nusabali

Ribuan Bojog Duwe Turun Santap Lungsuran

  • www.nusabali.com-ribuan-bojog-duwe-turun-santap-lungsuran

Ribuan ekor kera turun gunung dari habitatnya di kawasan Pura Pulaki, Desa Pakraman Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Senin (24/9).

Kemarin Dibuatkan Upacara Wanara Laba di Pura Agung Pulaki

SINGARAJA, NusaBali
Ribuan bohog (kera) yang percaya sebagai duwe (rencang Ida Batara) ini turun untuk menikmati lungsuran (jajan, buah-buahan, telor bekas upacara) sehubungan digelarnya upacara Wanara Laba serangkaian piodalan di Pura Agung Pulaki bertepatan Purnamaning Kapat pada Soma Paing Klawu, Senin kemarin.

Upacara Wanara Laba yang digelar di jaba Pura Agung Pulaki, kemarin siang, memang dimaksudkan untuk memberikan upah kepada kera-kera yang sudah setia menjaga kawasan suci jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha dan tidak mengganggu jalannya piodalan. Dalam ritual Wanara Laba ini, sejumlah kotak buah-buahn, banten pajegan dari buah-buahan, dan telor langsung ludes disantap ribuan kera.

Menurut Koordinator Pamangku Pura Agung Pulaki, Ida Bagus Jro Mangku Temaja, upacara Wanara Laba merupakan salah satu prosesi ritual untuk kera yang tidak pernah absen dilangsungkan setahun sekali pada Purnamaning Kapat. Awal mula pelaksanaan upacara Wanara Laba ini tidak terlepas dari sejarah perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dari Jawa menuju Bali.

Dikisahkan, saat pertama kali menginjakkan kaki di Bali, Dang Hyang Nirartha memiliki tujuan mengunjungi Istana Kerajaan Gelgel yang saat itu diperintah Dalem Waturenggong. Dalam perjalanannya melalui hutan belantara, Dang Hyang Nirartha sempat bingung membaca arah mata angin. Sampai akhirya Dang Hyang Nirartha (kerap disebut Dang Hyang Dwijendra atau Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh) berkomunikasi dan bertanya kepada kera-kera yang ada di hutan kawasan Pulaki.

“Nah, saat sudah diberitahu mana timur-tarat, ada bhisama antara Dang Hyang Nirartha dan kera-kera. Dang Hyang Nirartha beserta keturunannya berjanji tidak akan menyakiti kera. Sebaliknya, kera juga berjanji untuk ngemit (menjaga) di mana pun Dang Hyang Nirartha malinggih, seperti di Pura Uluwatu (Badung) dan Pura Rambut Siwi (Jembrana),” ungkap Jro Mangku Temaja kepada NusaBali di Pura Agung Pulaki, Senin kemarin.

Nah, sejak itulah ribuan kera mulai menduduki kawasan suci Pura Agung Pulaki yang diperkirakan sudah ada sejak Dang Hyang Nirartha menginjakkan kaki pertama sekitar tahun 1114 Saka. Keberadaan kera di kawasan Pura Agung Pulaki selalu mendapatkan lelaban setiap piodalan. Selain itu, juga ada upacara otonan bojog (kera) saat Tumpek Kandang yang digelar 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Uye.

Jro Mangku Temaja mengatakan, sejauh ini populasi kera di kawasan Pura Agung Pulaki mencapai ribuan ekor. Populasinya terbagi menjadi tiga spot. Selain di areal Pura Agung Pulaki, juga ada di kawasan Pura Tirta (lokasinya di sebelah barat Pura Agung Pulaki) dan sekitar Pura Pabean (sebelah utara Pura Agung Pulaki).

Sementara itu, rangkaian upacara piodalan di Pura Agung Pulaki dilaksanakan dalam tiga tahapan: Masoda ring Gamang, Wanara Laba, dan puncak karya. Wanara berarri kera, sementara gamang berarti wong samar (makhluk halus). Gamang konon tidak memiliki garis bibir dan tidak dapat terlihat oleh mata telanjang.

Menurut Jro Mangku Temaja, jumlah gamang di kawasan Pura Agung Pulaki mencapai angka 8.000 orang. Gamang ini awalnya adalah penduduk kawasan Pulaki yang dipralina (dimusnahkan) oleh Dang Hyang Nirartha menjadi wong samar. Kejadian tersebut berawal saat kedatangan Dhang Hyang Nirartha ke Bali bersama dua istrinya, Sri Padmi Keninten dan Dewa Ayu Swabawa.

Saat awal meginjakkan kakinya di tanah Bali, Dang Hyang Nirartha sempat menghadapi hambatan bertemu dengan seekor naga. Dang Hyang Nirartha yang sakti mandraguna berhasil menyelamatkan diri, keluar dari mulut naga dengan mengubah rupa. “Perubahan rupa Dang Hyang Nirartha membuat kedua istrinya ketakutan, hingga lari tunggang langgang,” papar Jro Mangku Temaja.

Sri Padmi Keninten kemudian ditemukan di daerah yang sekarang disebut Pura Pagaluhan, bagian ujung atas Pura Pulaki. Sedangkan istri Dang Hyang Nirartha yang lain, Dewa Ayu Swabawa, ditemukan di Pura Melanting yang berada di kawasan pura Agung Pulaki.

Saat tiba di sana, Dewa Ayu Swabawa diganggu oleh masyarakat setempat, hingga istri Dang Hyang Nirartha ini tidak mau ikut ke Istana Gelgel dan meminta panugrahan agar tidak dapat dilihat oleh manusia. “Saat itulah Dewa Ayu Swabawa diberikan ilmu kanuragan untuk berubah agar tidak dapat dilihat oleh manusia. Sedangkan 8.000 peduduk yang ada di sana dipralina menjadi wong samar, yang kemu-dian menghuni kawasan Pulaki hingga sekarang,” katanya.

Ribuan wong samar itu juga terkenal sebagai tentara niskala Dang Hyang Nirartha ini hingga kini diyakini masih menjaga ketenteraman dan ancaman bahaya dari luar Bali. Keberadaan wong samar ini kemudian dipusatkan di Pura Goa Gede Gamang, yang berlokasi di sebelah timur Pura Agung Pulaki. Sesuai namanya, pura ini memang menyerupai goa. Pura Goa Gede Gamang ini dapat diakses dari jaba Pura Agung Pulaki ke arah kiri, mengikuti jalan setapak. Pura Goa Gede Gamang ini dipercaya percaya bertuah dan jadi tempat memohon jabatan, kelancaran usaha, dan memperoleh keturunan.

Pangempon Pura Agung Pulaki yang melaksanakan tegak piodalan Ida Batara Dang Hyang Nirarta juga memberikan upah-upahan berupa sasodan kepada para gamang. Sasodan itu diberikan berbagai macam makanan dan buah-bauhan yang disukai para gamang, seperti babi guling, tape, jaja laklak, dan semua jenis buah maijeng (bertandan). Upacara Masodan ini dilakukan sebelum upacara Wanara Laba untuk para kera. *k23

Komentar