KPU Akhirnya Ikuti Putusan MA
KPU mempertimbangkan memberi tanda eks napi korupsi dalam surat suara Pemilu 2019, Tapi hal ITU tidak dilakukan bila dianggap diskriminatif.
Caleg Eks Koruptor akan Dimasukkan dalam DCT
JAKARTA, NusaBali
KPU telah memutuskan menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait diperbolehkannya eks napi korupsi nyaleg. KPU akan memasukkan nama eks napi korupsi ini ke Daftar Calon Tetap (DCT) pada Pemilu 2019.
"Putusan MA sudah terbit, KPU akan memeriksa itu untuk menindaklanjuti. Ditindaklanjuti dalam arti dilaksanakan putusannya untuk dimasukkan kembali (DCT)," ujar Komisioner KPU RI, Hasyim Asyari di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (18/9).
Hasyim mengatakan pihaknya telah menerima salinan surat putusan MA. Dia mengatakan salinan tersebut akan kembali dipelajari lebih lanjut. "Kemarin, Senin (17/9) malam, KPU sudah menerima salinan putusan MA judicial review peraturan KPU, baik pencalonan DPD maupun DPR," kata Hasyim.
"Peraturan itu kita pelajari, apa saja yang secara substantif kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan kemudian bacaan itu akan kita jadikan dasar untuk segera melakukan perubahan peraturan KPU," sambungnya. Hasyim mengatakan KPU tidak menunggu waktu 90 hari yang diberikan. Hal ini lantaran KPU memiliki waktu yang singkat sebelum penetapan DCT pada 20 September 2018. "Dalam waktu dekat inilah kita kan waktunya memang bergerak terus, tanggal 20 September KPU harus sudah menetapkan daftar calon tetap baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota," ucap Hasyim.
Dia mengatakan, dalam putusan MA, tidak semua permohonan dikabulkan. Permohonan yang dikabulkan ini, kata Hasyim, membuat Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 menjadi tidak memiliki kekuatan hukum atau batal dalam hal caleg eks koruptor.
"Jadi ini kan pemohonnya banyak ya, masing-masing itu tidak semua pemohonan dikabulkan atau diterima, ada yang dikabulkan ada yang ditolak. Kalau Dikabulkan begitu substansinya kena, maka PKPU itu batal karena dinyatakan bertentangan UU dan statusnya tidak memiliki kekuatan hukum lagi. Kalau tidak memiliki kekuatan hukum berarti batal," jelas Hasyim.
Sebelumnya KPU juga mempertimbangkan memberi tanda eks napi korupsi dalam surat suara Pemilu 2019. Tapi hal ini tidak dilakukan bila dianggap diskriminatif. "Daftar semua calon dipasang di TPS, tapi pertanyaannya kemudian kalau KPU menandai calon tersebut dalam daftar calon jadi diskriminatif atau tidak," ujar Hasyim.
"Kalau jadi diskriminatif, KPU mempertimbangkan untuk tidak melakukan itu. Apalagi di surat suara, tentu saja tidak," kata Hasyim dilansir detik.com. KPU sendiri tetap akan menjadi pertimbangan. KPU menurutnya harus berhati-hati 'mempublikasikan' eks napi korupsi kepada para pemilih. "Tentang metode menandainya, nanti kita bicarakan mana yang paling strategis. Kalau KPU menandai, kemudian dianggap KPU mengkampanyekan tidak milih calon ini," ujar Hasyim.
"Dengan menandai itu (eks napi korupsi), itu juga KPU bisa dianggap diskriminatif juga makanya KPU harus berhati-hati betul dalam membuat pilihan yang tepat dalam mempublikasikan ke masyarakat," sambungnya. Menurut Hasyim, masyarakat tetap dapat mengetahui data eks napi korupsi. Pemilih bisa mengaksesnya melalui website KPU. "Tapi intinya yang ingin kami sampaikan bahwa dokumen-dokumen sebagai penanda bahwa yang bersangkutan napi kan sudah ada dan publik bisa mengakses dalam website," tuturnya. *
JAKARTA, NusaBali
KPU telah memutuskan menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait diperbolehkannya eks napi korupsi nyaleg. KPU akan memasukkan nama eks napi korupsi ini ke Daftar Calon Tetap (DCT) pada Pemilu 2019.
"Putusan MA sudah terbit, KPU akan memeriksa itu untuk menindaklanjuti. Ditindaklanjuti dalam arti dilaksanakan putusannya untuk dimasukkan kembali (DCT)," ujar Komisioner KPU RI, Hasyim Asyari di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (18/9).
Hasyim mengatakan pihaknya telah menerima salinan surat putusan MA. Dia mengatakan salinan tersebut akan kembali dipelajari lebih lanjut. "Kemarin, Senin (17/9) malam, KPU sudah menerima salinan putusan MA judicial review peraturan KPU, baik pencalonan DPD maupun DPR," kata Hasyim.
"Peraturan itu kita pelajari, apa saja yang secara substantif kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan kemudian bacaan itu akan kita jadikan dasar untuk segera melakukan perubahan peraturan KPU," sambungnya. Hasyim mengatakan KPU tidak menunggu waktu 90 hari yang diberikan. Hal ini lantaran KPU memiliki waktu yang singkat sebelum penetapan DCT pada 20 September 2018. "Dalam waktu dekat inilah kita kan waktunya memang bergerak terus, tanggal 20 September KPU harus sudah menetapkan daftar calon tetap baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota," ucap Hasyim.
Dia mengatakan, dalam putusan MA, tidak semua permohonan dikabulkan. Permohonan yang dikabulkan ini, kata Hasyim, membuat Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 menjadi tidak memiliki kekuatan hukum atau batal dalam hal caleg eks koruptor.
"Jadi ini kan pemohonnya banyak ya, masing-masing itu tidak semua pemohonan dikabulkan atau diterima, ada yang dikabulkan ada yang ditolak. Kalau Dikabulkan begitu substansinya kena, maka PKPU itu batal karena dinyatakan bertentangan UU dan statusnya tidak memiliki kekuatan hukum lagi. Kalau tidak memiliki kekuatan hukum berarti batal," jelas Hasyim.
Sebelumnya KPU juga mempertimbangkan memberi tanda eks napi korupsi dalam surat suara Pemilu 2019. Tapi hal ini tidak dilakukan bila dianggap diskriminatif. "Daftar semua calon dipasang di TPS, tapi pertanyaannya kemudian kalau KPU menandai calon tersebut dalam daftar calon jadi diskriminatif atau tidak," ujar Hasyim.
"Kalau jadi diskriminatif, KPU mempertimbangkan untuk tidak melakukan itu. Apalagi di surat suara, tentu saja tidak," kata Hasyim dilansir detik.com. KPU sendiri tetap akan menjadi pertimbangan. KPU menurutnya harus berhati-hati 'mempublikasikan' eks napi korupsi kepada para pemilih. "Tentang metode menandainya, nanti kita bicarakan mana yang paling strategis. Kalau KPU menandai, kemudian dianggap KPU mengkampanyekan tidak milih calon ini," ujar Hasyim.
"Dengan menandai itu (eks napi korupsi), itu juga KPU bisa dianggap diskriminatif juga makanya KPU harus berhati-hati betul dalam membuat pilihan yang tepat dalam mempublikasikan ke masyarakat," sambungnya. Menurut Hasyim, masyarakat tetap dapat mengetahui data eks napi korupsi. Pemilih bisa mengaksesnya melalui website KPU. "Tapi intinya yang ingin kami sampaikan bahwa dokumen-dokumen sebagai penanda bahwa yang bersangkutan napi kan sudah ada dan publik bisa mengakses dalam website," tuturnya. *
1
Komentar