Wanita Australia Kritisi Budaya Pernikahan Indonesia Lewat Teater
Seorang aktris asal Sydney Australia, Kerensa Dewantoro, membawakan cerita perempuan sangat apik dalam pertunjukan monolog, di rumah Belajar Mahima, Rabu (3/10) malam.
SINGARAJA, NusaBali
Dalam pertunjukannya ia juga menyampaikan kritik sosial terhadap budaya pernikahan Indonesia yang selama ini lebih mengagungkan laki-laki. Di antara kerumunan penonton, Kerensa mulai memerankan karakternya sebagai seorang perempuan yang dipersunting lelaki Indonesia. Penampilan monolognya pun sangat menyegarkan dan menarik, dengan balutan kostum dress panjang warna biru yang nyentrik dengan polesan make up bergincu merah merona.
Ia tampil sangat dekat dengan penonton. Membawakan cerita dan kisah permasalahan dalam pernikahan. Mulai dari selingkuh, penghakiman terhadap perempuan hingga kritik sosial budaya pernikahan Indonesia. “Ide ini muncul saat saya melihat foto seorang wanita di Aceh yang dicambuk di hadapan orang banyak dan ribuan kamera, dalam pertunjukkan ini memang membahas budaya pernikahan yang juga saya alami sendiri,” kata dia yang ditemui seusai pementasan.
Perempuan cantik yang sudah menetap di Indonesia ini pun membuat naskah monolognya sendiri, yang awalnya menggambarkan cerita dan perjalanan kehidupannya sebagai perempuan. Namun di tengah pementasan monolog berjudul Biru adalah Warna Cinta itu, ia malah menjadi tokoh yang mewakili cerita perempuan yang mengalami nasib yang sama.
Dalam pementasan kedelapan dengan naskah yang sama, khusus pementasannya di Buleleng, ia menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga Karensa memerlukan persiapan yang lebih lama dalam menghafal dan menerjemahkan naskah. Ia yang sangat fasih menggunakan bahasa Indonesia pun membuat pertunjukkannya sangat menarik. Meski membawakan cerita sedih, lontaran lelucon yang nyata terjadi di kehidupan ini ditangkap segar oleh penonton.
Dalam pementasannya, Kerensa juga menyelipkan pertanyaan tentang hak menghakimi orang lain yang berusaha mencari cinta dalam kehidupannya. “Jika ditanya, kita sering mengatakan bahwa pernikahan kita baik-baik saja. Namun apakah kita senang atau bahagia dengan hanya baik-baik saja?” katanya.
Sementara itu s sutradara beken di Buleleng, Kadek Sonia Piscayanti, mengatakan teater yang dibawakan Kerensa adalah cermin perempuan yang menghadapi isu kompleksnya sendiri. Kerensa membidik persoalan dengan gaya humor namun tetap kuat menghantam. “Mungkin ada kemiripan dengan konsep garapan teater 11 ibu 11 kisah 11 panggung, jadi isu sehari-hari bisa menjadi narasi yang berbeda dalam hidup perempuan,” ujarnya.
Apresiasi yang tinggi juga diungkapkan oleh dokter yang seniman, Tini Wahyuni, yang mengaku cerita yang dibawakan dalam monolog Kerensa sangat dekat dengannya. Ia pun mengapresiasi Kerensa berani mengangkat kisah hidupnya seniri di atas panggung.*k23
Dalam pertunjukannya ia juga menyampaikan kritik sosial terhadap budaya pernikahan Indonesia yang selama ini lebih mengagungkan laki-laki. Di antara kerumunan penonton, Kerensa mulai memerankan karakternya sebagai seorang perempuan yang dipersunting lelaki Indonesia. Penampilan monolognya pun sangat menyegarkan dan menarik, dengan balutan kostum dress panjang warna biru yang nyentrik dengan polesan make up bergincu merah merona.
Ia tampil sangat dekat dengan penonton. Membawakan cerita dan kisah permasalahan dalam pernikahan. Mulai dari selingkuh, penghakiman terhadap perempuan hingga kritik sosial budaya pernikahan Indonesia. “Ide ini muncul saat saya melihat foto seorang wanita di Aceh yang dicambuk di hadapan orang banyak dan ribuan kamera, dalam pertunjukkan ini memang membahas budaya pernikahan yang juga saya alami sendiri,” kata dia yang ditemui seusai pementasan.
Perempuan cantik yang sudah menetap di Indonesia ini pun membuat naskah monolognya sendiri, yang awalnya menggambarkan cerita dan perjalanan kehidupannya sebagai perempuan. Namun di tengah pementasan monolog berjudul Biru adalah Warna Cinta itu, ia malah menjadi tokoh yang mewakili cerita perempuan yang mengalami nasib yang sama.
Dalam pementasan kedelapan dengan naskah yang sama, khusus pementasannya di Buleleng, ia menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga Karensa memerlukan persiapan yang lebih lama dalam menghafal dan menerjemahkan naskah. Ia yang sangat fasih menggunakan bahasa Indonesia pun membuat pertunjukkannya sangat menarik. Meski membawakan cerita sedih, lontaran lelucon yang nyata terjadi di kehidupan ini ditangkap segar oleh penonton.
Dalam pementasannya, Kerensa juga menyelipkan pertanyaan tentang hak menghakimi orang lain yang berusaha mencari cinta dalam kehidupannya. “Jika ditanya, kita sering mengatakan bahwa pernikahan kita baik-baik saja. Namun apakah kita senang atau bahagia dengan hanya baik-baik saja?” katanya.
Sementara itu s sutradara beken di Buleleng, Kadek Sonia Piscayanti, mengatakan teater yang dibawakan Kerensa adalah cermin perempuan yang menghadapi isu kompleksnya sendiri. Kerensa membidik persoalan dengan gaya humor namun tetap kuat menghantam. “Mungkin ada kemiripan dengan konsep garapan teater 11 ibu 11 kisah 11 panggung, jadi isu sehari-hari bisa menjadi narasi yang berbeda dalam hidup perempuan,” ujarnya.
Apresiasi yang tinggi juga diungkapkan oleh dokter yang seniman, Tini Wahyuni, yang mengaku cerita yang dibawakan dalam monolog Kerensa sangat dekat dengannya. Ia pun mengapresiasi Kerensa berani mengangkat kisah hidupnya seniri di atas panggung.*k23
1
Komentar