Lahan Eks Kantor Desa Pengulon Bermasalah
Rencana sertifikasi lahan 10 are eks kantor desa belum bisa dilaksanakan lantaran muncul pengakuan dari pihak keluarga Made Sugiandra yang menyatakan lahan tersebut adalah tanah keluarga besarnya.
Ahli Waris ‘Hadang’ Pensertifikatan
SINGARAJA, NusaBali
Lahan eks kantor Desa Pengulon, Kecamatan Gerokgak, seluas kurang lebih 10 are, kini menjadi sengketa. Pihak desa yang berencana membuatkan sertifikat lahan tersebut, ditentang oleh pihak keluarga Made Sugiandra yang mengklaim lahan tersebut adalah tanah warisan keluarganya.
Informasi dihimpun, sengketa muncul berawal ketika pihak desa melalui Kepala Desa (Perbekel) Pengulon, Nyoman Juliana hendak mensertifikatkan lahan tersebut ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng. Rencananya, lahan eks kantor desa itu akan ditukar guling oleh pihak desa dengan pihak ketiga. Namun dalam proses sertifikat itu, pihak keluarga Made Sugiandra merasa keberatan, karena lahan tersebut masih menjadi bagian dari lahan milik keluarga besarnya.
Konon proses sertifikat itu sudah berlangsung sejak tahun 2015. Namun, permohonan itu tidak bisa diporses karena belum ada tandatangan dari pihak keluarga Sugiandra yang mengklaim sebagai ahli waris. Pihak keluarga Sugiandra mengetahui lahan eks kantor desa itu disertifikatkan, setelah mendapat surat panggilan dari pihak BPN untuk mediasi, pada tanggal 6 November 2017. Pihak keluarga Sugiandra baru memenuhi panggilan dari BPN dua hari berikutnya, karena surat panggilan itu diterima tanggal 7 November. Ternyata pihak keluarga Sugiandra baru mengetahui lahan eks kantor desa itu disertifikatkan. Karena melihat ada kejanggalan, pihak Sugiandra kemudian mengajukan surat penolakan lahan eks kantor desa itu disertifikatkan pada tanggal 15 November 2017.
Karena ada persoalan tersebut, pihak BPN mencoba mempertemukan kedua belah pihak yakni Perbekel Pengulon Juliana dan pihak keluarga Sugiandra, Senin (17/9) pagi di Kantor BPN Buleleng, Jalan Dewi Sartika Singaraja. Kabarnya dalam mediasi tersebut, tidak ada titik temu. Bahkan Perbekel Juliana mempersilakan keluarga Sugiandra mengajukan gugatan hukum atas permohonan sertifikat tersebut. Namun usai pertemuan, Perbekel Juliana enggan berkomentar terkait persoalan tersebut. “Saya tidak mau berbicara. Ini menyangkut pribadi, kalau dia (pihak keluarga Sugiandra,red) mau berbicara silakan saja,” ujarnya sambil berlalu.
Sementara pihak Sugiandra melalui salah satu anaknya, I Gede Arysantika usai mediasi mengatakan, pihaknya menolak pensertifikatan itu karena banyak ditemukan kejanggalan dalam permohonan tersebut. Di antaranya, dugaan pemalsuan keterangan pemberian hibah lahan eks kantor desa itu dari almarhum kakenya Pan Sari, pada tahun 1973. Padahal Pan Sari baru meninggal pada tahun 1992. Selain itu ada dugaan pemalsuan tandatangan dari salah satu ahli warisnya yakni Putu Kandrawan.
Karena Putu Kandrawan sudah meninggal di tahun 2011, namun tandatangannya muncul sebagai pengukuran lahan eks kantor desa pada tahun 2017. “Ini yang membuat keluarga kami jengkel. Karena sebelumnya tidak pernah ada komunikasi maupun koordinasi. Keluarga kami punya bukti atas lahan itu,” terang Arysantika.
Sementara, Kepala Seksi Penanganan Masalah Sengketa Tanah, BPN Buleleng Ida Kade Genjing yang memimpin mediasi mengatakan, karena tidak ada titik temu, pihaknya memberikan waktu 10 hari untuk kedua belah pihak berrembug. Namun, jika dalam waktu 10 hari itu tidak ada keputusan apapun, atau tidak ada gugatan hukum, maka proses sertifikat akan terus berlanjut. “Kalau nanti ada gugatan hukum dalam waktu 10 hari, proses pensertifikatan kita tunda, sampai ada putusan berkekuatan hukum.,” jelasnya. *k19
Komentar