nusabali

MUTIARA WEDA : Melayani Suami

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-melayani-suami

Wahai Widura, Devahuti melayani suaminya dengan intim dan penuh hormat, dengan pengendalian indera-indera, dengan cinta dan tutur kata yang manis.

Visrambhenātma sauce na gauravena damena ca,

Susrusayā sauhrdena vācā madhurayā ca bhoh.
(Bhagavata Purana, 3.23.2)


DARI gambaran Bhagavata Purana ini jelas ditunjukkan bahwa kehidupan masyarakat yang ideal pada saat itu terletak pada proses kehidupan rumah tangga dari pembentuk masyarakat itu sendiri. Proses seperti apa? Proses melayani dan dilayani. Ketika seorang istri mampu melayani suaminya dengan tanpa syarat, tanpa mengenal lelah, dan tanpa pamrih, maka pada keluarga itu dipastikan terdapat kemakmuran, kemuliaan, kemasyuran, dan nilai-nilai kebaikan. Demikian sebaliknya, jika istri menyimpang dari tradisi pelayanan, maka pada keluarga tersebut pasti diliputi oleh kesengsaraan, ketercelaan, ketertutupan, dan sifat-sifat jahat. Bisa dikatakan bahwa tolak ukur dari keberuntungan sebuah keluarga terletak pada karakter istri yang ada di dalamnya.

Apakah penggambaran Bhagavata Purana itu benar adanya, bahwa istri yang baik itu adalah istri yang melayani? Jika kita lihat dari jejak-jejak cara berpikir masyarakat secara umum dewasa ini, dan yang juga secara terus-menerus dipropagandakan oleh agama, tentu kemungkinan besar hal itu nyata di zaman dulu. Warisan cara berpikir masyarakat saat ini adalah cerminan dari cara berpikir masyarakat di zaman dulu. Sampai saat ini masyarakat masih melihat bahwa peran istri di dalam sebuah keluarga itu adalah melayani suaminya, melayani anak-anaknya, dan melayani mertuanya. Apa yang menjadi kehendak sang suami adalah jalan bagi sang istri. Bentuk pelayanan yang paling ideal sejak zaman dulu biasanya berada di wilayah domestik, yakni kasur, dapur, dan sumur. Pertama, sang istri berkewajiban melayani nafsu birahi sang suami di ranjang dengan baik dan siap kapan pun diperlukan. Kedua, sang istri mesti harus memasakkan makanan untuk semua anggota keluarga termasuk juga mencuci perabotan rumah tangga. Ketiga, Istri yang baik adalah istri yang senantiasa mencucikan baju suami ketika kotor, menyeterikanya setelah kering, dan mengenakannya kepada suami ketika berangkat bekerja. Keempat, istri mesti menjaga anak dengan baik, menjaga agar rumah senantiasa tampak bersih, dan selalu berpenampilan menarik.

Menurut teks, gambaran umum dari sebuah keluarga yang bermartabat dan baik sepertinya adalah ketika sang istri di dalam rumah tangga tersebut mengikuti semua kriteria di atas. Bagaimana dengan konteks sekarang? Secara umum di mata laki-laki masih seperti itu. Tetapi, ketika globalisasi melanda yang menuntut manusia untuk bekerja ekstra, dituntut untuk profesional, dituntut supaya perempuan juga harus meniti karir dan ikut menjadi tulang punggung keluarga, tentu terjadi pergeseran. Saat ini di negara-negara Timur terjadi masa transisi yang runyam, sebab propaganda agama yang menekankan pada cara-cara kehidupan masa lalu dan tuntutan zaman yang menginginkan perubahan sedang berhadap-hadapan. Barat mungkin telah sukses melakukan transformasi ini, sehingga mereka tampak lebih egaliter dengan tidak menjadikan norma-norma pelayanan seorang istri sebagai tolak ukur kebaikan keluarga.

Pola pikir yang diwariskan ke generasi berikutnya di Barat telah mengalami perubahan. Masalah masak bisa dikerjakan oleh siapapun yang sempat. Masalah ranjang tidak mesti istri menunggu birahi suaminya, artinya ketika ingin, istri pun boleh memintanya terlebih dahulu tanpa harus merasa malu. Masalah mencuci ada mesin cuci yang bisa dilakukan oleh baik istri maupun suami. Masalah kebersihan rumah pun seperti mengepel lantai, menyapu, dan yang sejenisnya tidak harus menunggu istri yang mengerjakan. Prinsipnya adalah apapun yang dulunya mesti dikerjakan oleh suami boleh dikerjakan oleh istri dan juga sebaliknya, apapun yang dikerjakan oleh istri bisa dikerjakan oleh suami. Cara berpikir dan berperilaku seperti itu rupanya harus menjadi trend di era milenium ini. Teks di atas tentu mewakili cara berpikir dan bertindak di zamannya, dan itu benar adanya. Demikian juga ketika terjadi sesuatu yang berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh teks tersebut saat ini, menolaknya adalah sebuah keterbelakangan, sebab bentuk mesti harus mengikuti perkembangan zaman, sehingga alat ukur sebuah kebaikan juga harus mengikutinya. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta        
 

Komentar