nusabali

Kendaraan Buat Si Mati

  • www.nusabali.com-kendaraan-buat-si-mati

DI perbatasan Klungkung dengan Karangasem, tinggal sebuah keluarga besar keturunan Bali Mula.

Keluarga ini bangga sebagai keturunan Bali asli, bukan dari campuran darah orang-orang Jawa Majapahit yang menyerbu dan menguasai Bali. Keluarga Bali Mula sangat percaya diri sebagai orang-orang yang teguh memegang tradisi nenek moyang mereka.

Kendati mereka orang-orang tradisi, tapi mereka hidup modern. Ini keluarga maju, karena sebagian besar keturunan mereka tinggal di kota, tersebar ke luar Bali sebagai cendekiawan, bekerja sebagai dosen, guru, sopir taksi, pengusaha sukses, pemilik restoran, dan bergiat di penjualan hasil pertanian.

Jika ada upacara piodalan di pura dadia, hampir semua anggota keluarga datang, berkumpul, sehingga odalan menjadi ajang reuni. Mereka mengutamakan datang kalau odalan, sehingga kalau odalan pura keluarga itu sangat ramai. Dan mereka melaksanakan odalan sesuai dengan tradisi Bali Mula.

Jika ada kerabat yang meninggal, mereka melaksanakan upacara kematian dengan mendem sawa, mengubur jenazah, tidak membakarnya, disebut sebagai kegiatan beya tanem. Ada tafsir yang menjelaskan, jika jenazah dibakar, asap dan abunya akan mencemari tempat suci.

Ciri lain dari keluarga Bali Mula ini adalah, wadah (bade) yang digunakan mengusung jenazah ke kuburan tidak dihias dengan kapas dan kertas warna-warni. Jenazah diusung dengan anyaman bambu, hanya selebar dan sepanjang jasad.

Keluarga Bali Mula di perbatasan Klungkung–Karangasem itu berniat melakukan pembaharuan terhadap bade pengusung jenazah ini, ketika seorang kakek mereka meninggal. Semasa hidup, si kakek berpesan kepada anak dan cucunya, kalau nanti ia mati agar diupacarai secara sederhana saja. Dia berpesan, gunakanlah rakitan bambu untuk mengusung jenazahnya ke kuburan. “Tutupi mayatku dengan kain putih, cukup sudah,” pesannya. “Tak perlu banyak orang mengusung, empat saja cukup. Tak perlu ramai dan hiruk pikuk.”

Sebagian besar anak dan cucunya menolak permintaan si kakek. Mereka ingin menggunakan bade yang meriah dengan hiasan kertas emas dan kapas warna-warni. Si kakek diam mendengar keinginan anak-anaknya. Ia cuma geleng-geleng kepala, ketika anak-anak itu menjelaskan, mereka ingin memberi kehormatan pada si kakek. “Banyak teman-teman terhormat dan hebat dari jauh datang kemari menyatakan belasungkawa. Jika kita tidak menggunakan bade, tentu mengherankan mereka. Kami malu, seakan tidak memberi perhatian pada orangtua,” komentar anak-cucu itu.

Menjelang mati, si kakek mendapat perawatan istimewa di rumah sakit. Berminggu-minggu ia tak sadarkan diri. Anak-cucunya berunding. “Ah, jangan-jangan karena kita ingin kakek menggunakan bade, kakek tidak sudi, sehingga kakek tersiksa lama tak kunjung berangkat,” komentar anak-cucu itu. Mereka sembahyang di pura dadia, berdoa, mohon maaf, dan berjanji akan mengantar kakek ke kuburan dengan kendaraan sederhana: usungan yang dibuat dari rakitan batang bambu, dililit kain putih.

Keesokan hari setelah upacara sembahyang dan doa bersama itu, si kakek meninggal. Jenazahnya diusung ke kuburan dengan rakitan bambu itu, tanpa diiringi gamelan, hanya terdengar langkah-langkah pelan krosoahhhh...... krosoahhhh... anak-cucu dan warga desa mengiringi perjalanan ke kuburan itu. Hening. Yang memanggul usungan cuma empat orang, tidak belasan atau puluhan orang seperti jika jenazah diusung dengan bade. Agar anak-cucu yang banyak jumlahnya itu kebagian mengusung, mereka mengusung jenazah si kakek bergantian.

Orang Bali sesungguhnya punya cara tersendiri mengantar jenazah ke kuburan. Filosofi tentang keberangkatan ke alam keabadian, yang antara lain membuat kendaraan si mati menjadi unik dan sangat kaya. Filosofi ini menyebabkan kesenian punya peluang untuk tampil, sehingga kematian, perjalanan ke kuburan, menjadi sesuatu yang memukau dan mencengangkan. Bade yang megah buat mengusung jenazah diarak meriah, tampil menjadi kemegahan tontonan dan hiburan.

Tapi, perkembangan zaman tidak dengan sendirinya menyediakan cukup jumlah para pengusung bade. Sebagian besar orang desa bukan lagi kaum buruh-tani, yang ototnya kekar dan selalu sedia menjadi pengusung bade yang ratusan kilogram beratnya. Bade megah itu pun diangkut kereta atau mobil, sehingga praktis dan efisien. Sebagai tontonan ia tidak lagi menyuguhkan daya pikat hiburan sekuat seperti ketika bade dan jenazah itu diusung puluhan orang disertai teriakan gegap gempita. Orang-orang mulai mempersoalkan, wadah atau bade diangkut mobil sungguh mengurangi estetika dan menyalahi etika. Padahal, persoalan sesungguhnya adalah, siapa yang sudi dan kuat mengusung bade? Orang-orang juga berkeinginan agar pengarakan bade diatur. Tapi banyak juga yang bingung, kalau pengusungnya tidak cukup, tidak ada, mau apa? Apanya yang diatur?

Bali itu sungguh unik, bukan hanya upacaranya yang unik, pelaku upacara itu tak kalah unik. Mereka ingin praktis dan efisien, namun tak mau kehilangan tradisi. Orang Bali memang banyak maunya. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar