nusabali

Tonjolkan Kisah Heroik Patih Jelantik dan Jero Jempiring

  • www.nusabali.com-tonjolkan-kisah-heroik-patih-jelantik-dan-jero-jempiring

Selain Patung I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, dalam Monumen Jagaraga juga akan dibuat diorama kisah tentang perang heroik melawan Belanda di Benteng Jagaraga tahun 1849.

Monumen Jagaraga Segera Dibangun, Pemkab Buleleng Anggarkan Rp 15 M

SINGARAJA, NusaBali
Pemkab Buleleng segera wujudkan pembangunan Monumen Jagaraga di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan. Monumen Jagaraga tentang kisah heroik perang I Gusti Patih Ketut Jelantik dan Jero Jempiring bersama pasukannya melawan tentara Kolonial Belanda tahun 1849 ini, menelan anggaran sekitar Rp 15 miliar.

Monumen Jagaraga bakal dibangun di atas lahan seluas 0,5 hektare di kawasan Banjar Kauh Teben, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng. Menurut Kepala Dinas Sosial Buleleng, I Gede Komang, rencana pembangunan Monumen Jagaraga saat ini sudah memasuki tahap tender di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang dan Jasa.

Gede Komang menyebutkan, Pemkab Buleleng menyiapakan anggaran sebesar Rp 15 miliar untuk mewujudkan pembangunan Monumen Jagaraga tersebut. “Rencana pembangunan Monumen Jagaraga ini sebetulnya sudah diwacanakan sejak hampir 9 tahun silam. Tapi, baru sekarang bisa kita wujudkan,” ungkap Gede Komang di Singaraja, Minggu (10/4).

Menurut Gede Komang, dalam maket rencana pembangunan Monumen Jagaraga, ada beberapa ikon yang ditonjolkan. Pertama, Patung I Gusti Patih Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, dua tokoh yang punya peran penting dalam perang Puputan Jagaraga tahun 1849. Kedua tokoh ini akan ditonjolkan sebagai figur yang memberi semangat bagi masyarakat Bali tatkala melawan arogansi tentara Belanda yang ingin menguasai Bali. 

Selain Patung I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, kata Gede Komang, dalam Monumen Jagaraga juga akan dibuatkan diorama kisah tentang perang heroik dari keduya tokoh sentral tersebut. Untuk mendapatkan kisah perang heroik Puputan Jagaraga tersebut, Dinas Sosial Buleleng sudah mencari referensi dari berbagai sumber.  

“Kami memang sudah berkoordinasi dengan beberapa museum di Jakarta, seperti Museum Nasional dan Museum Gajah, untuk meminta bahan baik itu berupa buku, visual, maupun yang lain tentang perjuangan dalam Puputan Jagaraga ini,” terang Gede Komang.

Bukan hanya itu, di areal Monumen Jagaraga juga akan dibuatkan stage dan tempat peristirahatan sekaligus tempat rekreasi. Dalam pembangunannya nanti, Monumen Jagaraga akan lebih banyak memanfaatkan material lokal Buleleng.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Pendidikan Gaensha (Undiksha) Singaraja, I Made Pageh, menyatakan Jero Jempiring punya peran penting dalam heroik Puputan Jagaraga. Jero Jempiring dianggap sebagai sosok perempuan Bali yang punya berperan besar mengobarkan semangat perang Puputan Jagaraga melawan Belanda di kawasan Desa Jagaraga. 

“Awalnya, I Gusti Ketut Jelantik bersama rakyat Jagaraga berperang melawan Belanda tahun 1848. Nah, pada 1849, Belanda berhasil memenangkan peperangan. Saat itulah Jero Jempiring ini kembali mengobarkan semangat perang puputan untuk melawan Belanda,” ujar dosen sejarah Undiksha Singaraha ini, Minggu kemarin.

Untuk itulah, Made Pageh berharap Monumen Jagaraga nantinya bisa memberikan pendidikan yang baik mengenai sososk perempuan Jero Jempiring dan persamaan gender. “Jero Jempiring itu yang sebenarnya mengobarkan semangat puputan. Dia sosok wanita Bali yang punya peran besar melawan Belanda secara fisik. Saya berharap, semua pihak termasuk pemerintah untuk selalu belajar dari sejarah. Jangan meninggalkan sejarah untuk kebaikan masa depan,” harap Made Pageh.

Berdasarkan catatan yang dirangkum dari berbagai sumber, perang Puputan Jagaraga sendiri berawal dari kandasnya kapal Belanda di perairan Buleleng tahun 1844. Kerajaan Buleleng kala itu memberlakukan adat Hak Tawan Karang, yang intinya menawan setiap kapal asing yang kandas di perairannya. Kapal dan harta bendanya pun dirampas, sedangkan anak buah kapalnya dijadikan budak karena dianggap sebagai miliknya. 

Belanda menuntut Raja Buleleng (waktu itu) I Gusti Ngurah Made Karangasem untuk mengembalikan kapal dan segala isinya. Tuntutan itu ditolak oleh raja dan Patih I Gusti Ketut Jelantik. Maka, pada 1846 Belanda mengirimkan pasukannya untuk menyerang Buleleng. 

Untuk menghadapi tentara Belanda, Buleleng dibantu Kerajaan Karangasem. Namun, kedua kerajaan ini kemudian dipaksa menandatangani suatu perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah pengakuan Kerajaan Buleleng dan Karangasem terhadap kekuasaan Belanda di Batavia. Belanda berhak memonopoli dagang, sementara Hak Tawan Karang dihapuskan. 

Dengan perjanjian itu, Belanda mengira Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem telah dikuasai, sehingga tentaranya ditarik ke Batavia. Raja-raja di Bali tak pernah tunduk kepada Belanda. Lalu, dihimpunlah kekuatan dari Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Klungkung untuk menghadapi tentara Belanda. 

Desa Jagaraga (kawasan Buleleng Timur) dijadikan pertahanan utama (benteng) pasukan Bali. Secara geografis, Desa Jagaraga memang berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang atau menyerupai jepitan udang. 
Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh.

Benteng Jagaraga ini dipertahankan oleh 15.000 orang, dengan 2.000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak. Tahun 1848, Belanda mengirim pasukannya ke Bali untuk menghancurkan perlawanan di Benteng Jagaraga. Namun, Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik. 

Awalnya, kapal perang Belanda tiba di Pantai Sangsit (Desa sangsit, Kecamatan sawan, Buleleng) pada 7 Maret 1848, dengan kekuatan 2.265 orang. Serangan pertama ditujukan ke Desa Sangsit dan Desa Bunkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke Benteng Jagaraga, 8 Juni 1848.

Namun, serangan tersebut gagal karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang Laskar Jagaraga. Belanda pun mundur sampai ke Pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia. 

Pada 15 April 1849, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat lagi di Pantai Sangsit, dengan kekuatan 15.235 orang, terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. Di samping itu, terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung. 

Jendaral Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimnya ke Benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga dari dua arah, yaitu depan dan belakang. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Namun, tidak ada seorang pun Laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur, lalu Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Sejak saat itulah Belanda berhasil kuasai Bali Utara. 7 k19

Komentar