Prof Relin Guru Besar Wanita Pertama di IHDN
Kemarin Dikukuhkan oleh Rektor IHDN yang Notabene Suaminya
DENPASAR, NusaBali
Direktur Pascasarjana IHDN Denpasar, Prof Dr Dra Relin DE MAg, 50, menjadi akademisi perempuan pertama yang sandang predikat guru besar di IHDN Denpasar. Dia dikukuhkan sebagai guru besar dalam sewremoni di Kampus IHDN, Jalan Ratna Nomor 51 Denpasar, Rabu (12/9). Uniknya, yang mengukuhkan Prof Relin sebagai guru besar wa-nita pertama adalah Rektor IHDN Denpasar, Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana Msi, yang notabene suaminya.
Prof Relin dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Filsafat pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar. Perempuan Hindu Jawa kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 1 Agustus 1968, ini kemarin membawakan orasi ilmiah bertajuk ‘Filosofi Hidup Manusia Jawa dalam Era Modernisasi’. Menurut Prof Relin, tema yang diangkatnya ini dilatarbelakangi oleh kondisi budaya Jawa yang mulai luntur. Ada pergeseran antara budaya yang lama dengan budaya baru.
Selain itu, generasi muda Jawa saat ini juga dinilai kurang menyadari arti dari etika Jawa, aksara Jawa, dan ungkapan Jawa. Padahal, ketiganya merupakan sumber dari budaya Jawa. “Karena kondisi tersebut, sehingga kelestarian dari budaya Jawa sudah mulai terkikis. Dengan adanya penggalian dan penelitian seperti ini, otomatis masyarakat Jawa akan ngeh dan kembali eling akan budaya Jawa-nya,” ungkap Prof Relin.
Prof Relin mengatakan, budaya Jawa masih kental di lingkungan keraton. Namun, ketika berada di luar lingkungan keraton, budaya Jawa biasanya terkikis oleh budaya-budaya yang masuk. “Sekarang sudah jarang ada yang pakai sanggul, blangkon. Artinya apa? Nilai sakral dari busana Jawa mulai bergeser. Apalagi, pola pikir. Tidak ada senjata ampuh untuk menahan itu. Makanya, kami rasa perlu ada penulisan filsafat manusia Jawa ini, agar masyarakat eling,” tandas ibu empat anak ini.
Prof Relin sendiri mengaku bahagia pasca dikukuhkan menjadi guru besar perempuan pertama di IHDN Denpasar. Namun, dia merasa tantangan ke depan semakin berat. Sebab, beban yang diembannya akan semakin berat dengan status guru besar ini. Meski demikian, Prof Relin optimistis dan percaya bisa mengemban tanggung jawab sebagai guru besar untuk berkontribusi kepada agama, masyarakat, bangsa, dan negara.
“Perjuangan saya untuk meraih guru besar ini selama 3 tahun. Tantangan untuk menjadi guru besar tentu banyak sekali ya. Tapi, yang terpenting adalah keuletan, ketekunan, sabar, dan kreatif menulis jurnal. Dan, yang tak kalah penting juga semangat dan rajin mebhakti (berdoa, Red),” tutur akademisi yang juga Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, Pemuda, dan Perlindungan Anak PHDI Bali 2017-2022 ini.
Sementara itu, Rektor IHDN Denpasar Prof IGN Sudiana yang notabene merupakan suami dari Prof Relin, mengaku bersyukur IHDN Denpasar kembali bisa melahirkan guru besar. Secara keseluruhan, IHDN Denpasar kini memiliki 9 guru besar, di mana Prof Relin menjadi yang pertama dan satu-satunya perempuan.
“Umat Hindu tentunya juga berbangga, karena baru pertama ada guru besar wanita dengan konsentrasi filsafat. IHDN Denpasar sendiri berkeinginan untuk melahirkan guru besar yang kualitasnya bagus. Nantinya, para guru besar akan berkontribusi dan ilmunya dibutuhkan oleh masyarakat. Setelah dikukuhkan, guru besar kami harapkan banyak berkarya lewat penelitian, menulis, dan pengabdian kepada masyara-kat,” ujar Prof Sudiana.
Menurut Prof Sudiana, upacara pengukuhan guru besar ini memiliki makna ganda bagi IHDN Denpasar. Secara internal, pengukuhan ini menjadi salah satu ukuran kualitas sebuah perguruan tinggi. Semakin banyak dan cepat para dosen meraih guru besar, itu menandakan kehidupan akademik perguruan tinggi tersebut berlangsung sehat.
Sedangkan secara eksternal, kata dia, pengukuhan guru besar ini sangat strategis, karena IHDN Denpasar kini memiliki positioning yang kuat dan setara dengan perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi umum lainnya. “Kita menunggu kehadiran dosen yang lain untuk bergabung sebagai guru besar IHDN Denpasar,” harap akademisi yang juga Ketua PHDI Bali ini.
Prof Sudiana menyebutkan, jumlah guru besar juga merupakan persyaratan kualifikasi dari sebuah perguruan tinggi yang sehat. Semakin banyak guru besar yang lahir per tahun, kian sehat pula perguruan tinggi tersebut. “IHDN Denpasar menyiapkan banyak orang untuk jadi guru besar. Tapi, yang lahir bisa 1, bisa 2. Sekarang kita sedang mengajukan lagi 3 orang untuk menjadi guru besar. Mudah-mudahan tahun 2019 nanti ada lahir guru besar lagi,” papar Sudiana.
Lalu, apa rahasia kesuksesan pasutri Prof Sudiana dan Prof Relin menyandingkan gelar guru besar? “Kita saling membantu, saling memberikan dorongan dan semangat, sehingga bisa berjalan seiring. Ada kelemahan di istri, kita berikan solusinya, begitu juga sebaliknya. Sehingga seimbang antara suami dan istri dalam penelitian, pendidikan, dan pengabdian,” tegas Prof Sudiana. *ind
Direktur Pascasarjana IHDN Denpasar, Prof Dr Dra Relin DE MAg, 50, menjadi akademisi perempuan pertama yang sandang predikat guru besar di IHDN Denpasar. Dia dikukuhkan sebagai guru besar dalam sewremoni di Kampus IHDN, Jalan Ratna Nomor 51 Denpasar, Rabu (12/9). Uniknya, yang mengukuhkan Prof Relin sebagai guru besar wa-nita pertama adalah Rektor IHDN Denpasar, Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana Msi, yang notabene suaminya.
Prof Relin dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Filsafat pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar. Perempuan Hindu Jawa kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 1 Agustus 1968, ini kemarin membawakan orasi ilmiah bertajuk ‘Filosofi Hidup Manusia Jawa dalam Era Modernisasi’. Menurut Prof Relin, tema yang diangkatnya ini dilatarbelakangi oleh kondisi budaya Jawa yang mulai luntur. Ada pergeseran antara budaya yang lama dengan budaya baru.
Selain itu, generasi muda Jawa saat ini juga dinilai kurang menyadari arti dari etika Jawa, aksara Jawa, dan ungkapan Jawa. Padahal, ketiganya merupakan sumber dari budaya Jawa. “Karena kondisi tersebut, sehingga kelestarian dari budaya Jawa sudah mulai terkikis. Dengan adanya penggalian dan penelitian seperti ini, otomatis masyarakat Jawa akan ngeh dan kembali eling akan budaya Jawa-nya,” ungkap Prof Relin.
Prof Relin mengatakan, budaya Jawa masih kental di lingkungan keraton. Namun, ketika berada di luar lingkungan keraton, budaya Jawa biasanya terkikis oleh budaya-budaya yang masuk. “Sekarang sudah jarang ada yang pakai sanggul, blangkon. Artinya apa? Nilai sakral dari busana Jawa mulai bergeser. Apalagi, pola pikir. Tidak ada senjata ampuh untuk menahan itu. Makanya, kami rasa perlu ada penulisan filsafat manusia Jawa ini, agar masyarakat eling,” tandas ibu empat anak ini.
Prof Relin sendiri mengaku bahagia pasca dikukuhkan menjadi guru besar perempuan pertama di IHDN Denpasar. Namun, dia merasa tantangan ke depan semakin berat. Sebab, beban yang diembannya akan semakin berat dengan status guru besar ini. Meski demikian, Prof Relin optimistis dan percaya bisa mengemban tanggung jawab sebagai guru besar untuk berkontribusi kepada agama, masyarakat, bangsa, dan negara.
“Perjuangan saya untuk meraih guru besar ini selama 3 tahun. Tantangan untuk menjadi guru besar tentu banyak sekali ya. Tapi, yang terpenting adalah keuletan, ketekunan, sabar, dan kreatif menulis jurnal. Dan, yang tak kalah penting juga semangat dan rajin mebhakti (berdoa, Red),” tutur akademisi yang juga Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, Pemuda, dan Perlindungan Anak PHDI Bali 2017-2022 ini.
Sementara itu, Rektor IHDN Denpasar Prof IGN Sudiana yang notabene merupakan suami dari Prof Relin, mengaku bersyukur IHDN Denpasar kembali bisa melahirkan guru besar. Secara keseluruhan, IHDN Denpasar kini memiliki 9 guru besar, di mana Prof Relin menjadi yang pertama dan satu-satunya perempuan.
“Umat Hindu tentunya juga berbangga, karena baru pertama ada guru besar wanita dengan konsentrasi filsafat. IHDN Denpasar sendiri berkeinginan untuk melahirkan guru besar yang kualitasnya bagus. Nantinya, para guru besar akan berkontribusi dan ilmunya dibutuhkan oleh masyarakat. Setelah dikukuhkan, guru besar kami harapkan banyak berkarya lewat penelitian, menulis, dan pengabdian kepada masyara-kat,” ujar Prof Sudiana.
Menurut Prof Sudiana, upacara pengukuhan guru besar ini memiliki makna ganda bagi IHDN Denpasar. Secara internal, pengukuhan ini menjadi salah satu ukuran kualitas sebuah perguruan tinggi. Semakin banyak dan cepat para dosen meraih guru besar, itu menandakan kehidupan akademik perguruan tinggi tersebut berlangsung sehat.
Sedangkan secara eksternal, kata dia, pengukuhan guru besar ini sangat strategis, karena IHDN Denpasar kini memiliki positioning yang kuat dan setara dengan perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi umum lainnya. “Kita menunggu kehadiran dosen yang lain untuk bergabung sebagai guru besar IHDN Denpasar,” harap akademisi yang juga Ketua PHDI Bali ini.
Prof Sudiana menyebutkan, jumlah guru besar juga merupakan persyaratan kualifikasi dari sebuah perguruan tinggi yang sehat. Semakin banyak guru besar yang lahir per tahun, kian sehat pula perguruan tinggi tersebut. “IHDN Denpasar menyiapkan banyak orang untuk jadi guru besar. Tapi, yang lahir bisa 1, bisa 2. Sekarang kita sedang mengajukan lagi 3 orang untuk menjadi guru besar. Mudah-mudahan tahun 2019 nanti ada lahir guru besar lagi,” papar Sudiana.
Lalu, apa rahasia kesuksesan pasutri Prof Sudiana dan Prof Relin menyandingkan gelar guru besar? “Kita saling membantu, saling memberikan dorongan dan semangat, sehingga bisa berjalan seiring. Ada kelemahan di istri, kita berikan solusinya, begitu juga sebaliknya. Sehingga seimbang antara suami dan istri dalam penelitian, pendidikan, dan pengabdian,” tegas Prof Sudiana. *ind
Komentar