REI Bisa Jadi Penyeimbang Pembangunan
"Ini bisa dilihat dari para anggota REI rata-rata adalah para pemilik hotel. Harusnya selain PHRI dan GPI, REI juga menjadi investasi yang membangun pariwisata Bali. (Kadin Bali)
Kadin Bali Dorong Sinergitasnya dengan Pemerintah
DENPASAR, NusaBali
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali sebagai induk organisasi Persatuan Real Estate Indonesia (REI) Bali berharap adanya sinergitas antara pemerintah dengan REI guna mendorong pemerataan pembangunan di wilayah antara Bali selatan, utara, barat dan timur.
"Adanya sinergitas antara pemerintah, REI Bali dan kami (Kadin Bali), kami yakin akan bisa mendorong keseimbangan pembangunan di Bali. Yang terlihat saat ini numplek di Bali selatan," ujar Kepala Kadin Bali, AA Ngurah Alit Wiraputra, Senin (11/4).
Alit mengatakan, sesungguhnya REI Bali memiliki posisi strategis, sebab selain bergerak di perumahan, para anggota juga bergerak di bidang akomodasi pariwisata, yang merupakan sektor pendapatan terbesar provinsi Bali.
"Ini bisa dilihat dari para anggota REI rata-rata adalah para pemilik hotel. Dengan demikian harusnya selain PHRI dan GPI, REI juga menjadi investasi yang membangun pariwisata Bali," ungkapnya.
Alit menilai, perlu adanya kebijakan oleh Pemerintah, sebab REI juga membawa pengaruh dalam membangun perekonomian dimana 70 persen dilakukan oleh swasta dan 30 persen oleh pemerintah. Dikatakan, dari 70% tersebut anggota REI hampir mecapai 55 persen sedangkan 25 sampai 45 persen saja yang bukan anggota REI dari sektor real.
Sebagai langkah konkrit pemerintah dalam mendorong para anggota REI, menurut Alit, adalah kebijakan dalam perijinan harus diberikan seluas-luasnya serta kebijakan mengkaji serta memberi ruang kesempatan (tata ruang) kepada anggota REI untuk memajukan daerah.
"Tata ruang tersebut harus dirombak oleh Kabupaten/Kota bagi para anggota REI. Memang kebijakan ini sedikit diskresi. Namun dengan inilah bisa membangun daerah," tandasnya.
Sebelumnya secara terbuka, Kadin lewat AAN Alit Wiraputra menyayangkan adanya pencabutan moratorium pembangunan hotel (bintang dan melati) di Bali Selatan. menurutnya hal tersebut justru akan memicu perang tarif antara penyedia jasa. Dengan adanya moratorium saja perang tarif sudah terjadi, apalagi jika ada akomodasi baru.
"Sekarang saja sudah terjadi perang tarif, ada hotel bintang empat menjual kamar dengan harga Rp350 ribu. Apalagi kalau dikasi angin bangun yang baru, ini bukan saja merugikan tapi mematikan pariwisata Bali," kata Alit. Perang tarif ini yang membuat biaya operasional malah tak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.
Menurut catatan Kadin Bali saat ini di bali terdapat 140 ribu kamar dengan tingkat hunian di bawah 50 persen. Pada musim puncak kedatangan wisatawan berada pada angka 200 ribu orang per hari. Dengan angka itu sesungguhnya sudah bisa tercover karena wisatawan yang datang sering dengan rombongan atau berpasangan. Jadi tidak bisa dihitung 1 kamar untuk 1 wisatawan. Wiraputra menggaris bawahi hal tersebut terjadi pada kondisi puncak. Tapi faktanya malah lebih sering ocupancinya di bawah 50 persen.
"karena itu sebaiknya dihentikan dulu pembangunan akomodasi, benahi dulu yang sudah ada," kata Wiraputra. Menuruntya bukan penambahan jumlah kamar yang perlu dilakukan, tapi pembenahan pada banyak hal terutama infrastruktur. Antara lain ketersediaan air bersih serta penanganan limbah dan sampah hotel. Kalau infrastruktur tidak dibenahi maka pariwisata Bali akan makin krodit dengan nilai jual yang makin murah.
Saat ini persoalan ketersediaan air jadi masalah serius. pasalnya masih banyak Hotel yang menyedot air bawah tanah (ABT) dan sumber daya lainnya. Penggunaan ABT dalam skala besar dan massif menyebabkan air laut masuk makin jauh ke daratan. "Selesaikan dulu soal infrastrukturnya dan penunjangnya seperti penggunaan ABT, air laut masuk makin jauh ke darat menyebabkan kerusakan ekosistem dan menurunnya permukaan tanah. Bukan malah menerbitkan ijin baru," kata Alit. 7 i
Komentar