nusabali

Tiga Seniman Muda Dirikan Komunitas Suarshima

  • www.nusabali.com-tiga-seniman-muda-dirikan-komunitas-suarshima

Kenang Alm Kadek Suardana dan Mari Nabeshima

DENPASAR, NusaBali
Maestro seni Bali, Kadek Suardana dan Mari Nabeshima memang telah tiada. Namun mereka banyak meninggalkan karya seni penting khususnya karya seni pertunjukan kontemporer di Bali. Keduanya merupakan tokoh utama Yayasan Arti (Arti Foundation). Setelah mereka tiada, putra Kadek Suardana, yakni Made Arthya Talava kemudian membentuk ‘Komunitas Seni Suarshima’ yang berusaha melanjutkan misi merevitalisasi kesenian Bali khususnya peninggalan maestro dari Arti Foundation itu.

Nama dari Komunitas Seni Suarshima sendiri merupakan gabungan dari nama kedua maestro seni Bali, yakni Suar (Kadek Suardana) dan Shima (Mari Nabeshima). Meski berharap bisa menghidupkan kembali Arti Foundation, namun Arthya Talava atau akrab disapa Lolink lebih memilih membentuk komunitas baru bersama dua anak asuhan Kadek Suardana dan Mari Nabeshima, yakni Anak Agung Putu Atmaja (Gung Alit) dan I Gusti Ngurah Agung Mariswara (Gung De).

Namun, mereka sepakat untuk tetap mengusung visi misi kebudayaan dari Arti Foundation, sehingga kelak orang-orang akan mengingat alm Kadek Suardana dengan Arti Foundationnya, sedangkan Lolink dkk dengan Komunitas Seni Suarshimanya.

Lahirnya Komunitas Seni Suarshima ini akan ditandai dengan pementasan seni pertunjukan kontemporer di Jaba Pura Puri Satria, Minggu (7/10) malam. “Kami masing-masing akan membawakan kesenian kontemporer. Kalau Gung Alit nanti akan membawakan musik kontemporer dengan selonding, Gung De dengan saron, dan tiang sendiri akan menampilkan tarian legong namun lepas dari cerita panji. Kami ingin mengeksplorasi namun tidak lepas dari akar seni Bali itu sendiri. Terakhir akan ditutup dengan tabuh gegilakan karya bapak,” kata Lolink.

Lolink berharap, komunitas yang baru mereka bentuk ini diharapkan bisa melahirkan maestro-maestro seni Bali yang mempunyai akar yang kuat pada tradisi Bali tapi sekaligus memiliki wawasan luas atas perkembangan seni kontemporer. Seperti semangat almarhum Kadek Suardhana dan Mari Nabeshima yang mampu melahirkan karya seni kontemporer dengan eksperimen yang cukup berani.

Salah satu anak asuhan alm Kadek Suardana, yakni Gung Alit mengaku, almarhum sangat besar memberinya pengaruh dalam proses berkesenian. Tugas akhirnya di ISI Denpasar juga banyak mendapatkan bimbingan dari almarhum. “Almarhum banyak memiliki file seni dalam komputer, namun belum sempat didokumentasikan. Semoga kita masih bisa menggali peninggalan-peninggalan file di komputernya itu. Saya juga ingin membuat karya musik dari nada-nada yang berlawanan, yang tidak biasa, sehingga nanti bisa jadi satu karya baru,” ujarnya.

Dewa Gede Palguna yang kini menjadi hakim Mahkamah Konstitusi RI saat ini mengapresiasi berdirinya Komunitas Seni Suarshima. Dewa Palguna sendiri adalah bagian yang turut serta membentuk Arti Foundation. Jauh sebelum Suarshima terbentuk, Art Foundation adalah salah satu lembaga independen yang didirikan untuk melakukan gerakan-gerakan kebudayaan berupa konservasi dan pengembangan seni pertunjukan serta kebudayaan Bali. Didirikan pada tahun 1998 oleh Kadek Suardana (alm), Gde Aryantha Soethama, Dewa Gede Palguna dan Made Pria Dharsana, serta AAN Puspayoga sebagai penasehat, lembaga ini memilih ‘Arti’ sebagai nama agar gerakannya senantiasa mengejar 'makna'.

“Arti Foundation ini dibangun tidak lepas dari pertengkaran-pertengkaran. Tapi ya pertengkaran positif maksudnya. Saya kira kalau tidak ada Kadek (alm Suardana, red) mungkin tidak ada Arti, atau Bli Gde Aryantha yang suka ngorek-ngorek terus, akhirnya jadi kreatif kembali. Perjalanan ini sangat panjang, banyak pemikiran yang terjadi di Arti ini hingga akhirnya merangsang pemikiran untuk berkarya yang baru dan “melawan” sikap konservatif,” tutur Dewa Palguna.

Karya perdana dari Arti Foundation pada tahun 1998 adalah Gambuh Macbeth, sebuah eksperimen yang berani, mengangkat karya besar sastrawan William Shakespeare dengan format Gambuh Desa Pedungan yakni sebuah bentuk dramatari tertua di Bali. Pada tahun 2000, Arti Foundation melakukan pentas ke Eropa, kemudian ke Jepang bersama dengan Yayasan Rare Angon. Sesudah Gambuh Macbeth, Arti memberi perhatian khusus kepada berbagai jenis pertunjukan tradisi yang lain di Bali, termasuk melahirkan karya-karya original seperti Ritus Legong (2002), Tajen I (2002), Tajen II (2006) dan Sendratari Sri Tanjung (2009) yang juga jadi karya fundamental terakhir seniman Kadek Suardana sebelum beliau wafat pada tahun 2013. *ind

Komentar