Tentang Sastra, Film, Politik, Feminisme, Keberagaman, dan Lingkungan yang Dikupas dalam Ubud Writers & Readers Festival 2018
Ubud Writers & Readers Festival akan segera diselenggarakan dalam waktu empat minggu lagi, 24-28 Oktober 2018.
Tidak ketinggalan, pegiat kebebasan beragama Yenny Wahid akan hadir dalam sesi Against All Odds untuk mengungkapkan pentingnya toleransi dan multikulturalisme di tengah-tengah fundamentalisme beragama. Yenny Wahid juga dapat ditemui dalam sesi The Price of The Freedom bersama dengan seniman patung ternama Nyoman Nuarta, jurnalis peraih penghargaan Ma’arif Award Rudi Fofid, sutradara kawakan Garin Nugroho, dan penulis Leila S. Chudori. Sesi ini akan membahas konsekuensi kemerdekaan Indonesia dan permasalahan yang sedang dialami negeri kita tercinta.
Ada pula sesi Twenty Years Later yang akan mengkaji keadaan Indonesia setelah reformasi diserukan, serta sesi Being Presidential yang akan membahas apa saja yang diharapkan masyarakat dari sosok presiden Indonesia di masa mendatang. Marty Natalegawa, salah satu mantan Duta Besar paling disegani di Indonesia, juga akan hadir dalam sesi Does ASEAN Matter? untuk menghadirkan perspektif berbeda mengenai politik di lingkup ASEAN.
Tahun ini UWRF menghadirkan program-program menarik yang akan mengangkat isu feminisme dan keberagaman. Sesi #metoo yang terinspirasi dari tagar media sosial sebagai bentuk solidaritas terhadap para korban pelecehan seksual akan menghadirkan pegiat asal Bali Saras Dewi, pendiri Unsilenced Eliza Vitri Handayani, penulis Girls Are Coming Out of the Woods Tishani Doshi, penulis buku Fight Like A Girl Clementine Ford, dan Co-founder Magdalene.co Hera Diani. Dalam sesi Speaking Up, para peserta Festival dapat berjumpa dengan Gillian Triggs, sosok inspiratif yang berjuang demi menegakkan hak asasi manusia di Australia.
Satu lagi tema yang mendapat tempat khusus dalam UWRF 2018, yaitu tentang lingkungan dan sistem berkelanjutan yang banyak diserukan para pemerhati alam. Yeb Saño, Excecutive Director dari Greenpeace Asia Tenggara akan hadir dalam sesi Climate Campaigner untuk menyampaikan gagasan terbaiknya dalam memberantas masalah perubahan iklim. Yeb Saño juga akan berbagi meja diskusi dengan sosok-sosok yang bekerja untuk menjaga kelestarian lingkungan seperti Bustar Maitar dan Tom Owen Edmunds dalam sesi Fighting for the Forests.
Sementara itu, sesi Dealing with Disaster akan menjawab langkah pengurangan risiko bencana dan hal yang perlu dilakukan untuk menghadapinya bersama dengan seniman interdisipliner Daisuke Takeya, fotografer yang telah mendokumentasikan dan menulis tentang Gunung Agung dalam News from Under the Volcano Rio Helmi, Kepala Subdivisi Mitigasi Bencana Vulkanik Indonesia Timur di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Devy Kamil Syahbana, dan Direktur dari Yayasan IDEP Ade Andreawan.
Secara spesial, UWRF juga menghadirkan sesi Fifteen Years of UWRF bersama Founder & Director UWRF Janet DeNeefe dan beberapa orangorang di balik berdirinya Festival. Para peserta berkesempatan untuk menjadi saksi perayaan tahun ke-15 UWRF, yang kini telah menjadi salah satu festival sastra, seni, dan budaya terkemuka di Asia Tenggara.
UWRF adalah sebuah perhelatan sastra dan seni berkelas dunia yang akan dilangsungkan di Ubud pada tanggal 24-28 Oktober 2018. Para pembicara Festival akan berbagi kisah, gagasan, ide, dan inspirasi dalam 70 sesi panel diskusi yang akan berlokasi di venue utama, yaitu Taman Baca, Indus Restaurant, dan NEKA Museum. Selain panel diskusi mendalam dengan para pembicara Festival, UWRF 2018 juga memiliki lebih dari 100 program lainnya seperti lokakarya, acara spesial, pemutaran film, panggung musik, pameran seni, pembacaan puisi, dan masih banyak lagi. Kunjungi situs Ubud Writers & Readers Festival di www.ubudwritersfestival.com untuk informasi lebih lanjut.*
1
2
Komentar