Pariwisata Bali Diobral di Tiongkok
Turis China diarahkan belanja ke sejumah toko di Bali milik pengusaha Tiongkok, yang jual barang murah buatan negeri Tirai Bambu
Ada Paket Tur ke Bali 5 Hari Cuma Bayar Rp 600.000
DENPASAR, NusaBali
Di tengah hebatnya Bali sebagai tempat pelaksanaan Annual Meeting IMF-World Bank 2018, Pulau Dewata yang tersohor di dunia masih diwarnai fenomena ‘pariwisata dijual murah’ untuk turis Tiongkok. Bahkan, turis Tiongkok bisa menginap dan makan selama 5 hari dengan hanya keluar Rp 600.000. Aksi jual murah ini diduga melibatkan sindikat internasional dengan memanfaatkan pasar bebas, teknologi, dan persaingan dagang. Dinas Pariwisata Bali pun mengingatkan negara harus turun tangan mengatasi masalah ini.
Ketua Bali Liang (Komite Tiongkok ASITA Daerah Bali), Elsye Deliana, mengatakan jumlah wisatawan Tiongkok yang datang ke Bali saat ini menduduki peringkat tertinggi, mengungguli Australia, Amerika Serikat, India, dan Eropa. Namun, di balik tingginya kunjungan turis China, terjadi praktek-praktek jual murah di Tiongkok yang mengancam pariwisata Bali. “Kasarnya, Bali dijual sangat murah di Tiongkok oleh agen-agen tertentu. Ini sudah tidak sehat,” ujar Elsye Deliana dalam rilisnya kepada NusaBali di Denpasar, Minggu (14/10).
Elsye mengatakan, fenomena pariwisata Bali dijual sangat murah ini sudah terjadi sejak 3 tahun belakangan. Bahkan, kecenderungannya semakin murah dari tahun ke tahun. Pada 2017 lalu, Bali masih dijual Rp 2 juta per kepala di Tiongkok. Tahun 2018 ini, harganya makin murah menjadi Rp 1,5 juta per kepala.
Bahkan, kata Elsye, ada agen yang menjual paket wisata ke Bali untuk menginap 4-5 hari di Pulau Dewata, dengan harga hanya Rp 600.000 per orang. “Bayangkan, dengan banyar hanya Rp 600.000, turis Tiongkok bisa ke Bali untuk menginap selama 5 hari dan itu sudah termasuk dapat makan selama di Bali,” papar perempuan yang akrab dipanggil Meylan ini.
Elsye menduga ada permainan besar yang masif di balik jual murah pariwisata Bali ini. Diduga ada pengusaha dari Tiongkok yang membangun usaha Artshop di Bali, dengan sejumlah toko yang menyebar di seluruh daerah. Indikasinya, wisatawan Tiongkok digiring oleh agen-agen tertentu untuk belanja ke toko-toko terebut selama berada di Bali. Sementara untuk kunjungan ke destinasi wisata yang terkenal di Bali, hanya dilakukan sekali saja. “Toko-toko yang diduga milik orang Tiongkok ini wajib dikunjungi. Harga barangnya murah, karena ada subsidi dari art shop besar di Bali,” ungkap Elsye.
Yang mengejutkan, kata Elsye, pembayarannya sangat canggih. Tidak ada satu rupiah pun tercecer di Bali dari transaksi turis-turis Tiongkok ini. Sebab, pembayarannya dengan pola wechat dan sistem barcode. “Transaksinya seperti berputar di Tiongkok. Datang dari Tiongkok, belanja di toko Tiongkok, sistem belanja ala Tiongkok. Jadi, mereka tidak ada bayar pajak apa pun di Bali,” paparnya.
Sementara, Wakil Ketua Bali Liang, Bambang Putra, mengatakan wisatawan Tiongkok yang datang ke Bali seperti sudah diatur dengan sistem ‘beli kepala’. Wisatawan Tiongkok diwajibkan masuk ke toko-toko tertentu, kemudian membeli barang kerajinan berbahan latex, seperti kasur, sofa, bantal, kain sutra. Barang yang dijual di sata juga buatan negeri Tirai Bambu.
“Alasannya, Indonesia penghasil karet, sehingga harga barangnya jauh lebih murah. Padahal, barang di toko-toko tersebut dibuat di Tiongkok,” cerita Bambang Putra secara terpisahh, Minggu kemarin.
Paparan senada juga disampaikan Komite Tiongkok Nasional, Candra Salim. Menurut Chandra Salim, fenomena ‘jual kepala’ ini merupakan ancaman dan kerugian bagi pariwisata Bali. “Tidak ada keuntungan bagi Bali. Sebab, Bali hanya dapat sampahnya saja. Pola tur seperti itu merusak nama baik Bali, karena wisatawan merasa tertipu ketika tur di Bali. Mereka tahunya Bali sangat menarik, namun nyatanya yang ada di Bali hanya jual karet dan latex. Citra pariwisata Bali jadi jelek. Wisa-tawan Tiongkok bisa kapok ke Bali lagi,” sesal Candra Salim.
Menurut Candra, fenomen ini diperparah lagi masalah guide ilegal yang belum terselesaikan. Banyak beroperasi guide khusus untuk Tiongkok, padahal mereka tidak memegang visa kerja. “Kami mendorong pemerintah di Bali segera bertindak. Hal seperti ini juga pernah terjadi di Thailand dan Vietnam, namun pemerintah di sana cepat deteksinya dan melakukan penanganan,” tandas Candra.
Sebaliknya, Ketua Komite Tiongkok Nasional, Herry Sudiarto, menyatakan perlu ada ketegasan pemerintah, sebelum semakin parah praktek-praktek yang merugikan pariwisata Bali terkait pangsa pasar Tiongkok ini. “Pemerintah mesti berani tegas agar Bali bisa lebih bagus. Jika dibiarkan seperti ini, jelas akan semakin parah ke depannya. Harus dibuatkan regulasi yang kuat untuk melindungi yang legal dan menertibkan yang illegal,” pinta Herry Sudiarto.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Anak Agung Yuniartha, mengakui memang ada pola belanja dengan sistem wechat dan ‘jual kepala’ terkait pasar turis Tiongkok. Menurut gung Yuniartha, Dinas Pariwisata Bali tidak bisa menangani hal ini. “Karena sistem mereka online, belanja dengan barcode, bayar pakai wechat. Menempel telepon dengan barcode, itu duitnya ke negara asalnya kembali. Kami tidak bisa menyentuh ini. Ini antar negara yang harus menyelesaikan,” kata Gung Yuniartha saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu kemarin.
Gung Yuniartha menduga ada sindikat yang bermain dalam jual murah pariwisata Bali untuk pasar turis Tiongkok ini. Bahkan, pejabat di China sampai komplin dan berencana datang ke Bali untuk mengecek persoalan ini.
“Kami sudah mendengar ada pejabat China yang akan datang ke Bali untuk membicarakan ‘jual beli kepala’ dan jual murah pariwisata Bali ini, karena ada komplin dari wisatawan China usai tur ke Bali. Konjen Tiongkok di Denpasar juga komplin ke saya,” beber Gung Yuniartha.
“Ya, bagus pejabat kementerian mereka (China) datang ke Bali, nanti kita buka saja masalah ini. Cuma, untuk regulasi dan solusi, ini sudah antar negara yang harus menyelesaikan. Ini bukan ranah Dinas Pariwisata lagi, apalagi sistem online. Negara harus turun tangan. Bali nggak dapat apa-apa dari turis China yang belanja,” lanjut mantan Kepala Perwakilan Provinsi Bali di Jakarta ini. *nat
DENPASAR, NusaBali
Di tengah hebatnya Bali sebagai tempat pelaksanaan Annual Meeting IMF-World Bank 2018, Pulau Dewata yang tersohor di dunia masih diwarnai fenomena ‘pariwisata dijual murah’ untuk turis Tiongkok. Bahkan, turis Tiongkok bisa menginap dan makan selama 5 hari dengan hanya keluar Rp 600.000. Aksi jual murah ini diduga melibatkan sindikat internasional dengan memanfaatkan pasar bebas, teknologi, dan persaingan dagang. Dinas Pariwisata Bali pun mengingatkan negara harus turun tangan mengatasi masalah ini.
Ketua Bali Liang (Komite Tiongkok ASITA Daerah Bali), Elsye Deliana, mengatakan jumlah wisatawan Tiongkok yang datang ke Bali saat ini menduduki peringkat tertinggi, mengungguli Australia, Amerika Serikat, India, dan Eropa. Namun, di balik tingginya kunjungan turis China, terjadi praktek-praktek jual murah di Tiongkok yang mengancam pariwisata Bali. “Kasarnya, Bali dijual sangat murah di Tiongkok oleh agen-agen tertentu. Ini sudah tidak sehat,” ujar Elsye Deliana dalam rilisnya kepada NusaBali di Denpasar, Minggu (14/10).
Elsye mengatakan, fenomena pariwisata Bali dijual sangat murah ini sudah terjadi sejak 3 tahun belakangan. Bahkan, kecenderungannya semakin murah dari tahun ke tahun. Pada 2017 lalu, Bali masih dijual Rp 2 juta per kepala di Tiongkok. Tahun 2018 ini, harganya makin murah menjadi Rp 1,5 juta per kepala.
Bahkan, kata Elsye, ada agen yang menjual paket wisata ke Bali untuk menginap 4-5 hari di Pulau Dewata, dengan harga hanya Rp 600.000 per orang. “Bayangkan, dengan banyar hanya Rp 600.000, turis Tiongkok bisa ke Bali untuk menginap selama 5 hari dan itu sudah termasuk dapat makan selama di Bali,” papar perempuan yang akrab dipanggil Meylan ini.
Elsye menduga ada permainan besar yang masif di balik jual murah pariwisata Bali ini. Diduga ada pengusaha dari Tiongkok yang membangun usaha Artshop di Bali, dengan sejumlah toko yang menyebar di seluruh daerah. Indikasinya, wisatawan Tiongkok digiring oleh agen-agen tertentu untuk belanja ke toko-toko terebut selama berada di Bali. Sementara untuk kunjungan ke destinasi wisata yang terkenal di Bali, hanya dilakukan sekali saja. “Toko-toko yang diduga milik orang Tiongkok ini wajib dikunjungi. Harga barangnya murah, karena ada subsidi dari art shop besar di Bali,” ungkap Elsye.
Yang mengejutkan, kata Elsye, pembayarannya sangat canggih. Tidak ada satu rupiah pun tercecer di Bali dari transaksi turis-turis Tiongkok ini. Sebab, pembayarannya dengan pola wechat dan sistem barcode. “Transaksinya seperti berputar di Tiongkok. Datang dari Tiongkok, belanja di toko Tiongkok, sistem belanja ala Tiongkok. Jadi, mereka tidak ada bayar pajak apa pun di Bali,” paparnya.
Sementara, Wakil Ketua Bali Liang, Bambang Putra, mengatakan wisatawan Tiongkok yang datang ke Bali seperti sudah diatur dengan sistem ‘beli kepala’. Wisatawan Tiongkok diwajibkan masuk ke toko-toko tertentu, kemudian membeli barang kerajinan berbahan latex, seperti kasur, sofa, bantal, kain sutra. Barang yang dijual di sata juga buatan negeri Tirai Bambu.
“Alasannya, Indonesia penghasil karet, sehingga harga barangnya jauh lebih murah. Padahal, barang di toko-toko tersebut dibuat di Tiongkok,” cerita Bambang Putra secara terpisahh, Minggu kemarin.
Paparan senada juga disampaikan Komite Tiongkok Nasional, Candra Salim. Menurut Chandra Salim, fenomena ‘jual kepala’ ini merupakan ancaman dan kerugian bagi pariwisata Bali. “Tidak ada keuntungan bagi Bali. Sebab, Bali hanya dapat sampahnya saja. Pola tur seperti itu merusak nama baik Bali, karena wisatawan merasa tertipu ketika tur di Bali. Mereka tahunya Bali sangat menarik, namun nyatanya yang ada di Bali hanya jual karet dan latex. Citra pariwisata Bali jadi jelek. Wisa-tawan Tiongkok bisa kapok ke Bali lagi,” sesal Candra Salim.
Menurut Candra, fenomen ini diperparah lagi masalah guide ilegal yang belum terselesaikan. Banyak beroperasi guide khusus untuk Tiongkok, padahal mereka tidak memegang visa kerja. “Kami mendorong pemerintah di Bali segera bertindak. Hal seperti ini juga pernah terjadi di Thailand dan Vietnam, namun pemerintah di sana cepat deteksinya dan melakukan penanganan,” tandas Candra.
Sebaliknya, Ketua Komite Tiongkok Nasional, Herry Sudiarto, menyatakan perlu ada ketegasan pemerintah, sebelum semakin parah praktek-praktek yang merugikan pariwisata Bali terkait pangsa pasar Tiongkok ini. “Pemerintah mesti berani tegas agar Bali bisa lebih bagus. Jika dibiarkan seperti ini, jelas akan semakin parah ke depannya. Harus dibuatkan regulasi yang kuat untuk melindungi yang legal dan menertibkan yang illegal,” pinta Herry Sudiarto.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Anak Agung Yuniartha, mengakui memang ada pola belanja dengan sistem wechat dan ‘jual kepala’ terkait pasar turis Tiongkok. Menurut gung Yuniartha, Dinas Pariwisata Bali tidak bisa menangani hal ini. “Karena sistem mereka online, belanja dengan barcode, bayar pakai wechat. Menempel telepon dengan barcode, itu duitnya ke negara asalnya kembali. Kami tidak bisa menyentuh ini. Ini antar negara yang harus menyelesaikan,” kata Gung Yuniartha saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu kemarin.
Gung Yuniartha menduga ada sindikat yang bermain dalam jual murah pariwisata Bali untuk pasar turis Tiongkok ini. Bahkan, pejabat di China sampai komplin dan berencana datang ke Bali untuk mengecek persoalan ini.
“Kami sudah mendengar ada pejabat China yang akan datang ke Bali untuk membicarakan ‘jual beli kepala’ dan jual murah pariwisata Bali ini, karena ada komplin dari wisatawan China usai tur ke Bali. Konjen Tiongkok di Denpasar juga komplin ke saya,” beber Gung Yuniartha.
“Ya, bagus pejabat kementerian mereka (China) datang ke Bali, nanti kita buka saja masalah ini. Cuma, untuk regulasi dan solusi, ini sudah antar negara yang harus menyelesaikan. Ini bukan ranah Dinas Pariwisata lagi, apalagi sistem online. Negara harus turun tangan. Bali nggak dapat apa-apa dari turis China yang belanja,” lanjut mantan Kepala Perwakilan Provinsi Bali di Jakarta ini. *nat
1
Komentar