Jokowi 60,2 Persen, Prabowo 28,7 Persen
Kasus Hoax Ratna Tidak Membuat Pemilih Prabowo-Sandi Berpaling
JAKARTA, NusaBali
Survei SMRC membuktikan, elektabilitas Jokowi (Capres incumbent yang diusung PDIP-Golkar-PKB-PPP-NasDem-Hanura-PKPI-Perindo-PSI) unggul jauh atas Prabowo Subianto (Capres yang diusung Gerindra-Demokrat-PAN-PKS-Partai Berkarya). Kasus hoak Ratna Sarumpaet dianggap tidak berpengaruh pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, namun suaranya sulit bertambah.
Berdasarkan survei SMRC yang diumumkan di Jakarta, Minggu (7/10), elektabilitas Jokowi mencapai 60,2 persen, sementara Prabowo hanya meraih 28,7 persen. Sedangkan 11,1 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. Survei ini dilakukan 7-14 September 2018 terhadap 1.220 responden, dengan response rate 1.074 responden. Survei menggunakan metode multistage random sampling, dengan margin error 3,05 persen.
"Dalam simulasi dua nama Capres, Jokowi unggul atas Prabowo," ujar Direktur Eksekutif SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting), Djayadi Hanan, dalam paparannya di Kantor SMRC, Jalan Cisadane Menteng, Jakarta Pusat, Minggu kemarin.
Berdasarkan survei RMSC, sekitar 73,4 persen responden merasa puas dengan kinerja Jokowi (Presiden RI 2014-2019). Rinciannya, sangat puas 9,7 persen dan cukup puas 63,7 persen. Sedangkan responden yang kurang puas atas kinerja Jokowi mencapai 22,6 persen, tidak puas 2,8 persen, dan mengatakan tidak tahu hanya 1,2 persen.
Terkait tingkat keyakinan atas kemampuan Jokowi untuk memimpin, sebanyak 71,4 persen responden merasa yakin dengan politisi PDIP mantan Gubernur DKI Jakarta itu. "Rinciannya, sangat yakin 13,3 persen, cukup yakin 58,1 persen,” papar Djayadi Hanan. Sedangkan responden yang tidak yakin dengan kemampan Jokowi hanya 23,2 persen.
Menurut Djayadi, trend elektabilitas Jokowi naik terus, mirip dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelang Pilpres 2009. "Tren kenaikan ini menjadi penting sebagai indikasi hasil akhir hari H. Dari pengalaman tiga kali Pilpres, calon yang suara dukungannya naik dan unggul terus, sulit dikalahkan saat hari H," ungkap Djayadi.
Djayadi membandingkan trend elektabilitas Jokowi dengan SBY sebelumnya. Dalam Pilpres 2004 dan 2014, SBY dan Jokowi sama-sama bukan Capres pertahana, namun keduanya punya trend elektabilitas unggul atas lawannya hingga menang. Begitu pun Pilprs 2009 dan 2019, SBY dab Jokowi sama-sama Capres petahana yang terus unggul atas penantangnya.
"SBY mengakhiri Pilpres 2009 dengan kemenangan. Bagaimana dengan Jokowi di Pilpres 2019? Kalau melihat pola trend dukungan pada SBY yang sukses pada 2009, Jokowi punya peluang yang sama," tandas Djayadi.
Kendati demikian, menurut Djayadi, bukan berarti Jokowi dan timnya bisa duduk manis. Sebab, ada sejumlah faktor yang bisa mengubah trend tersebut. "Faktor ekonomi, politik, hukum, dan kondisi keamanan. Penilaian atas faktor itu secara umum lebih positif pada masa Jokowi jadi Presiden dibandingkan era SBY," imbuhnya.
Djayadi menilai kasus hoax Ratna Sarumpaet (Jurkam Nasional Tim Pemenangan Prabowo-Sandi) tidak akan mempengaruhi perolehan suara Prabowo-Sandi di Pilpres 2018. Hanya saja, suara Prabowo-Sandi sulit bertambah.
Kasus hoax Ratna Sarumpaet tidak akan membuat para pemilih Prabowo-Sandi berpaling. "Saya menduga begini, isu Ratna Sarumpaet itu tidak akan mengakibatkan pemilih Prabowo pergi. Malah mungkin semakin belain Prabowo.” Alasannya, para pemilih Prabowo-Sandi cenderung solid dan anti Jokowi. "Mengapa? Karena pemilih Prabowo itu cenderung anti Jokowi. Apapun yang dilakukan Prabowo, mereka akan melakukan pembenaran. Jadi, mereka tidak akan lari (dari Prabowo)," tegas Djayadi.
Kendati demikian, menurut hipotesa Djayadi, permasalahan yang timbul akibat kasus hoax Ratna Sarumpaet adalah membuat citra Prabowo jadi negatif. Dengan citra negatif itu, akan sulit bagi Prabowo-Sandi meraih suara dari undecided voters atau swing voters. "Jadi, citra negatif itu membuat pemilih yang tadinya bisa dibujuk, sekarang jadi mikir-mikir lagi. Dan, itu menjadi problem karena menurut berbagai survei, Prabowo masih ketinggalan," imbuhnya.
Djayadi juga menduga kasus hoax Ratna merupakan isu non fundamental yang tak akan bertahan lama. Namun, hal itu tergantung isu yang berkembang pasca drama penganiayaan yang menyeret Prabowo-Sandi dan tim pemenangannya. Djayadi memperkirakan kasus hoax Ratna juga belum tentu akan menambah elektoral pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sementara, kubu PAN mengatakan hasil survei SMRC yang membuktikan Prabowo-Sandia tertinggal jauh dari Jokowi-Ma’ruf, akan menjadi catatan parpol koalisinya. "Jadi catatan bagi kami agar kami bisa melakukan upaya-upaya khusus dalam rangka melakukan komunikasi dengan pemilih, meyakinkan pemilih tentang visi misi program," ujar Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, dilansir detikcom kemarin.
Lagipula, kata Viva, pertarungan masih panjang. Masih ada waktu sekitar 6,5 bulan bagi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi untuk melakukan strategi-strategi guna meningkatkan elektabilitas jagonya. "Model kampanye tentunya berkaitan juga dengan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yaitu aspek ideologi sosial, budaya, politik, pendidikan, kesehatan, keamanan dan seluruhnya," katanya.
"Juga ada aspek ekonomi, bahkan itu yang lebih utama yang akan jadi penentu bagi pemilih untuk menentukan paslon yang akan dipilih. Jadi, faktor-faktor itu semuanya akan kita jadikan sebagai langkah-langkah sistematis, yang isu sentral dalam rangka proses pendidikan masyarakat yang mencerdaskan," lanjut Viva.
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandi ingatkan kepolisian agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan terkait kasus hoax Ratna Sarumpaet, termasuk soal penetapan tersangka baru. Direktur Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi pernyataan kepolisian soal kemungkinan ada tersangka baru setelah penetapan Ratna.
"Polisi boleh saja berpendapat begitu, asal mempunyai dasar yang jelas," pinta Dasco, Minggu kemarin. "Kita juga minta polisi jangan terburu-buru, harus dengan kajian komprehensif. Apabila itu tetap dilakukan polisi, kita juga akan tetap melakukan upaya-upaya yang sesuai prosedur hukum. Kita juga minta, kalau dalam kasus ini polisi bisa cepat, banyak juga perkara-perkara lain yang polisi harus begitu," katanya.
Paparan senada juga disampaikan anggota BPN Prabowo-Sandi, Habiburokhman. Dia tidak menyoal pernyataan polisi soal tersangka baru dalam kasus hoax Ratna. Namun, Habiburokhman menyebut polisi harus profesional. "Silakan saja. Yang penting polisi itu kan tegak lurus pada aturan, pada fakta-fakta, dan profesional. Kita yakin Polri mampu bersikap profesional," katanya. *
Berdasarkan survei SMRC yang diumumkan di Jakarta, Minggu (7/10), elektabilitas Jokowi mencapai 60,2 persen, sementara Prabowo hanya meraih 28,7 persen. Sedangkan 11,1 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. Survei ini dilakukan 7-14 September 2018 terhadap 1.220 responden, dengan response rate 1.074 responden. Survei menggunakan metode multistage random sampling, dengan margin error 3,05 persen.
"Dalam simulasi dua nama Capres, Jokowi unggul atas Prabowo," ujar Direktur Eksekutif SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting), Djayadi Hanan, dalam paparannya di Kantor SMRC, Jalan Cisadane Menteng, Jakarta Pusat, Minggu kemarin.
Berdasarkan survei RMSC, sekitar 73,4 persen responden merasa puas dengan kinerja Jokowi (Presiden RI 2014-2019). Rinciannya, sangat puas 9,7 persen dan cukup puas 63,7 persen. Sedangkan responden yang kurang puas atas kinerja Jokowi mencapai 22,6 persen, tidak puas 2,8 persen, dan mengatakan tidak tahu hanya 1,2 persen.
Terkait tingkat keyakinan atas kemampuan Jokowi untuk memimpin, sebanyak 71,4 persen responden merasa yakin dengan politisi PDIP mantan Gubernur DKI Jakarta itu. "Rinciannya, sangat yakin 13,3 persen, cukup yakin 58,1 persen,” papar Djayadi Hanan. Sedangkan responden yang tidak yakin dengan kemampan Jokowi hanya 23,2 persen.
Menurut Djayadi, trend elektabilitas Jokowi naik terus, mirip dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelang Pilpres 2009. "Tren kenaikan ini menjadi penting sebagai indikasi hasil akhir hari H. Dari pengalaman tiga kali Pilpres, calon yang suara dukungannya naik dan unggul terus, sulit dikalahkan saat hari H," ungkap Djayadi.
Djayadi membandingkan trend elektabilitas Jokowi dengan SBY sebelumnya. Dalam Pilpres 2004 dan 2014, SBY dan Jokowi sama-sama bukan Capres pertahana, namun keduanya punya trend elektabilitas unggul atas lawannya hingga menang. Begitu pun Pilprs 2009 dan 2019, SBY dab Jokowi sama-sama Capres petahana yang terus unggul atas penantangnya.
"SBY mengakhiri Pilpres 2009 dengan kemenangan. Bagaimana dengan Jokowi di Pilpres 2019? Kalau melihat pola trend dukungan pada SBY yang sukses pada 2009, Jokowi punya peluang yang sama," tandas Djayadi.
Kendati demikian, menurut Djayadi, bukan berarti Jokowi dan timnya bisa duduk manis. Sebab, ada sejumlah faktor yang bisa mengubah trend tersebut. "Faktor ekonomi, politik, hukum, dan kondisi keamanan. Penilaian atas faktor itu secara umum lebih positif pada masa Jokowi jadi Presiden dibandingkan era SBY," imbuhnya.
Djayadi menilai kasus hoax Ratna Sarumpaet (Jurkam Nasional Tim Pemenangan Prabowo-Sandi) tidak akan mempengaruhi perolehan suara Prabowo-Sandi di Pilpres 2018. Hanya saja, suara Prabowo-Sandi sulit bertambah.
Kasus hoax Ratna Sarumpaet tidak akan membuat para pemilih Prabowo-Sandi berpaling. "Saya menduga begini, isu Ratna Sarumpaet itu tidak akan mengakibatkan pemilih Prabowo pergi. Malah mungkin semakin belain Prabowo.” Alasannya, para pemilih Prabowo-Sandi cenderung solid dan anti Jokowi. "Mengapa? Karena pemilih Prabowo itu cenderung anti Jokowi. Apapun yang dilakukan Prabowo, mereka akan melakukan pembenaran. Jadi, mereka tidak akan lari (dari Prabowo)," tegas Djayadi.
Kendati demikian, menurut hipotesa Djayadi, permasalahan yang timbul akibat kasus hoax Ratna Sarumpaet adalah membuat citra Prabowo jadi negatif. Dengan citra negatif itu, akan sulit bagi Prabowo-Sandi meraih suara dari undecided voters atau swing voters. "Jadi, citra negatif itu membuat pemilih yang tadinya bisa dibujuk, sekarang jadi mikir-mikir lagi. Dan, itu menjadi problem karena menurut berbagai survei, Prabowo masih ketinggalan," imbuhnya.
Djayadi juga menduga kasus hoax Ratna merupakan isu non fundamental yang tak akan bertahan lama. Namun, hal itu tergantung isu yang berkembang pasca drama penganiayaan yang menyeret Prabowo-Sandi dan tim pemenangannya. Djayadi memperkirakan kasus hoax Ratna juga belum tentu akan menambah elektoral pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sementara, kubu PAN mengatakan hasil survei SMRC yang membuktikan Prabowo-Sandia tertinggal jauh dari Jokowi-Ma’ruf, akan menjadi catatan parpol koalisinya. "Jadi catatan bagi kami agar kami bisa melakukan upaya-upaya khusus dalam rangka melakukan komunikasi dengan pemilih, meyakinkan pemilih tentang visi misi program," ujar Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, dilansir detikcom kemarin.
Lagipula, kata Viva, pertarungan masih panjang. Masih ada waktu sekitar 6,5 bulan bagi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi untuk melakukan strategi-strategi guna meningkatkan elektabilitas jagonya. "Model kampanye tentunya berkaitan juga dengan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yaitu aspek ideologi sosial, budaya, politik, pendidikan, kesehatan, keamanan dan seluruhnya," katanya.
"Juga ada aspek ekonomi, bahkan itu yang lebih utama yang akan jadi penentu bagi pemilih untuk menentukan paslon yang akan dipilih. Jadi, faktor-faktor itu semuanya akan kita jadikan sebagai langkah-langkah sistematis, yang isu sentral dalam rangka proses pendidikan masyarakat yang mencerdaskan," lanjut Viva.
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandi ingatkan kepolisian agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan terkait kasus hoax Ratna Sarumpaet, termasuk soal penetapan tersangka baru. Direktur Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi pernyataan kepolisian soal kemungkinan ada tersangka baru setelah penetapan Ratna.
"Polisi boleh saja berpendapat begitu, asal mempunyai dasar yang jelas," pinta Dasco, Minggu kemarin. "Kita juga minta polisi jangan terburu-buru, harus dengan kajian komprehensif. Apabila itu tetap dilakukan polisi, kita juga akan tetap melakukan upaya-upaya yang sesuai prosedur hukum. Kita juga minta, kalau dalam kasus ini polisi bisa cepat, banyak juga perkara-perkara lain yang polisi harus begitu," katanya.
Paparan senada juga disampaikan anggota BPN Prabowo-Sandi, Habiburokhman. Dia tidak menyoal pernyataan polisi soal tersangka baru dalam kasus hoax Ratna. Namun, Habiburokhman menyebut polisi harus profesional. "Silakan saja. Yang penting polisi itu kan tegak lurus pada aturan, pada fakta-fakta, dan profesional. Kita yakin Polri mampu bersikap profesional," katanya. *
Komentar