nyoman Siki Ngurah mengungkapkan hal itu di ruang kerjanya, Jalan Diponegoro Amlapura, Kamis (6/9). Siki Ngurah menjelaskan, ada beberapa kriteria agar sistem pertanian tradisional masuk warisan budaya dunia di antaranya mesti ada lanskap (panorama alam yang memikat), memiliki teknologi tradisional berkelanjutan, didukung ketentuan adat yang mengikat, mengembangkan keragaman hayati sebagai tanaman pendukung, tertuang dalam lontar sejarah tanaman salak dan sebagainya.
Kebun salak di Karangasem yang diusulkan karena memenuhi criteria yakni di Banjar Dukuh, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, sedangkan keberadaan kebun salak lainnya sebagai penyangga. "Tinggal menunggu kedatangan utusan FAO melakukan visitasi di lapangan. Apalagi akses jalan telah mendukung berupa jalan lingkar," kata Siki Ngurah.
Ketentuan adat yang dimaksud, jelas Siki Ngurah, memiliki struktur subak abian, melakukan kegiatan ritual secara rutin, ada upacara khusus di Pura Dukuh Sakti, tentang keberadaan kebun salak dan dokumen kegiatan sosial lainnya. Tujuan penetapan warisan budaya dunia kata Siki Ngurah, untuk melestarikan pertanian tradisional yang ramah lingkungan dan mandiri, mempertahankan keanekaragaman hayati. Di samping itu telah dilakukan petani turun temurun, sehingga menjadi tradisi pertanian masyarakat setempat.
Ketua KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agro) Giri Arsa Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem yang mewilayahi Banjar Dukuh, I Nyoman Sepel Dyantara mengaku belum ada koordinasi terkait usulan aktivitas berkebun salak jadi warisan dunia, untuk masuk daftar GIAHS. "Kalau hanya mengusulkan Banjar Dukuh, skupnya kecil. Mestinya diusulkan berkebun salak di Desa Sibetan," kata Sepel Dyantara, yang juga Ketua Kelompok Tani Subak Abian Mekar Sari, Desa Sibetan.
Sebab lanjut Sepel Dyantara, di Desa Sibetan yang mayoritas masyarakat berkebun salak, terbagi 10 kelompok. Termasuk Kelompok Subak Abian Dukuh Lestari, di Banjar Dukuh dipimpin I Nengah Suparta.
"Memang di Banjar Dukuh, yang dikenal selama ini ada panorama alam yang indah, dan ada kelompok subak abian. Dukungan lainnya bisa diambil dari banjar sekitarnya," katanya.*k16
Sekretaris Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Karangasem I Nyoman Siki Ngurah mengungkapkan hal itu di ruang kerjanya, Jalan Diponegoro Amlapura, Kamis (6/9). Siki Ngurah menjelaskan, ada beberapa kriteria agar sistem pertanian tradisional masuk warisan budaya dunia di antaranya mesti ada lanskap (panorama alam yang memikat), memiliki teknologi tradisional berkelanjutan, didukung ketentuan adat yang mengikat, mengembangkan keragaman hayati sebagai tanaman pendukung, tertuang dalam lontar sejarah tanaman salak dan sebagainya.
Kebun salak di Karangasem yang diusulkan karena memenuhi criteria yakni di Banjar Dukuh, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, sedangkan keberadaan kebun salak lainnya sebagai penyangga. "Tinggal menunggu kedatangan utusan FAO melakukan visitasi di lapangan. Apalagi akses jalan telah mendukung berupa jalan lingkar," kata Siki Ngurah.
Ketentuan adat yang dimaksud, jelas Siki Ngurah, memiliki struktur subak abian, melakukan kegiatan ritual secara rutin, ada upacara khusus di Pura Dukuh Sakti, tentang keberadaan kebun salak dan dokumen kegiatan sosial lainnya. Tujuan penetapan warisan budaya dunia kata Siki Ngurah, untuk melestarikan pertanian tradisional yang ramah lingkungan dan mandiri, mempertahankan keanekaragaman hayati. Di samping itu telah dilakukan petani turun temurun, sehingga menjadi tradisi pertanian masyarakat setempat.
Ketua KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agro) Giri Arsa Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem yang mewilayahi Banjar Dukuh, I Nyoman Sepel Dyantara mengaku belum ada koordinasi terkait usulan aktivitas berkebun salak jadi warisan dunia, untuk masuk daftar GIAHS. "Kalau hanya mengusulkan Banjar Dukuh, skupnya kecil. Mestinya diusulkan berkebun salak di Desa Sibetan," kata Sepel Dyantara, yang juga Ketua Kelompok Tani Subak Abian Mekar Sari, Desa Sibetan.
Sebab lanjut Sepel Dyantara, di Desa Sibetan yang mayoritas masyarakat berkebun salak, terbagi 10 kelompok. Termasuk Kelompok Subak Abian Dukuh Lestari, di Banjar Dukuh dipimpin I Nengah Suparta.
"Memang di Banjar Dukuh, yang dikenal selama ini ada panorama alam yang indah, dan ada kelompok subak abian. Dukungan lainnya bisa diambil dari banjar sekitarnya," katanya.*k16
1
Komentar