nusabali

Buka Nyitsit Tiinge, Amis Kecerikan

  • www.nusabali.com-buka-nyitsit-tiinge-amis-kecerikan

KUTIPAN ‘Buka nyitsit tiinge, amis kecerikan’, adalah sebuah pengandaian (bahasa Bali: sesenggakan).

Pengandaian ini menggambarkan kuatnya sebuah kekuasaan. Walau kebenaran ada pada pihak orang kecil, tetapi yang berkuasa akan selalu bisa menyalahkan atau mengalahkan. Setiap kekuasaan selalu membawa dampak positif maupun negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketika seorang calon penguasa akan meraih kekuasaan, orang kebanyakan yang dirangkul dan dijanjikan kemudahan atau ‘kesejahteraan terbayang’ (imagined welfare). Ketika kekuasaan itu berhasil direngkuh, hanya segelintir orang yang menuai kebahagiaan. Itu bermakna sama dengan kebenaran bagi penguasa dan kroni, tetapi kesalahan bagi rakyat kecil.

Ketika akan menyelenggarakan, misalnya acara agama, diperlukan berbagai jenis dan ukuran bambu. Bambu-bambu berbeda jenis dan ukuran diikat dalam satu norma agar kompak. Setiap jenis dan ukuran dipandang memiliki kesamaan dan kesederajatan. Namun ketika akan membentuk ‘kekuasaan’, maka masing-masing dipilah menurut jenis dan ukurannya. Tidak semua yang terikat menjadi satu dihargai dan dihormati sama dan sederajat. Di sini lah pengandaian di atas berlaku, yang kecil dan figuran dikalahkan atau bahkan disalahkan oleh yang memiliki kekuasaan.  

Dalam arti bebas, kekuasaan dapat berwujud uang, kedudukan, status atau bahkan rumah tempat tinggal. Misalnya, ‘puri’ dimaknai sebagai tempat tinggal seorang ‘raja’ atau ‘penguasa bayangan’ walau tidak memiliki rakyat yang selalu hormat dan patuh atas titahnya. Uang atau materi yang berlimpah dapat digunakan sebagai alat meraih simpati dan dukungan untuk mempercepat meraih kekuasaan. Demikian juga kedudukan sosial dapat digunakan sebagai alat meraih kekuasaan. Misalnya, jabatan sebagai ketua forum umat selingkung dapat dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan, dan sebagainya. Agar tidak terjadi ‘amis kecerikan’, maka kekuasaan itu harus diartikan sebagai keberhasilan dan kebahagiaan bersama secara tulus dan jujur. Inilah yang tersulit dalam mewujudkan keadilan sosial.

Kekuasaan sering mengubah karakter dan perilaku. Misalnya, kekuasaan dapat mengubah nalar dan watak, baik penguasanya maupun yang sedang dikuasai. Dari perubahan watak dan nalar ini, positif maupun negatif, akan memunculkan dampak turunan. Dampak turunannya adalah perubahan sikap dan mental. Penguasa cenderung bersikap berlebihan atau kadang arogan, ia yang paling baik dan benar. Sedangkan yang dikuasai merasa tertekan dan tertindas. Rangkaian model perubahan tersebut akan menimbulkan pergeseran sosial yang berimbas pada munculnya konflik. Hal semacam ini jelas merupakan alasan ketidak-langgengan sebuah kekuasaan.

Harus disadari pula bahwa sinergi (1) penguasa, (2) yang dikuasai, dan (3) tatanan sosial harus tetap dijaga tetap sinergis. Ketiga unsur tersebut memiliki peranan dan saling membutuhkan. Pembentukan suatu tatanan sosial membutuhkan perilaku yang selaras dan ditunjang oleh budaya yang mengakar. Sehingga, interaksi dalam kehidupan nyata dan keseharian terdapat hubungan timbal balik yang kondusif dan produktif. Misalnya, pada pemerintahan Ida Bagus Mantra terbentuk sebuah budaya di kalangan krama Bali. Kesan kekuasaan beliau masih diingat oleh sebagian krama Bali. Beliau menciptakan sebuah hubungan antara kuasa dan budaya secara mutualistis. Kesan manis yang diciptakan langgeng sampai saat ini.

Sebaliknya, pemerintahan Orde Baru membentuk sebuah budaya yang berakibat berakhirnya sebuah kekuasaan terlama dan terbesar di Indonesia. Mungkin diingat bahwa penguasa Orde Baru telah berhasil membentuk penafsiran tunggal terhadap Pancasila. Demikian halnya dengan penggabungan seluruh organ kemahasiswaan dalam payung KNPI agar mudah dalam mengontrolnya. Bahkan melalui program transmigrasi, penguasa telah melakukan diaspora budaya Jawa dan Bali ke seluruh pelosok negeri. Kecenderungan dari perilaku demikian dapat menjadikan keanekaragaman budaya menjadi semakin kompleks. Kompleksitas keragaman budaya tidak pelak bisa menjadi pemicu disintegrasi. Tetapi harus diwaspadai adalah yang kecil dan yang lemah tidak harus selalu dikalahkan oleh sebuah kekuasaan. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar