Bawaslu Terkesan 'Tempat Berlindung'
Aturan pemilu ternyata tidak bisa menjelaskan segala hal, buktinya masih terjadi persepsi berbeda, pemahaman aturan berbeda-beda antar lembaga.
Caleg ‘Bermasalah’ Banyak Lolos Setelah Berproses di Bawaslu
DENPASAR, NusaBali
Banyaknya calon anggota legislatif (Caleg) yang gagal di KPU, namun akhirnya lolos setelah berproses ke Bawaslu, menjadi fenomena unik di Pileg 2019 ini. Meskipun bermasalah dan dinyatakan TMS (Tidak Memenuhi Syarat) oleh KPU, namun para caleg ini tetap melaju bertarung di Pileg 2019.
Pengamat politik dan pemilu yang juga mantan Ketua KPU Bali periode 2008-2013, I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa di Denpasar, Senin (8/10) mengatakan fenomena ini, karena terjadi perbedaan pemahaman aturan kepemiluan.
“Beradu persepsi dan pemahaman aturan menjadi pusaran munculnya caleg-caleg yang sebelumnya bermasalah atau dinyatakan TMS akhirnya tetap lolos pemilu 2019,” ujar Lanang Perbawa. Kata dia aturan pemilu ternyata tidak bisa menjelaskan segala hal. Buktinya masih terjadi persepsi berbeda, pemahaman aturan berbeda-beda antar lembaga, sehingga munculnya caleg bermasalah atau dinyatakan TMS lolos di Bawaslu.
“Satu sisi PKPU membuat si Caleg TMS, sementara di satu sisi kewenangan Bawaslu memang menyelesaikan sengketa pemilu,” ujar Lanang Perbawa. Apakah ini menjadi persoalan atau Caleg bermasalah seolah-olah mendapatkan angin segar ketika masuk lembaga Bawaslu?
“Ah nggak begitu. Karena secara hukum memang Bawaslu diberikan kewenangan. Ya ini bagus bagi masyarakat dalam pembelajaran ke depan. Terutama masyarakat harus tahu betul track record calon. Apakah dia caleg yang berkasus dalam korupsi, narkoba atau kejahatan seksual terhadap anak atau perbuatan pidana lainnya. Masyarakat tetap sebagai eksekutornya. Sudah tahu caleg terpidana, caleg terlibat penipuan, korupsi ya jangan dipilih,” tegas akademisi Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar ini.
Kata dia, ketika berbicara hukum akan selalu ada perdebatan. “Kalau ngomong hukum, selalu ada wilayah perdebatan. Ada perbedaan pendapat lembaga. Tetapi tarikannya hak asasi, ya semua berhak sebagai Caleg. Mahkamah Agung (MA) misalnya memutuskan, ya tetap saja caleg yang pernah dipidana boleh nyalon. Itu sudah tarikan hak asasi. Sekarang media harus umumkan dong caleg bermasalah supaya masyarakat bisa menjadi eksekutor yang baik,” tegas Lanang Perbawa. Sementara anggota Bawaslu Bali Divisi Sengketa, I Ketut Rudia secara terpisah mengatakan Bawaslu dan KPU diberikan kewenangan masing-masing. Selama ini Bawaslu Bali belum pernah meloloskan caleg bermasalah ketika proses ajudikasi. Kalaupun ada proses mediasi di Bawaslu Bali, dan ada Caleg yang diloloskan bertarung itu adalah proses antara KPU dengan partai politik. “Mediasi itu belum ranah Bawaslu. Ketika ajudikasi barulah itu ranah Bawaslu. Kalau mediasi ya Bawaslu belum masuk di dalamnya,” ujar Rudia.
Rudia tidak membantah memang terkesan masyarakat menilai Bawaslu sebagai lembaga yang meloloskan caleg bermasalah. Tetapi Bawaslu Bali dalam melaksanakan proses sengketa ditempuh dua tahapan, yakni mediasi dan ajudikasi dengan waktu 12 hari.
“Bawaslu Bali dalam mediasi memfasilitasi pemohon dan termohon. Apa yang jadi keinginan pemohon disampaikan ke KPU sebagai pihak termohon yang menyatakan caleg tidak memenuhi syarat. Selama ini ya memang ada caleg TMS di KPU ketika mediasi di Bawaslu, KPU yang menerimanya lagi. Itu karena tergantung mediasi partai dengan KPU lagi. Jadi sekali lagi Bawaslu belum pernah masuk di dalamnya. Kalau sudah masuk proses ajudikasi barulah ranah Bawaslu,” tegas mantan Ketua Panwaslu Buleleng ini.
Sebelumnya sejumlah caleg yang dinyatakan TMS akhirnya lolos ketika mediasi di Bawaslu Bali menjadi fenomena tarik ulurnya sebuah aturan kepemiluan. Ada tawar menawar dalam persoalan persyaratan calon yang layak lolos atau tidak layak untuk lolos. Seperti 12 Caleg Partai NasDem untuk DPRD Provinsi Bali dapil Buleleng seluruhnya lolos dalam mediasi. Kemudian Caleg Partai Gerindra untuk DPRD Bali dapil Badung atas nama Bagus Suwitra Wirawan lolos juga dalam mediasi walaupun sempat dinyatakan TMS. Setelah itu caleg Partai NasDem di Jembrana juga lolos walaupun dia sebelumnya adalah pegawai kontrak yang belum pernah mengundurkan diri. Terakhir Gerindra yang telat serahkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) di Buleleng lolos sebagai peserta pemilu 2019 setelah mediasi di Bawaslu.
Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan secara terpisah mengatakan setiap kasus caleg yang TMS kemudian dinyatakan lolos tidak bisa diseragamkan. PKPU yang telah diterbitkan jelas untuk melakukan proses penjaringan dengan filosofi meminimalisir pelanggaran. “PKPU ini disusun jelas tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Mediasi itu diatur oleh Undang-Undang. Sepanjang tidak mengabaikan substansi. Persoalannya sederhana saja kok itu. Misalnya kasus Caleg di Jembrana yang berstatus tenaga kontrak. Di dalam KTP-nya jelas tidak tercantum itu kalau dia pegawai kontrak. Ya bukan salah KPU dong,” ujar Lidartawan. *nat
DENPASAR, NusaBali
Banyaknya calon anggota legislatif (Caleg) yang gagal di KPU, namun akhirnya lolos setelah berproses ke Bawaslu, menjadi fenomena unik di Pileg 2019 ini. Meskipun bermasalah dan dinyatakan TMS (Tidak Memenuhi Syarat) oleh KPU, namun para caleg ini tetap melaju bertarung di Pileg 2019.
Pengamat politik dan pemilu yang juga mantan Ketua KPU Bali periode 2008-2013, I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa di Denpasar, Senin (8/10) mengatakan fenomena ini, karena terjadi perbedaan pemahaman aturan kepemiluan.
“Beradu persepsi dan pemahaman aturan menjadi pusaran munculnya caleg-caleg yang sebelumnya bermasalah atau dinyatakan TMS akhirnya tetap lolos pemilu 2019,” ujar Lanang Perbawa. Kata dia aturan pemilu ternyata tidak bisa menjelaskan segala hal. Buktinya masih terjadi persepsi berbeda, pemahaman aturan berbeda-beda antar lembaga, sehingga munculnya caleg bermasalah atau dinyatakan TMS lolos di Bawaslu.
“Satu sisi PKPU membuat si Caleg TMS, sementara di satu sisi kewenangan Bawaslu memang menyelesaikan sengketa pemilu,” ujar Lanang Perbawa. Apakah ini menjadi persoalan atau Caleg bermasalah seolah-olah mendapatkan angin segar ketika masuk lembaga Bawaslu?
“Ah nggak begitu. Karena secara hukum memang Bawaslu diberikan kewenangan. Ya ini bagus bagi masyarakat dalam pembelajaran ke depan. Terutama masyarakat harus tahu betul track record calon. Apakah dia caleg yang berkasus dalam korupsi, narkoba atau kejahatan seksual terhadap anak atau perbuatan pidana lainnya. Masyarakat tetap sebagai eksekutornya. Sudah tahu caleg terpidana, caleg terlibat penipuan, korupsi ya jangan dipilih,” tegas akademisi Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar ini.
Kata dia, ketika berbicara hukum akan selalu ada perdebatan. “Kalau ngomong hukum, selalu ada wilayah perdebatan. Ada perbedaan pendapat lembaga. Tetapi tarikannya hak asasi, ya semua berhak sebagai Caleg. Mahkamah Agung (MA) misalnya memutuskan, ya tetap saja caleg yang pernah dipidana boleh nyalon. Itu sudah tarikan hak asasi. Sekarang media harus umumkan dong caleg bermasalah supaya masyarakat bisa menjadi eksekutor yang baik,” tegas Lanang Perbawa. Sementara anggota Bawaslu Bali Divisi Sengketa, I Ketut Rudia secara terpisah mengatakan Bawaslu dan KPU diberikan kewenangan masing-masing. Selama ini Bawaslu Bali belum pernah meloloskan caleg bermasalah ketika proses ajudikasi. Kalaupun ada proses mediasi di Bawaslu Bali, dan ada Caleg yang diloloskan bertarung itu adalah proses antara KPU dengan partai politik. “Mediasi itu belum ranah Bawaslu. Ketika ajudikasi barulah itu ranah Bawaslu. Kalau mediasi ya Bawaslu belum masuk di dalamnya,” ujar Rudia.
Rudia tidak membantah memang terkesan masyarakat menilai Bawaslu sebagai lembaga yang meloloskan caleg bermasalah. Tetapi Bawaslu Bali dalam melaksanakan proses sengketa ditempuh dua tahapan, yakni mediasi dan ajudikasi dengan waktu 12 hari.
“Bawaslu Bali dalam mediasi memfasilitasi pemohon dan termohon. Apa yang jadi keinginan pemohon disampaikan ke KPU sebagai pihak termohon yang menyatakan caleg tidak memenuhi syarat. Selama ini ya memang ada caleg TMS di KPU ketika mediasi di Bawaslu, KPU yang menerimanya lagi. Itu karena tergantung mediasi partai dengan KPU lagi. Jadi sekali lagi Bawaslu belum pernah masuk di dalamnya. Kalau sudah masuk proses ajudikasi barulah ranah Bawaslu,” tegas mantan Ketua Panwaslu Buleleng ini.
Sebelumnya sejumlah caleg yang dinyatakan TMS akhirnya lolos ketika mediasi di Bawaslu Bali menjadi fenomena tarik ulurnya sebuah aturan kepemiluan. Ada tawar menawar dalam persoalan persyaratan calon yang layak lolos atau tidak layak untuk lolos. Seperti 12 Caleg Partai NasDem untuk DPRD Provinsi Bali dapil Buleleng seluruhnya lolos dalam mediasi. Kemudian Caleg Partai Gerindra untuk DPRD Bali dapil Badung atas nama Bagus Suwitra Wirawan lolos juga dalam mediasi walaupun sempat dinyatakan TMS. Setelah itu caleg Partai NasDem di Jembrana juga lolos walaupun dia sebelumnya adalah pegawai kontrak yang belum pernah mengundurkan diri. Terakhir Gerindra yang telat serahkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) di Buleleng lolos sebagai peserta pemilu 2019 setelah mediasi di Bawaslu.
Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan secara terpisah mengatakan setiap kasus caleg yang TMS kemudian dinyatakan lolos tidak bisa diseragamkan. PKPU yang telah diterbitkan jelas untuk melakukan proses penjaringan dengan filosofi meminimalisir pelanggaran. “PKPU ini disusun jelas tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Mediasi itu diatur oleh Undang-Undang. Sepanjang tidak mengabaikan substansi. Persoalannya sederhana saja kok itu. Misalnya kasus Caleg di Jembrana yang berstatus tenaga kontrak. Di dalam KTP-nya jelas tidak tercantum itu kalau dia pegawai kontrak. Ya bukan salah KPU dong,” ujar Lidartawan. *nat
Komentar