Pengarakan Bade Lewat Sungai, Penyunggi Basah Kuyup
Pengabenan Atlet Gateball Korban Bencana Sulteng di Desa Sudimara
TABANAN, NusaBali
Abu jenazah Dewa Yoga Nata Kusuma, 38, atlet gateball yang tewas akibat gempa 7,4 SR dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, sudah diabenkan keluarganya di Setra Desa Pakraman Tegal Ambengan, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan pada Buda Pon Watugunung, Rabu (10/10) siang. Diiringi ratusan krama, bade pengabenan harus diarak melewatu Sungai Yeh Empas.
Pantauan di lapangan, prosesi pengarakan bade pengabenan Dewa Yoga Nata Kusuma menuju setra dari rumah duka di Banjar Tegal Ambengan, Desa Sudimara, Rabu kemarin siang dimulai sekitar pukul 11.00 Wita. Sebelum pengarakan bade ke setra, rangkaian pengabenan sudah dimulai sejak pagi pukul 07.00 Wita dengan ritual ngeringkes.
Tepat pukul 11.00 Wita, barulah dilakukan ritual pengarakan bade dilakukan sejauh 300 meter dari rumah duka menuju setra. Arak-arakan diawali rombongan krama istri (perempuan) yang nyuwun sarana upakara melewati Sungai Yeh Empas. Mereka melintasi aliran air sungai sebetis orang dewasa.
Setelah iring-iringan krama istri lewat, disusul pengarakan bade oleh krama lanang (laki-laki). Tepat saat berada di tengah Sungai Yeh Empas, bade pengabenan berputar tiga kali. Tak pelak, para penyunggi bade jadi basah kuyup oleh cipratan air sungai.
Prosesi pengabenan Dewa Yoga kemarin dipuput oleh Ida Bhagawan Putra Taman Sekar, sulinggih asal Banjar Jelijih, Desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan. Usai prosesi pengabenan di setra, langsung dilaksanakan ritual nganyut ke segara di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara.
Menurut mertua almarhum Dewa Yoha, yakni I Gusti Putu Weda, pengabenen ini masuk jenis ngaben ngelanus. “Artinya, ngaben sehari langsung tuntas hingga ngelinggihang,” jelas IGP Weda.
Prosesi pengabenan di Setra Dsa Pakraman Tegal Ambengan, Desa Sudimara terbilang unik. Pasalnya, pengarakan bade selalu harus melintasi aliran Sungai Yeh Empas. Masalahnya, setra tersebut diapit dua sungai, yakni Sungai Yeh Nu di sebelah timur dan Sungai Yeh Empas di sebelah barat.
Untuk menuju setra seluas 10 are tersebut, tidak ada akses jalan lain kecuali harus melintasi sungai. Kendati harus melintasi sungai, namu krama penyunggi bade tidak mengalami kesulitan berarti. Soalnya, airan air sungai tidak terlalu deras. “Kami sudah terbiasa mengarak bade seperti ini,” ujar seorang krama penyinggi bade, Nyoman Sukanaya.
Menurut Sukanaya, tantangan yang dihadapi untuk mengarak bade saat air sungai surut maupun deras sebtulnya sama saja. “Kalau air sungai surut, ada lumpur dan pasir yang harus kita atasi. Kalu airnya deras, kita berjuang melawan arus,” papar Sukanaya.
Pengabenan almarhum Dewa Yogha Nata Kusuma, Rabu kemarin, tidak langsung dengan membakar jenazahnya. Sebab, jenazah almarhum telah dikremasi di Palu, Minggu (7/10). Abu jenazah kemudian dikirim ke Bali dengan pesawat dan tiba di rumah duka Banjar Tegal Ambengan, Desa Sudimara, Senin (8/10) sore pukul 16.00 Wita.
Almarhum Dewa Yoga merupakan anak sulung dari tiga bersaudara ke-luarga pasangan Dewa Nyoman Sukadana (almarhum) dan Dewa Ayu Yayu Ratna. Dari pernikahannya dengan I Gusti Ayu Gede Dina Karamani, 30, almarhum dikaruniai tiga anak yang masih kecil-kecil: Dewa Ayu Nindya Natania, 9 (siswi Kelas IV SD), Dewa Gede Danendra Nata, 6 (sekolah TK), dan Dewa Nagus Nusakti Adi Nata, 1,5.
Sebelum tewas akibat gempa, almarhum Dewa Yoga kesehariannya adalah staf di Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah II Denpasar. Korban berada di Hotel Roa Roa Palu yang ambruk saat bencana terjadi, 28 September 2018 sore, dalam rangka mengikuti Kejuaraan Gateball serangkian HUT Kota Palu. Korban berangkat ke Palu mewakili BPJN Denpasar bersama dua rekannya.
Saat upacara pengabenan abu jenazah Dewa Yoga, Rabu kemarin, keluarga almarhum tampak sudah lebih tegar. Kedua orangtua almarhum juga ikut ke setra. Demikian pula istri almarhum, IGA Dina Karamani, ikut ke setra bersama dua dari tiga anaknya: Dewa Ayu Nindya Natania dan Dewa Gede Danendra Nata.
Menurut mertua almarhum, IGP Weda, putrinya yakni IGA Dina Karamani sudah mulai bisa menerima kematian tragis sang suami. “Dia (Dina Karamani) sudah mulai bisa terima kenyataan. Hanya saat kedatangan abu jenazah suaminya di rumah duka, dia sempat menangis histeris,” beber IGP Weda.*de
Pantauan di lapangan, prosesi pengarakan bade pengabenan Dewa Yoga Nata Kusuma menuju setra dari rumah duka di Banjar Tegal Ambengan, Desa Sudimara, Rabu kemarin siang dimulai sekitar pukul 11.00 Wita. Sebelum pengarakan bade ke setra, rangkaian pengabenan sudah dimulai sejak pagi pukul 07.00 Wita dengan ritual ngeringkes.
Tepat pukul 11.00 Wita, barulah dilakukan ritual pengarakan bade dilakukan sejauh 300 meter dari rumah duka menuju setra. Arak-arakan diawali rombongan krama istri (perempuan) yang nyuwun sarana upakara melewati Sungai Yeh Empas. Mereka melintasi aliran air sungai sebetis orang dewasa.
Setelah iring-iringan krama istri lewat, disusul pengarakan bade oleh krama lanang (laki-laki). Tepat saat berada di tengah Sungai Yeh Empas, bade pengabenan berputar tiga kali. Tak pelak, para penyunggi bade jadi basah kuyup oleh cipratan air sungai.
Prosesi pengabenan Dewa Yoga kemarin dipuput oleh Ida Bhagawan Putra Taman Sekar, sulinggih asal Banjar Jelijih, Desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan. Usai prosesi pengabenan di setra, langsung dilaksanakan ritual nganyut ke segara di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara.
Menurut mertua almarhum Dewa Yoha, yakni I Gusti Putu Weda, pengabenen ini masuk jenis ngaben ngelanus. “Artinya, ngaben sehari langsung tuntas hingga ngelinggihang,” jelas IGP Weda.
Prosesi pengabenan di Setra Dsa Pakraman Tegal Ambengan, Desa Sudimara terbilang unik. Pasalnya, pengarakan bade selalu harus melintasi aliran Sungai Yeh Empas. Masalahnya, setra tersebut diapit dua sungai, yakni Sungai Yeh Nu di sebelah timur dan Sungai Yeh Empas di sebelah barat.
Untuk menuju setra seluas 10 are tersebut, tidak ada akses jalan lain kecuali harus melintasi sungai. Kendati harus melintasi sungai, namu krama penyunggi bade tidak mengalami kesulitan berarti. Soalnya, airan air sungai tidak terlalu deras. “Kami sudah terbiasa mengarak bade seperti ini,” ujar seorang krama penyinggi bade, Nyoman Sukanaya.
Menurut Sukanaya, tantangan yang dihadapi untuk mengarak bade saat air sungai surut maupun deras sebtulnya sama saja. “Kalau air sungai surut, ada lumpur dan pasir yang harus kita atasi. Kalu airnya deras, kita berjuang melawan arus,” papar Sukanaya.
Pengabenan almarhum Dewa Yogha Nata Kusuma, Rabu kemarin, tidak langsung dengan membakar jenazahnya. Sebab, jenazah almarhum telah dikremasi di Palu, Minggu (7/10). Abu jenazah kemudian dikirim ke Bali dengan pesawat dan tiba di rumah duka Banjar Tegal Ambengan, Desa Sudimara, Senin (8/10) sore pukul 16.00 Wita.
Almarhum Dewa Yoga merupakan anak sulung dari tiga bersaudara ke-luarga pasangan Dewa Nyoman Sukadana (almarhum) dan Dewa Ayu Yayu Ratna. Dari pernikahannya dengan I Gusti Ayu Gede Dina Karamani, 30, almarhum dikaruniai tiga anak yang masih kecil-kecil: Dewa Ayu Nindya Natania, 9 (siswi Kelas IV SD), Dewa Gede Danendra Nata, 6 (sekolah TK), dan Dewa Nagus Nusakti Adi Nata, 1,5.
Sebelum tewas akibat gempa, almarhum Dewa Yoga kesehariannya adalah staf di Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah II Denpasar. Korban berada di Hotel Roa Roa Palu yang ambruk saat bencana terjadi, 28 September 2018 sore, dalam rangka mengikuti Kejuaraan Gateball serangkian HUT Kota Palu. Korban berangkat ke Palu mewakili BPJN Denpasar bersama dua rekannya.
Saat upacara pengabenan abu jenazah Dewa Yoga, Rabu kemarin, keluarga almarhum tampak sudah lebih tegar. Kedua orangtua almarhum juga ikut ke setra. Demikian pula istri almarhum, IGA Dina Karamani, ikut ke setra bersama dua dari tiga anaknya: Dewa Ayu Nindya Natania dan Dewa Gede Danendra Nata.
Menurut mertua almarhum, IGP Weda, putrinya yakni IGA Dina Karamani sudah mulai bisa menerima kematian tragis sang suami. “Dia (Dina Karamani) sudah mulai bisa terima kenyataan. Hanya saat kedatangan abu jenazah suaminya di rumah duka, dia sempat menangis histeris,” beber IGP Weda.*de
Komentar