MUTIARA WEDA : Memberi
Tetapi sedekah yang diberikan dengan harapan untuk dapat kembali atau memperoleh keuntungan di kemudian hari atau dengan perasaan keberatan untuk memberikannya, dinamakan rajasa.
Yat tu pratyupakarartham phalam uddisya va punah,
Diyate cha parikklishtam tad danam rajas am smritam.
(Bhagavad-gita XVII. 21)
Krishna menyebutkan bahwa dana atau pemberian jenisnya ada tiga. Pertama, ada pemberian yang tulus, yang tidak mengikat apapun terhadap si penerima. Apa yang diberikannya sepenuhnya bermanfaat bagi yang menerima dan pemberi tidak pernah memikirkan imbal balik dari pemberiannya itu. Jenis ini disebut dengan pemberian sattwik.
Kedua, ada jenis pemberian yang penuh dengan harapan, pemberian yang bersifat politis, yang berharap ingin mendapatkan sesuatu dari penerima baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun panjang. Apa yang diberikannya sebenarnya tidak ikhlas. Tetapi, oleh karena dirinya menginginkan sesuatu yang lebih besar, dirinya terpaksa memberikan sesuatu. Pemberian ini disebut dengan rajasik.
Ketiga, ada juga jenis pemberian yang sifatnya ingin membahayakan orang yang menerimanya. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain sesungguhnya ingin menghancurkan orang yang menerimanya. Jenis pemberian ini disebut dengan tamasika.
Dalam konteks perkembangan manusia milenial dewasa ini, yang manakah dari ketiga jenis pemberian tersebut dominan? Secara gamblang kita langsung bisa melihat bahwa pemberian yang bersifat rajasika sangat dominan. Mereka yang murni ingin berbagi dan yang ingin mencelakakan orang jumlahnya lebih sedikit walaupun jenis itu tetap ada di berbagai belahan dunia. Dewasa ini, sebagian besar orang ingin berbagi oleh karena kepentingan tertentu. Jika seandainya tidak ada yang memaksanya, tentu mereka tidak akan pernah bisa berbagi. Apa saja hal yang memaksa seseorang untuk tetap berbagi walaupun itu bukan bagian dari sifat alaminya? Ada beberapa alasan. Pertama dan yang paling utama adalah ajaran agama yang mengajarkannya demikian. Jika memang ajaran agama yang mengajarkan, semestinya mereka tulus. Mungkin pernyataanya tulus tetapi sebenarnya tidak. Mengapa? Karena ajaran agama juga menambahkan penjelasan di belakangnya, bahwa amal atau pemberiannya itu akan dibalas oleh Tuhan berkali lipat. Sering kita mendengar “jika
kita sekali melangkah ke arah Tuhan, maka Tuhan akan melangkah 10 kali ke arah kita.” Karena kita melihat yang 10 kali lipat itulah kita seolah-olah tulus berdana atau bersedekah.
Kedua, kita memberi karena ingin mendapat sesuatu atau keuntungan dari orang yang kita beri. Umpamanya, kita menyumbangkan sejumlah uang kepada orang tertentu dengan harapan orang itu akan membantu di kemudian hari ketika diperlukan. Contohnya pada saat pemilu, dan yang sejenisnya. Dalam kehidupan sehari-hari, pemberian yang bersifat politis sangat dominan. Karena kita ingin dibantu oleh anggota banjar pada saat kita punya acara, maka kita juga rajin membantu para anggota banjar itu. Motif dari kita membantu bukan karena anggota banjar tersebut punya kegiatan, melainkan karena kita berkepentingan agar nanti pada saatnya kita dibantu oleh mereka. Sebenarnya kita tidak ingin memberikan bantuan, tetapi oleh karena kita juga berkepentingan, makanya kita juga membantu.
Ketiga, kita suka memberi oleh karena kita tidak ingin berutang kepada orang lain. Ini juga merupakan salah satu motif berdana yang bersifat rajasik. Mengapa? Kita merasa terikat memberi sesuatu oleh karena kita merasa pernah dibantu. Kita membantu bukan karena tabiat kita yang suka membantu, melainkan karena kita tidak ingin punya utang kepada mereka yang pernah membantu. Ini sering juga kita lakukan. Kita sering membalas pemberian orang dengan jalan memberikan sesuatu kepada orang itu. Alasannya bukan karena orang itu memerlukan, melainkan kita ingin agar kita merasa bebas dari beban utang oleh karena orang itu pernah membantu. Bantuan orang lain kepada kita anggap itu sebagai utang. Demikianlah motif sebenarnya mengapa kita sering memberikan bantuan. Apakah jenis ini salah? Tidak salah. Barter adalah bagian dari hidup manusia. Namun, pemberian jenis ini tidak akan membuat orang berkembang secara spiritual. Mengapa? Karena proses untuk menjadikan diri ikhlas secara penuh tidak terjadi. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Bhagavad-gita XVII. 21)
Krishna menyebutkan bahwa dana atau pemberian jenisnya ada tiga. Pertama, ada pemberian yang tulus, yang tidak mengikat apapun terhadap si penerima. Apa yang diberikannya sepenuhnya bermanfaat bagi yang menerima dan pemberi tidak pernah memikirkan imbal balik dari pemberiannya itu. Jenis ini disebut dengan pemberian sattwik.
Kedua, ada jenis pemberian yang penuh dengan harapan, pemberian yang bersifat politis, yang berharap ingin mendapatkan sesuatu dari penerima baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun panjang. Apa yang diberikannya sebenarnya tidak ikhlas. Tetapi, oleh karena dirinya menginginkan sesuatu yang lebih besar, dirinya terpaksa memberikan sesuatu. Pemberian ini disebut dengan rajasik.
Ketiga, ada juga jenis pemberian yang sifatnya ingin membahayakan orang yang menerimanya. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain sesungguhnya ingin menghancurkan orang yang menerimanya. Jenis pemberian ini disebut dengan tamasika.
Dalam konteks perkembangan manusia milenial dewasa ini, yang manakah dari ketiga jenis pemberian tersebut dominan? Secara gamblang kita langsung bisa melihat bahwa pemberian yang bersifat rajasika sangat dominan. Mereka yang murni ingin berbagi dan yang ingin mencelakakan orang jumlahnya lebih sedikit walaupun jenis itu tetap ada di berbagai belahan dunia. Dewasa ini, sebagian besar orang ingin berbagi oleh karena kepentingan tertentu. Jika seandainya tidak ada yang memaksanya, tentu mereka tidak akan pernah bisa berbagi. Apa saja hal yang memaksa seseorang untuk tetap berbagi walaupun itu bukan bagian dari sifat alaminya? Ada beberapa alasan. Pertama dan yang paling utama adalah ajaran agama yang mengajarkannya demikian. Jika memang ajaran agama yang mengajarkan, semestinya mereka tulus. Mungkin pernyataanya tulus tetapi sebenarnya tidak. Mengapa? Karena ajaran agama juga menambahkan penjelasan di belakangnya, bahwa amal atau pemberiannya itu akan dibalas oleh Tuhan berkali lipat. Sering kita mendengar “jika
kita sekali melangkah ke arah Tuhan, maka Tuhan akan melangkah 10 kali ke arah kita.” Karena kita melihat yang 10 kali lipat itulah kita seolah-olah tulus berdana atau bersedekah.
Kedua, kita memberi karena ingin mendapat sesuatu atau keuntungan dari orang yang kita beri. Umpamanya, kita menyumbangkan sejumlah uang kepada orang tertentu dengan harapan orang itu akan membantu di kemudian hari ketika diperlukan. Contohnya pada saat pemilu, dan yang sejenisnya. Dalam kehidupan sehari-hari, pemberian yang bersifat politis sangat dominan. Karena kita ingin dibantu oleh anggota banjar pada saat kita punya acara, maka kita juga rajin membantu para anggota banjar itu. Motif dari kita membantu bukan karena anggota banjar tersebut punya kegiatan, melainkan karena kita berkepentingan agar nanti pada saatnya kita dibantu oleh mereka. Sebenarnya kita tidak ingin memberikan bantuan, tetapi oleh karena kita juga berkepentingan, makanya kita juga membantu.
Ketiga, kita suka memberi oleh karena kita tidak ingin berutang kepada orang lain. Ini juga merupakan salah satu motif berdana yang bersifat rajasik. Mengapa? Kita merasa terikat memberi sesuatu oleh karena kita merasa pernah dibantu. Kita membantu bukan karena tabiat kita yang suka membantu, melainkan karena kita tidak ingin punya utang kepada mereka yang pernah membantu. Ini sering juga kita lakukan. Kita sering membalas pemberian orang dengan jalan memberikan sesuatu kepada orang itu. Alasannya bukan karena orang itu memerlukan, melainkan kita ingin agar kita merasa bebas dari beban utang oleh karena orang itu pernah membantu. Bantuan orang lain kepada kita anggap itu sebagai utang. Demikianlah motif sebenarnya mengapa kita sering memberikan bantuan. Apakah jenis ini salah? Tidak salah. Barter adalah bagian dari hidup manusia. Namun, pemberian jenis ini tidak akan membuat orang berkembang secara spiritual. Mengapa? Karena proses untuk menjadikan diri ikhlas secara penuh tidak terjadi. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar