MUTIARA WEDA : Banten dan Simbol
Reringgitan dan tetuwasan lambang kesungguhan hati dalam beryadnya. Bunga lambang dari kesucian hati beryadnya. Daun-daunan lambang dari tumbuh berkembangnya pikiran suci. Raka-raka melambangkan widyadhara-widyadhari.
Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayadnya. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayadnya. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka widyadhara-widyadhari.
(Lontar Yadnya Prakerti)
MENURUT teks di atas, kelengkapan apa yang terdapat di dalam banten (upakara) adalah perlambang-perlambang, seperti beberapa dicontohkan di atas. Pentingnya reringgitan yang menjadikan banten tampilannya indah tidak hanya memiliki makna estetis, tetapi lebih dari itu juga menjadi simbol dari kesungguhan hati. Banten tidak hanya memiliki nilai atas dirinya sendiri, melainkan sebuah simbol yang mestinya ada di dalam hati masing-masing manusia ketika melakukan upacara yadnya. Makna yang tertuang di dalam banten sifatnya lintas karena menjadi perlambang dari apa yang semestinya ada di dalam diri manusia.
Jika kelengkapan banten itu menjadi lambang dari banyak hal yang ada di luar bebantenan itu sendiri, lalu apa manfaat banten itu sendiri ketika dihaturkan ke hadapan Tuhan? Apakah dengan adanya reringgitan dan tetuwasan yang merupakan simbol dari kesungguhan hati itu saja sudah cukup mewakili hati manusia? Jika itu sudah cukup, maka kita tidak perlu lagi memiliki kesungguhan hati dalam beryadnya. Mengapa? Karena banten telah lengkap ada di sana. Kesungguhan hati sudah ada disimbolkan melalui tetuwasan. Jika cara berpikir kita seperti ini, maka di dalam beryadnya kita menyerahkan sepenuhnya kepada banten. Kesuksesan yadnya ditentukan oleh banten itu sendiri, bukan atas kesungguhan dan kesucian hati sang yajamana.
Masalahnya saat ini, kita sebagian besar telah memilih cara berpikir seperti itu. Semestinya kita bisa memiliki pemikiran lain. Banten sebagai simbol hendaknya tidak hanya berfungsi sebagai persembahan, tetapi lebih dari itu adaah sebuah cermin diri. Kalau yang ada di dalamnya adalah lambang-lambang atas kesungguhan kita di dalam beryadnya, maka yang dipentingkan adalah menjadikan diri kita sungguh-sungguh menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Setiap saat mesti menyucikan hati sehingga semakin tinggi capaian spiritual kita. Jika banten itu simbol, maka dia harus menjadi cermin. Hanya seperti ini banten itu memiliki faedah maksimal dalam perkembangan spiritual. Jika tidak, sebesar apapun yadnya (ritual) yang dilakukan tidak akan berdampak apa-apa secara individu.
Apa yang mesti dilakukan? Satu-satunya cara adalah dengan memahami banten itu secara benar mengenai fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya. Kesibukan di dalam berupacara tidak hanya dengan mengerjakannya saja, melainkan lebih dari pada itu kesibukan yang lebih penting adalah menemukan makna dan kemudian mengaktualisasikan makna tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jika ini bisa dilaksanakan, maka, pelaksanaan upacara akan membimbing seseorang menuju kebijaksanaan dan kesucian. Pelaksanaan upakara tidak lagi menimbulkan utang, pertengkaran, warisan terjual, kelemahan pikiran, dan yang sejenisnya. Upacara tersebut, pertama mampu memberikan kemurnian alam semesta, kedua mampu menjadikan alat transformasi kesadaran dari kesadaran pasu menuju kesadaran daiva.
Bagaimana cara melakukannya? Tindakan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran, bukan berdasarkan paksaan. Jika banten yang dibuat dengan standar yang rumit dan mahal, maka beberapa dari mereka yang ekonominya pas-pasan akan mengalami kesulitan. Jika banten dibuat secara rigid dan harus mengikuti standar yang sudah ditentukan tanpa adanya moderasi-moderasi, lambat laun tindakan ini akan menimbulkan kemarahan dan kelelahan akut. Atas dasar standar ini orang akan dengan mudah mengatakan orang lain berdosa dan tidak mengikuti ajaran agama dengan benar. Di sini mulai ada penghakiman sehingga memunculkan kerenggangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, jika banten itu adalah simbol, maka banten itu harus lestari karena setiap generasi akan dapat belajar darinya. Untuk apa? Untuk mengembangkan spiritualitasnya dan rasa baktinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
MENURUT teks di atas, kelengkapan apa yang terdapat di dalam banten (upakara) adalah perlambang-perlambang, seperti beberapa dicontohkan di atas. Pentingnya reringgitan yang menjadikan banten tampilannya indah tidak hanya memiliki makna estetis, tetapi lebih dari itu juga menjadi simbol dari kesungguhan hati. Banten tidak hanya memiliki nilai atas dirinya sendiri, melainkan sebuah simbol yang mestinya ada di dalam hati masing-masing manusia ketika melakukan upacara yadnya. Makna yang tertuang di dalam banten sifatnya lintas karena menjadi perlambang dari apa yang semestinya ada di dalam diri manusia.
Jika kelengkapan banten itu menjadi lambang dari banyak hal yang ada di luar bebantenan itu sendiri, lalu apa manfaat banten itu sendiri ketika dihaturkan ke hadapan Tuhan? Apakah dengan adanya reringgitan dan tetuwasan yang merupakan simbol dari kesungguhan hati itu saja sudah cukup mewakili hati manusia? Jika itu sudah cukup, maka kita tidak perlu lagi memiliki kesungguhan hati dalam beryadnya. Mengapa? Karena banten telah lengkap ada di sana. Kesungguhan hati sudah ada disimbolkan melalui tetuwasan. Jika cara berpikir kita seperti ini, maka di dalam beryadnya kita menyerahkan sepenuhnya kepada banten. Kesuksesan yadnya ditentukan oleh banten itu sendiri, bukan atas kesungguhan dan kesucian hati sang yajamana.
Masalahnya saat ini, kita sebagian besar telah memilih cara berpikir seperti itu. Semestinya kita bisa memiliki pemikiran lain. Banten sebagai simbol hendaknya tidak hanya berfungsi sebagai persembahan, tetapi lebih dari itu adaah sebuah cermin diri. Kalau yang ada di dalamnya adalah lambang-lambang atas kesungguhan kita di dalam beryadnya, maka yang dipentingkan adalah menjadikan diri kita sungguh-sungguh menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Setiap saat mesti menyucikan hati sehingga semakin tinggi capaian spiritual kita. Jika banten itu simbol, maka dia harus menjadi cermin. Hanya seperti ini banten itu memiliki faedah maksimal dalam perkembangan spiritual. Jika tidak, sebesar apapun yadnya (ritual) yang dilakukan tidak akan berdampak apa-apa secara individu.
Apa yang mesti dilakukan? Satu-satunya cara adalah dengan memahami banten itu secara benar mengenai fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya. Kesibukan di dalam berupacara tidak hanya dengan mengerjakannya saja, melainkan lebih dari pada itu kesibukan yang lebih penting adalah menemukan makna dan kemudian mengaktualisasikan makna tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jika ini bisa dilaksanakan, maka, pelaksanaan upacara akan membimbing seseorang menuju kebijaksanaan dan kesucian. Pelaksanaan upakara tidak lagi menimbulkan utang, pertengkaran, warisan terjual, kelemahan pikiran, dan yang sejenisnya. Upacara tersebut, pertama mampu memberikan kemurnian alam semesta, kedua mampu menjadikan alat transformasi kesadaran dari kesadaran pasu menuju kesadaran daiva.
Bagaimana cara melakukannya? Tindakan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran, bukan berdasarkan paksaan. Jika banten yang dibuat dengan standar yang rumit dan mahal, maka beberapa dari mereka yang ekonominya pas-pasan akan mengalami kesulitan. Jika banten dibuat secara rigid dan harus mengikuti standar yang sudah ditentukan tanpa adanya moderasi-moderasi, lambat laun tindakan ini akan menimbulkan kemarahan dan kelelahan akut. Atas dasar standar ini orang akan dengan mudah mengatakan orang lain berdosa dan tidak mengikuti ajaran agama dengan benar. Di sini mulai ada penghakiman sehingga memunculkan kerenggangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, jika banten itu adalah simbol, maka banten itu harus lestari karena setiap generasi akan dapat belajar darinya. Untuk apa? Untuk mengembangkan spiritualitasnya dan rasa baktinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar