Pengacara: Klien Kami Berobat di Klinik Singapura
Terkait Penetapan DPO Pengusaha Hotel oleh Polda Bali
DENPASAR, NusaBali
Penetapan tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terhadap pengusaha Hartono Karjadi, 65, oleh Polda Bali membuat pengacaranya geram. Pasalnya, selama ini pihaknya terus memenuhi panggilan penyidik dalam perkara yang sedang bergulir di Polda Bali. Selain itu, kliennya masih menjalani perawatan medis di Singapura.
Dalam siaran pers yang diterima NusaBali bahwa Bonyamin Saiman menerangkan ditetapkannya Hartono Karjadi dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polda Bali dengan nomor: DPO/03/IX/RES.2.5/2018/Ditreskrimsus, tanggal 13 September 2018 membuat pihaknya menyesali keputusan tersebut. Ia mengaku bahwa tidak benar dan menyesatkan jika dikatakan bahwa pengusaha Hartono Karjadi, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali sebagaimana Laporan Polisi No: 74/ II/ 2018/ SKPT tanggal 27 Februari 2018, dalam perkara dugaan memberikan keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham PT Geria Wijaya Prestige (pemilik dan pengelola Hotel Kuta Paradiso di Bali), telah melarikan diri atau kabur ke Singapura untuk menghindari proses hukum. "Faktanya, Hartono Karjadi pergi ke Singapura untuk kepentingan berobat dan perawatan atas sakit yang dideritanya, yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan atau klinik/rumah sakit tempat yang bersangkutan menjalani pemeriksaan medis," katanya sesuai rilis yang diterima melalui pesan singkat WhatsApp, Kamis (20/9) siang.
Bahkan, Bonyamin juga menyayangkan pernyataan penyidik Polda Bali yang mengaku sudah melayangkan panggilan berkali-kali atas Hartono Karjadi. Menurut dia, kliennya baru menerima surat panggilan yang dilayangkan penyidik Polda Bali sebanyak 2 kali sejak ditetapkan sebagai tersangka. Panggilan ke-1 tanggal 14 Agustus 2018 dan yang ke-2 tanggal 23 Agustus 2018. Hanya saja, saat surat pemanggilan itu, kliennya Hartono Karjadi sudah berangkat berobat ke Singapura tanggal 20 Agustus 2018. Meski sudah berangkat berobat, untuk memenuhi panggilan, pihak pengacara selalu menyampaikan pemberitahuan atau berkomunikasi, bahkan hadir di Polda Bali, dan menyampaikan kepada penyidik terkait alasan kenapa Hartono Karjadi berhalangan hadir untuk diperiksa. "Kita tetap hadir di Polda untuk menyampaikan alasan ketidakhadiran klien kami. Termasuk dengan menyerahkan juga surat keterangan medis tertanggal 23 Agustus 2018 dan 29 Agustus 2018. Tidak hanya itu, kami juga mengirim pemberitahuan resmi dengan surat tertanggal 30 Agustus 2018 ke penyidik bahwa klien kami masih belum selesai menjalani pemeriksaan medisnya di Singapura," urainya.
Bonyamin juga menilai bahwa status DPO yang dilekatkan kepada Hartono Karjadi adalah upaya stigmatisasi (memberi cap negatif) seolah-olah kliennya tidak kooperatif dan tidak patuh hukum. Ia dan rekannya menyesalkan cara-cara penyidik Polda Bali menggiring opini seperti ini. Pun menurut dia, Hartono Karjadi bukan teroris atau koruptor yang selalu menghindar dari kejaran. Kliennya hanyalah pengusaha biasa yang belum pernah terlibat hukum. "Tentu penetapan DPO itu sangat berlebihan. Seakan-akan klien kami ini penjahat kelas kakap. Nyatanya, dia hanya pengusaha biasa yang sama sekali tidak pernah terjerat hukum," tegasnya. *dar
Penetapan tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terhadap pengusaha Hartono Karjadi, 65, oleh Polda Bali membuat pengacaranya geram. Pasalnya, selama ini pihaknya terus memenuhi panggilan penyidik dalam perkara yang sedang bergulir di Polda Bali. Selain itu, kliennya masih menjalani perawatan medis di Singapura.
Dalam siaran pers yang diterima NusaBali bahwa Bonyamin Saiman menerangkan ditetapkannya Hartono Karjadi dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polda Bali dengan nomor: DPO/03/IX/RES.2.5/2018/Ditreskrimsus, tanggal 13 September 2018 membuat pihaknya menyesali keputusan tersebut. Ia mengaku bahwa tidak benar dan menyesatkan jika dikatakan bahwa pengusaha Hartono Karjadi, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali sebagaimana Laporan Polisi No: 74/ II/ 2018/ SKPT tanggal 27 Februari 2018, dalam perkara dugaan memberikan keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham PT Geria Wijaya Prestige (pemilik dan pengelola Hotel Kuta Paradiso di Bali), telah melarikan diri atau kabur ke Singapura untuk menghindari proses hukum. "Faktanya, Hartono Karjadi pergi ke Singapura untuk kepentingan berobat dan perawatan atas sakit yang dideritanya, yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan atau klinik/rumah sakit tempat yang bersangkutan menjalani pemeriksaan medis," katanya sesuai rilis yang diterima melalui pesan singkat WhatsApp, Kamis (20/9) siang.
Bahkan, Bonyamin juga menyayangkan pernyataan penyidik Polda Bali yang mengaku sudah melayangkan panggilan berkali-kali atas Hartono Karjadi. Menurut dia, kliennya baru menerima surat panggilan yang dilayangkan penyidik Polda Bali sebanyak 2 kali sejak ditetapkan sebagai tersangka. Panggilan ke-1 tanggal 14 Agustus 2018 dan yang ke-2 tanggal 23 Agustus 2018. Hanya saja, saat surat pemanggilan itu, kliennya Hartono Karjadi sudah berangkat berobat ke Singapura tanggal 20 Agustus 2018. Meski sudah berangkat berobat, untuk memenuhi panggilan, pihak pengacara selalu menyampaikan pemberitahuan atau berkomunikasi, bahkan hadir di Polda Bali, dan menyampaikan kepada penyidik terkait alasan kenapa Hartono Karjadi berhalangan hadir untuk diperiksa. "Kita tetap hadir di Polda untuk menyampaikan alasan ketidakhadiran klien kami. Termasuk dengan menyerahkan juga surat keterangan medis tertanggal 23 Agustus 2018 dan 29 Agustus 2018. Tidak hanya itu, kami juga mengirim pemberitahuan resmi dengan surat tertanggal 30 Agustus 2018 ke penyidik bahwa klien kami masih belum selesai menjalani pemeriksaan medisnya di Singapura," urainya.
Bonyamin juga menilai bahwa status DPO yang dilekatkan kepada Hartono Karjadi adalah upaya stigmatisasi (memberi cap negatif) seolah-olah kliennya tidak kooperatif dan tidak patuh hukum. Ia dan rekannya menyesalkan cara-cara penyidik Polda Bali menggiring opini seperti ini. Pun menurut dia, Hartono Karjadi bukan teroris atau koruptor yang selalu menghindar dari kejaran. Kliennya hanyalah pengusaha biasa yang belum pernah terlibat hukum. "Tentu penetapan DPO itu sangat berlebihan. Seakan-akan klien kami ini penjahat kelas kakap. Nyatanya, dia hanya pengusaha biasa yang sama sekali tidak pernah terjerat hukum," tegasnya. *dar
Komentar