Bank Dunia: Dorong Nilai Ekspor
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar ASterjadi lagi. Bahkan dolar AS sempat menyentuh level Rp 15.204 pada Kamis (4/10).
JAKARTA, NusaBali
Menurut World Bank (Bank Dunia) pelemahan nilai tukar rupiah tidak seluruhnya berdampak negatif pada perekonomian Indonesia. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah bisa mendorong nilai ekspor. "Ada banyak peluang bahkan di kondisi ketidakpastian ini untuk menumbuhkan ekspor," kata Kepala Ekonom World Bank untuk Indonesia Frederico Gil Sander di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (4/10).
Sander menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih aktif menarik investasi asing yang berorientasi ekspor. Menurutnya Indonesia masih menarik di mata investor karena memiliki pasar yang besar.
Indonesia juga bisa menjadi tempat investasi bagi perusahaan yang memproduksi barang untuk kelas menengah. Menurutnya pangsa pasar untuk masyarakat kelas menengah cukup besar saat ini di wilayah Asia.
"Ada banyak perusahaan kelas menengah yang berasal dari China, Vietnam, India. Kemudian Indonesia bisa membuat sepatu, mobil, seluruh mebel. Mereka juga ingin datang dan mengunjungi Indonesia sebagai turis. Ada banyak peluang bahkan di lingkungan ketidakpastian ini untuk menumbuhkan ekspor," tambahnya.
Intinya, kata Sander, Indonesia harus lebih terbuka dalam masuknya arus investasi asing khususnya berorientasi ekspor. Hal itu juga bisa menyembuhkan neraca dagang Indonesia yang defisit.
"Ada beberapa masalah yang sebenarnya juga memberikan dampak positif," tutupnya.
Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dari data perdagangan Reuters kemarin terus menunjukkan penguatan. Dolar AS bahkan sempat menyentuh level Rp 15.204, sebelum akhirnya mereda ke Rp 15.179 per pukul 18.28 WIB. Dolar AS sepanjang Kamis kemarin tercatat mengalami apresiasi 0,8%.
Pergerakan liar mata uang Paman Sam tersebut terlihat sejak Kamis pagi. Setelah menembus level Rp 15.100, dolar AS terus menguat hingga sempat menyentuh Rp 15.204.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso sendiri mengaku tak terlalu khawatir mengenai hal tersebut. Dia meyakini penguatan dolar AS hanya bersifat sementara. "Nggak apa-apa, kami lihat sifatnya pasti sementara," kata dia di Kantor Pusat OJK Jakarta, Kamis (4/10).
Menurutnya, industri keuangan masih sehat. Di perbankan, kata dia, pertumbuhan kredit bisa mencapai 12,12% hingga Agustus. "Perbankan tidak ada masalah, likuiditas masih OK. Pertumbuhan kredit di luar dugaan sekarang 12,12%," ujarnya.
Dia menuturkan, tekanan nilai tukar tidak dialami hanya pada Indonesia. Tekanan ini juga terjadi pada mata uang negara lain. Dia meyakini, Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar. Begitu juga dengan pemerintah yang terus-menerus melakukan perbaikan pada fundamental ekonomi. Salah satunya dengan kebijakan B20 untuk mengurangi impor.
"Pemerintah sangat clear memperbaiki fundamentalnya, di antaranya insentif B20, energi yang menggunakan tidak mineral tapi kombinasi," ujarnya.
Sejumlah pihak sempat mengingatkan bahwa dolar AS akan terus menguat seiring dengan kebijakan Bank Sentral AS, The Fed. Di antaranya mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri dan Ekonom yang juga mantan Menko Perekonomian di era Gusdur. Chatib Basri menerangkan, rupiah bisa terus tertekan saat The Fed menaikkan suku bunga. Hal itu dinilai potensial, terlebih saat ekonomi AS pulih yang ditunjukkan dengan data pengangguran yang menurun dan inflasi yang meningkat.
The Fed pun akan kembali melakukan penyesuaian. The Fed, kata dia, akan mengembalikan posisi suku bunga dalam keadaan semula. Artinya, jika saat ini suku bunga acuan 2,25% maka The Fed akan menaikkan suku bunga beberapa kali lagi hingga mendekati 3,5%. "Sekarang Fed Fund Rate 2,25%, artinya tahun ini Fed harus menaikkan at least satu kali lagi, tahun depan dua atau tiga kali. Kalau saya bikin sekali naik 25 basis poin maka Fed Fund Rate pada akhir 2019 pada kisaran 3,25 atau mungkin 3%," katanya saat menghadiri acara Economic Outlook 2019 di kawasan Kuningan Jakarta, Rabu (3/10).
Pemerintah pun diminta mengatasi pelemahan rupiah dengan cara menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan begitu, impor minyak berkurang sejalan dengan permintaan yang berkurang. Jika itu tak diterapkan, maka tak ada cara lain untuk bangkit dari 'keok'. Selain itu cara lainnya untuk membantu rupiah melawan dolar AS yakni memberikan insentif pada investor yang tidak menarik dividennya untuk kemudian diinvestasikan kembali di dalam negeri.
Lalu, dengan memberikan insentif untuk pelaku usaha padat karya berorientasi ekspor dan memberikan kemudahan investasi untuk tujuan ekspor. Pelaku usaha yang impor diberikan insentif karena barang yang diimpor digunakan untuk ekspor lagi.*
Menurut World Bank (Bank Dunia) pelemahan nilai tukar rupiah tidak seluruhnya berdampak negatif pada perekonomian Indonesia. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah bisa mendorong nilai ekspor. "Ada banyak peluang bahkan di kondisi ketidakpastian ini untuk menumbuhkan ekspor," kata Kepala Ekonom World Bank untuk Indonesia Frederico Gil Sander di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (4/10).
Sander menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih aktif menarik investasi asing yang berorientasi ekspor. Menurutnya Indonesia masih menarik di mata investor karena memiliki pasar yang besar.
Indonesia juga bisa menjadi tempat investasi bagi perusahaan yang memproduksi barang untuk kelas menengah. Menurutnya pangsa pasar untuk masyarakat kelas menengah cukup besar saat ini di wilayah Asia.
"Ada banyak perusahaan kelas menengah yang berasal dari China, Vietnam, India. Kemudian Indonesia bisa membuat sepatu, mobil, seluruh mebel. Mereka juga ingin datang dan mengunjungi Indonesia sebagai turis. Ada banyak peluang bahkan di lingkungan ketidakpastian ini untuk menumbuhkan ekspor," tambahnya.
Intinya, kata Sander, Indonesia harus lebih terbuka dalam masuknya arus investasi asing khususnya berorientasi ekspor. Hal itu juga bisa menyembuhkan neraca dagang Indonesia yang defisit.
"Ada beberapa masalah yang sebenarnya juga memberikan dampak positif," tutupnya.
Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dari data perdagangan Reuters kemarin terus menunjukkan penguatan. Dolar AS bahkan sempat menyentuh level Rp 15.204, sebelum akhirnya mereda ke Rp 15.179 per pukul 18.28 WIB. Dolar AS sepanjang Kamis kemarin tercatat mengalami apresiasi 0,8%.
Pergerakan liar mata uang Paman Sam tersebut terlihat sejak Kamis pagi. Setelah menembus level Rp 15.100, dolar AS terus menguat hingga sempat menyentuh Rp 15.204.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso sendiri mengaku tak terlalu khawatir mengenai hal tersebut. Dia meyakini penguatan dolar AS hanya bersifat sementara. "Nggak apa-apa, kami lihat sifatnya pasti sementara," kata dia di Kantor Pusat OJK Jakarta, Kamis (4/10).
Menurutnya, industri keuangan masih sehat. Di perbankan, kata dia, pertumbuhan kredit bisa mencapai 12,12% hingga Agustus. "Perbankan tidak ada masalah, likuiditas masih OK. Pertumbuhan kredit di luar dugaan sekarang 12,12%," ujarnya.
Dia menuturkan, tekanan nilai tukar tidak dialami hanya pada Indonesia. Tekanan ini juga terjadi pada mata uang negara lain. Dia meyakini, Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar. Begitu juga dengan pemerintah yang terus-menerus melakukan perbaikan pada fundamental ekonomi. Salah satunya dengan kebijakan B20 untuk mengurangi impor.
"Pemerintah sangat clear memperbaiki fundamentalnya, di antaranya insentif B20, energi yang menggunakan tidak mineral tapi kombinasi," ujarnya.
Sejumlah pihak sempat mengingatkan bahwa dolar AS akan terus menguat seiring dengan kebijakan Bank Sentral AS, The Fed. Di antaranya mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri dan Ekonom yang juga mantan Menko Perekonomian di era Gusdur. Chatib Basri menerangkan, rupiah bisa terus tertekan saat The Fed menaikkan suku bunga. Hal itu dinilai potensial, terlebih saat ekonomi AS pulih yang ditunjukkan dengan data pengangguran yang menurun dan inflasi yang meningkat.
The Fed pun akan kembali melakukan penyesuaian. The Fed, kata dia, akan mengembalikan posisi suku bunga dalam keadaan semula. Artinya, jika saat ini suku bunga acuan 2,25% maka The Fed akan menaikkan suku bunga beberapa kali lagi hingga mendekati 3,5%. "Sekarang Fed Fund Rate 2,25%, artinya tahun ini Fed harus menaikkan at least satu kali lagi, tahun depan dua atau tiga kali. Kalau saya bikin sekali naik 25 basis poin maka Fed Fund Rate pada akhir 2019 pada kisaran 3,25 atau mungkin 3%," katanya saat menghadiri acara Economic Outlook 2019 di kawasan Kuningan Jakarta, Rabu (3/10).
Pemerintah pun diminta mengatasi pelemahan rupiah dengan cara menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan begitu, impor minyak berkurang sejalan dengan permintaan yang berkurang. Jika itu tak diterapkan, maka tak ada cara lain untuk bangkit dari 'keok'. Selain itu cara lainnya untuk membantu rupiah melawan dolar AS yakni memberikan insentif pada investor yang tidak menarik dividennya untuk kemudian diinvestasikan kembali di dalam negeri.
Lalu, dengan memberikan insentif untuk pelaku usaha padat karya berorientasi ekspor dan memberikan kemudahan investasi untuk tujuan ekspor. Pelaku usaha yang impor diberikan insentif karena barang yang diimpor digunakan untuk ekspor lagi.*
1
Komentar