IHDN Denpasar Sajikan Cerita Lubdaka
“Cerita ini sebagai sarana introspeksi diri dan mengingat bahwa siapa kita sebenarnya dan bagaimana kita harus berucap, berpikir, dan berperilaku”
Kesenian Bernuansa Renungan
DENPASAR, NusaBali
Sebagai kampus bernuansa agama, IHDN Denpasar menyajikan sebuah garapan bernuansa renungan saat Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya III, di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Minggu (14/10) malam. Renungan itu bersumber dari cerita Lubdaka dan disajikan secara artistik.
Tidak hanya melibatkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tari dan tabuh, IHDN Denpasar juga melibatkan UKM pesantian, yoga, dan drama. Dimulai dari penuturan Dewa Siwa yang mengungkapkan bahwa manusia yang berbuat tidak baik seperti mabuk, zina, dan lainnya akan mendapatkan tempat yang tidak baik pula. I Gede Tilem Pastika sebagai sutradara garapan mengatakan, inti dari garapan ini mengandung unsur introspeksi diri. “Cerita ini kami suguhkan sebagai unsur mulat sarira atau introspesksi diri,” ujarnya.
Cerita tentang Lubdaka memang erat kaitannya dengan hari raya Siwaratri yang mengisahkan pentaubatan dari Lubdakan yang notabene adalah seorang pemburu. Dalam hal ini Satyam, Shivam, dan Sundaram pun nampak dengan jelas dalam garapan ini. “Kami ingin menyajikan sebuah garapan yang tidak melupakan jati diri kami sebagai kampus yang mempelajari ilmu agama tanpa melupakan unsur seni,” kata dosen di IHDN Denpasar itu.
Tilem menambahkan, malam perenungan dosa yang dilakukan Lubdaka bukanlah sebuah kisah yang lama-kelamaan hanya menjadi pengantar dongeng atau sebatas untuk menyadarkan saat momen Siwaratri saja. “Cerita ini sebagai sarana introspeksi diri dan mengingat bahwa siapa kita sebenarnya dan bagaimana kita harus berucap, berpikir, dan berperilaku,” katanya.
Dari sisi berkreasi dalam seni, menurut Tilem, berkreasi dengan ‘liar’ itu adalah berkreasi dengan sebebas-bebasnya dengan tetap memegang pakem kesenian tradisi dan tuntunan kebaikan. “Kami sadar bahwa ini adalah media berkreasi yang dapat digunakan secara liar namun tanpa melupakan akar tradisi,” imbuh Tilem.
Sementara itu, menurut pemeran Sang Suratma dalam garapan ini, Gusti Made Dharma Putra mengungkapkan cukup sulit memerankan tokoh yang berkaitan dengan dunia keagamaan. Sang Suratma tak lain adalah salah satu asisten Dewa Yamadipati di Yama Loka yakni dunia antara surga atau neraka, dimana Sang Suratma berperan mencatat dosa dan amal perbuatan manusia semasa hidup. “Sang Suratma dikenal sebagai tokoh yang cerdas namun kocak jadi agak sulit dan merasa cukup tertantang,” tutur Dharma. *ind
DENPASAR, NusaBali
Sebagai kampus bernuansa agama, IHDN Denpasar menyajikan sebuah garapan bernuansa renungan saat Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya III, di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Minggu (14/10) malam. Renungan itu bersumber dari cerita Lubdaka dan disajikan secara artistik.
Tidak hanya melibatkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tari dan tabuh, IHDN Denpasar juga melibatkan UKM pesantian, yoga, dan drama. Dimulai dari penuturan Dewa Siwa yang mengungkapkan bahwa manusia yang berbuat tidak baik seperti mabuk, zina, dan lainnya akan mendapatkan tempat yang tidak baik pula. I Gede Tilem Pastika sebagai sutradara garapan mengatakan, inti dari garapan ini mengandung unsur introspeksi diri. “Cerita ini kami suguhkan sebagai unsur mulat sarira atau introspesksi diri,” ujarnya.
Cerita tentang Lubdaka memang erat kaitannya dengan hari raya Siwaratri yang mengisahkan pentaubatan dari Lubdakan yang notabene adalah seorang pemburu. Dalam hal ini Satyam, Shivam, dan Sundaram pun nampak dengan jelas dalam garapan ini. “Kami ingin menyajikan sebuah garapan yang tidak melupakan jati diri kami sebagai kampus yang mempelajari ilmu agama tanpa melupakan unsur seni,” kata dosen di IHDN Denpasar itu.
Tilem menambahkan, malam perenungan dosa yang dilakukan Lubdaka bukanlah sebuah kisah yang lama-kelamaan hanya menjadi pengantar dongeng atau sebatas untuk menyadarkan saat momen Siwaratri saja. “Cerita ini sebagai sarana introspeksi diri dan mengingat bahwa siapa kita sebenarnya dan bagaimana kita harus berucap, berpikir, dan berperilaku,” katanya.
Dari sisi berkreasi dalam seni, menurut Tilem, berkreasi dengan ‘liar’ itu adalah berkreasi dengan sebebas-bebasnya dengan tetap memegang pakem kesenian tradisi dan tuntunan kebaikan. “Kami sadar bahwa ini adalah media berkreasi yang dapat digunakan secara liar namun tanpa melupakan akar tradisi,” imbuh Tilem.
Sementara itu, menurut pemeran Sang Suratma dalam garapan ini, Gusti Made Dharma Putra mengungkapkan cukup sulit memerankan tokoh yang berkaitan dengan dunia keagamaan. Sang Suratma tak lain adalah salah satu asisten Dewa Yamadipati di Yama Loka yakni dunia antara surga atau neraka, dimana Sang Suratma berperan mencatat dosa dan amal perbuatan manusia semasa hidup. “Sang Suratma dikenal sebagai tokoh yang cerdas namun kocak jadi agak sulit dan merasa cukup tertantang,” tutur Dharma. *ind
Komentar