Diakhiri Magibung 700 Meter Libatkan 13.017 Krama dari 11 Banjar
Belasan ribu krama asal 11 banjar adat se-Desa Pakraman Bugbug magibung massal dengan duduk berjejer saling berhadap-hadapan di sepanjang Caru Lantang 700 meter, dari jaba Pura Puseh hingga jalan raya batas desa
Tradisi Ritual Caru Lantang 10 Tahun Sekali Digelar Desa Pakraman Bugbug, Karangasem
AMLAPURA, NusaBali
Tradisi ritual Caru Lantang digelar krama Desa Pakraman Bugbug, Kecamatan Ka-rangasem pada Sukra Kliwon Bala, Jumat (7/9) sore. Ritual Caru Lantang yang digelar 10 tahun sekali ini berupa gelaran pecaruan yang diakhiri dengan magibung massal sepanjang 700 meter, melibatkan belasan ribu krama dari 11 banjar adat se-Desa Pakraman Bugbug.
Prosesi ritual Caru Lantang yang dilaksanakan selama 1,5 jam, mulai sore pukul 17.00 Wita hingga petang pukul 18.30 Wita ini, rutin dilaksanakan krama Desa Pakraman Bugbug 10 tahun sekali, sebagai wujud rasa syukur atas berkah Sang Maha Pemurah. Pantauan NusaBali, prosesi upacara Caru Lantang diawali dengan pembersihan di jalur pecaruan sepanjang 700 meter dari Pura Puseh Desa Pakraman Bugbung hingga jalan raya di batas desa.
Selanjutnya, digelar upacara pecaruan di tiga lokasi. Pertama, di bagian hulu Desa Pakraman Bugbung, tepatnya di jaba Pura Puseh, dengan kurban banten caru berupa bebek belang kalung dan kucit butuan. Kedua, di bagian tengah Desa Pakraman Bugbung tepatnya di jaba Pura Bale Agung, menggelar caru panca sata dengan kurban lima ekor ayam beda warna. Ketiga, di teben (belakang) Desa Pakraman Bugbung, digelar pecaruan dengan kurban godel warna bang dan asu blang bungkem (anjing warna loreng).
Setelah banten pecaruan ditempatkan di tiga lokasi, krama dari 11 banjar adat di Desa Pakraman Bugbug selanjutnya menggelar nasi lantang dengan membentangkan daun pisang sepanjang 700 meter dari jaba Pura Puseh hingga jalan raya batas desa.
Di atas daun pisang itu kemudian diisi nasi yang telah dibawa masing-masing kepala keluarga (KK) krama Desa Pakraman Bugbug dengan takaran 1 kilogram beras. Sedangkan olahan lauk berupa lawar dan sayur, dibuat krama di masing-masing banjar. Olahan itu ditempatkan berdampingan dengan nasi.
Setelah segalanya siap, tiga pamangku desa, yakni Jro Mangku Wayan Merta, Jro Mangku Widia, dan Jro Mangku Suarta melakukan pembersihan secara niskala dengan memercikkan tirta sepanjang jejeran nasi yang telah dibentangkan di atas daun sejauh 700 meter. Selanjutnya, seluruh krama Desa Pakraman Bugbug berjumlah 13.017 jiwa duduk di sepanjang Caru Lantang di sisi kanan-kiri nasi dan lauk tersebut.
Krama sebanyak 13.017 jiwa itu berasal dari 11 banjar adat yang ada di Desa Pakraman Bugbung, masing-masing Banjar Garia, Banjar Baruna, Banjar Tengah, Banjar Puseh, Banjar Bencingah, Banjar Madia, Banjar Darma Laksana, Banjar Segaa, Banjar Celuk Kangin, Banjar Celuk Kauh, dan Banjar Samuh,
Setelah seluruh krama duduk di sepanjang Caru Lantang, maka mulailah dilakukan upacara pecaruan di tiga lokasi, dilanjutkan dengan pamuspaan ditujukan ke Pura Puseh yang diantarkan tiga pamangku desa. Klimaks ritual Caru Lantang ini diakhiri dengan magibung massal, di mana seluruh 13.017 krama santap nasi bersama dan berjejer sepanjang 700 meter. Mereka santap nasi lengkap dengan lauk berupa lawar dan sayur, dalm posisi duduk saling berhadap-hadapan. Seluruh rangkaian prosesi berakhir kemarin petang pukul 18.30 Wita.
Baga Parahyangan Desa Pakraman Bugbug, I Ketut Resi, mengatakan tradisi ritual Caru Lantang ini digelar 10 tahun sekali, dengan tujuan untuk menyomyakan unsur bhuta kala di sajebag Desa Pakraman Bugbug. Setelah bhuta kala somya, dilanjutkan menyomiakan pikiran kurang baik yang menguasai masing-masing krama, sehingga terjadi keharmonisan bhuana agung dan bhuana alit.
"Makanya, setelah kedua dunia (bhuana agung dan bhuana alit, Red) harmonis, diakhiri dengan magibung massa sepanjang 700 meter, sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah Sang Maha Pemurah," ungkap Ketut Resi yang juga Ketua Panitia Upacara Caru Lantang kepada NusaBali.
Sementara itu, Bendesa Pakraman Bugbug, Jro Wayan Mas Suyasa, mengatakan ritual Caru Lantang ini digelar untuk menyomiakan bhuta kala. Selain itu, juga untuk mengharmoniskan pikiran kurang baik di dalam diri, yang disertai dengan melakukan perbuatan dan perkataan yang baik setelah ritual Caru Lantang. "Setelah bhuta kala somya, giliran umat sedharma yang menjiwai ritual Caru Lantang ini dengan melakukan perbuatan yang baik," jelas Mas Suyasa. *k16
AMLAPURA, NusaBali
Tradisi ritual Caru Lantang digelar krama Desa Pakraman Bugbug, Kecamatan Ka-rangasem pada Sukra Kliwon Bala, Jumat (7/9) sore. Ritual Caru Lantang yang digelar 10 tahun sekali ini berupa gelaran pecaruan yang diakhiri dengan magibung massal sepanjang 700 meter, melibatkan belasan ribu krama dari 11 banjar adat se-Desa Pakraman Bugbug.
Prosesi ritual Caru Lantang yang dilaksanakan selama 1,5 jam, mulai sore pukul 17.00 Wita hingga petang pukul 18.30 Wita ini, rutin dilaksanakan krama Desa Pakraman Bugbug 10 tahun sekali, sebagai wujud rasa syukur atas berkah Sang Maha Pemurah. Pantauan NusaBali, prosesi upacara Caru Lantang diawali dengan pembersihan di jalur pecaruan sepanjang 700 meter dari Pura Puseh Desa Pakraman Bugbung hingga jalan raya di batas desa.
Selanjutnya, digelar upacara pecaruan di tiga lokasi. Pertama, di bagian hulu Desa Pakraman Bugbung, tepatnya di jaba Pura Puseh, dengan kurban banten caru berupa bebek belang kalung dan kucit butuan. Kedua, di bagian tengah Desa Pakraman Bugbung tepatnya di jaba Pura Bale Agung, menggelar caru panca sata dengan kurban lima ekor ayam beda warna. Ketiga, di teben (belakang) Desa Pakraman Bugbung, digelar pecaruan dengan kurban godel warna bang dan asu blang bungkem (anjing warna loreng).
Setelah banten pecaruan ditempatkan di tiga lokasi, krama dari 11 banjar adat di Desa Pakraman Bugbug selanjutnya menggelar nasi lantang dengan membentangkan daun pisang sepanjang 700 meter dari jaba Pura Puseh hingga jalan raya batas desa.
Di atas daun pisang itu kemudian diisi nasi yang telah dibawa masing-masing kepala keluarga (KK) krama Desa Pakraman Bugbug dengan takaran 1 kilogram beras. Sedangkan olahan lauk berupa lawar dan sayur, dibuat krama di masing-masing banjar. Olahan itu ditempatkan berdampingan dengan nasi.
Setelah segalanya siap, tiga pamangku desa, yakni Jro Mangku Wayan Merta, Jro Mangku Widia, dan Jro Mangku Suarta melakukan pembersihan secara niskala dengan memercikkan tirta sepanjang jejeran nasi yang telah dibentangkan di atas daun sejauh 700 meter. Selanjutnya, seluruh krama Desa Pakraman Bugbug berjumlah 13.017 jiwa duduk di sepanjang Caru Lantang di sisi kanan-kiri nasi dan lauk tersebut.
Krama sebanyak 13.017 jiwa itu berasal dari 11 banjar adat yang ada di Desa Pakraman Bugbung, masing-masing Banjar Garia, Banjar Baruna, Banjar Tengah, Banjar Puseh, Banjar Bencingah, Banjar Madia, Banjar Darma Laksana, Banjar Segaa, Banjar Celuk Kangin, Banjar Celuk Kauh, dan Banjar Samuh,
Setelah seluruh krama duduk di sepanjang Caru Lantang, maka mulailah dilakukan upacara pecaruan di tiga lokasi, dilanjutkan dengan pamuspaan ditujukan ke Pura Puseh yang diantarkan tiga pamangku desa. Klimaks ritual Caru Lantang ini diakhiri dengan magibung massal, di mana seluruh 13.017 krama santap nasi bersama dan berjejer sepanjang 700 meter. Mereka santap nasi lengkap dengan lauk berupa lawar dan sayur, dalm posisi duduk saling berhadap-hadapan. Seluruh rangkaian prosesi berakhir kemarin petang pukul 18.30 Wita.
Baga Parahyangan Desa Pakraman Bugbug, I Ketut Resi, mengatakan tradisi ritual Caru Lantang ini digelar 10 tahun sekali, dengan tujuan untuk menyomyakan unsur bhuta kala di sajebag Desa Pakraman Bugbug. Setelah bhuta kala somya, dilanjutkan menyomiakan pikiran kurang baik yang menguasai masing-masing krama, sehingga terjadi keharmonisan bhuana agung dan bhuana alit.
"Makanya, setelah kedua dunia (bhuana agung dan bhuana alit, Red) harmonis, diakhiri dengan magibung massa sepanjang 700 meter, sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah Sang Maha Pemurah," ungkap Ketut Resi yang juga Ketua Panitia Upacara Caru Lantang kepada NusaBali.
Sementara itu, Bendesa Pakraman Bugbug, Jro Wayan Mas Suyasa, mengatakan ritual Caru Lantang ini digelar untuk menyomiakan bhuta kala. Selain itu, juga untuk mengharmoniskan pikiran kurang baik di dalam diri, yang disertai dengan melakukan perbuatan dan perkataan yang baik setelah ritual Caru Lantang. "Setelah bhuta kala somya, giliran umat sedharma yang menjiwai ritual Caru Lantang ini dengan melakukan perbuatan yang baik," jelas Mas Suyasa. *k16
Komentar