Bali Sruti-KPPI Tak Setuju 'Boikot' Pemilu 2024
Sesepuh Ingatkan BKOW Provinsi Bali Jangan Berpolitik Praktis
DENPASAR, NusaBali
Pernyataan Ketua Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Bali, AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda alias Gung Tini, yang ‘memprovokasi’ politisi Srikandi untuk tidak ikut Pemilu 2024, jika partainya tidak serius mengawal kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen dalam Pileg 2019, mendapat reaksi dari kalangan aktivis perempuan. Mereka tidak setuju provokasi tersebut. Mereka juga menyayangkan BKOW Bali yang mulai mengarah kepada kegiatan politik praktis. Padahal, BKOW semangatnya adalah kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mantan Ketua BKOW Provinsi Bali tiga kali periode (1992-2009), Ni Nyoman Masni, bukan memasalahkan pernyataan Gung Tini yang memprovokasi caleg perempuan agar boikot Pemilu 2024, kalau tidak didukung partainya di Pileg 2019. Nyoman Masni justru menyoroti kegiatan BKOW Bali yang dianggap mengarah ke politik praktis. “Dari awal saya sering sampaikan dan minta BKOW tidak boleh menyentuh politik. BKOW itu adalah organisasi sosial kewanitaan, yang menyentuh sosial perempuan. Kalau pribadi-pribadi mau berpolitik silakan, tapi jangan tarik organisasi ke ranah politik,” tandas tokoh perempuan asal Desa Dangin Puri Kauh, Kecamatan Denpasar Utara ini, Kamis (18/10).
Masni khawatir organisasi-organisasi perempuan yang bernaung di bawah BKOW akan terkotak-kotak, kalau BKOW berpolitik. “Banyak organisasi di dalam BKOW. Tadi pagi (kemarin, Red) saya baca di NusaBali, kok BKOW jadi mengarah ke dunia politik?” sesal Masni.
Justru karena tidak mau BKOW ditarik-tarik ke ranah politik, dulu Masni merintis berdirinya Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) bersama tokoh-tokoh nasional dan pendiri BKOW Pusat. KPPI diharapkan menjadi wadah perjuangan perempuan di ranah politik. KPPI resmi dibentuk tahun 2003.
“Saya mendirikan KPPI bersama tokoh-tokoh BKOW Pusat kan untuk mem-berikan wadah bagi perempuan di BKOW yang memang terjun di politik praktis. Bukan malah BKOW yang ditarik ke politik. Jadi, tidak lucu kalau BKOW ikut-ikutan mengurus politik,” tegas Srikandi Golkar ini.
Sementara, Ketua Bali Sruti Provinsi Bali (yang selama ini menjadi garda terdepan dalam mengawal kesetaraan perempuan dengan laki-laki), Luh Riniti Rahayu, mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi langkah BKOW Bali memberikan pembekalan bagi 61 caleg perempuan lintas parpol semua tingkatan yang akan tarung ke Pileg 2019. Memang seharusnya organisasi-organisasi perempuan mendukung keterwakilan perempuan sesuai dengan amanat Undang-undang.
“Namun, tentunya BKOW sebagai Badan Kerjasama Organisasi Wanita tetap harus independen dan tidak berpolitik praktis. Ini penting, agar organisasi-organisasi yang berada di dalam BKOW itu sendiri tidak terpecah belah,” ujar Riniti Rahayu di Denpasar, Kamis siang.
Menurut Riniti, sudah 3 kali Pemilu diberlakukan keterwakilan 30 persen pe-rempuan. Berdasarkan data Bali Sruti yang diungkap Riniti, ada total 403 kursi DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diperebutkan di seluruh Bali dalam setiap Pemilu. Hasilnya, dalam Pileg 2004 keterwakilan perempuan di parlemen hanya mencapai 4,5 persen. Sedangkan hasil Pileg 2009, keterwakilan perempuan naik menjadi 7,5 persen. Terakhir, dari hasil Pileg 2014, keterwakilan perempuan kembali naik menjadi 7,7 persen.
“Jadi, masih jauh sebetulnya dari target minimal keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Semoga dalam Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 mendatang, keterwakilan perempuan bisa meningkat. Usaha harus terus menerus harus dilakukan, bila belum mencapai 30 persen. Harus diperjuangkan, tidak boleh ngambul dong,” ujar akademisi dari Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar yang mantan Komisioner KPU Bali ini.
Riniti mengingatkan, UU mengakomodasi dan mendorong warga negara perempuan untuk ikut berpartisipasi. “Nah, kalau perempuan tidak mau ikut Pemilu lagi, ya kita mundur dong. Mari tetap melaju, jangan ngambul,” pinta Riniti.
Sementara itu, Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Bali, Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati, merasa disodok dengan pernyataan Gung Tini soal ajakan caleg Srikandi boikot Pemilu 2024 jika tak didukung partainya di Pileg 2019. Sri Wigunawati mengatakan, gerakan ‘ancam’ perempuan tidak ikut Pemilu 2024 bukanlah solusi untuk bisa didukung keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. “Saya tidak setuju adanya pernyataan yang bernada mengancam seperti itu. Itu bukan solusi bagi caleg perempuan untuk menembus keterwakilan 30 persen di parlemen,” sesal Wigunawati secara terpisah di Denpasar, Kamis kemarin.
Menurut Wigunawati, dirinya mengapresiasi dan dukung penguatan caleg perempuan dengan pelatihan yang diberikan BKOW Bali. Sebab, itu artinya semakin banyak yang peduli dengan perempuan. “Yang terpenting adalah membangun kesadaran perempuan, yakni penting punya wakil di legislatif dan membangun sister hood perempuan pilih perempuan,” tegas Srikandi Golkar asal Mendoyo, Jembrana ini.
Wigunawati mengingatkan tidak perlu teriak revolusioner untuk menagih utang peradaban terhadap perempuan dengan menebar provokasi caleg perempuan tidak usah ikut Pileg 2024. Karena hal itu justru merugikan perjuangan perempuan selama ini. “Namanya proses, ya harus dilakoni. Ini adalah proses perjuangan yang dilalui dengan penuh semangat. Di Amerika yang pernah saya datangi, perempuan sudah lama berjuang, baru bisa mencapai cita-citanya. Kita baru bebeapa dekade saja kok,” paparnya.
Wigunawati pun meminta caleg perempuan tetap mengisi diri, meningkatkan kualitas diri, supaya bisa bersaing. “Ya, pelan tapi pasti, sambil berproses mengikis peradaban yang tidak berpihak terhadap perempuan di politik. Bukan menyerah begitu saja, karena itu memupus harapan dan semangat perempuan,” terang mantan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Provinsi Bali dan Sekretaris DPD I Golkar Bali 2010-2012 ini.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua BKOW Bali AAA Ngurah Tini Gorda alias Gung Tini bantah lembaga yang dipimpinnya dieret ke ranah politik praktis dan menjadi terkotak-kotak. “Kami justru bekali para caleg perempuan yang berasal dari lintas partai itu dengan kemampuan politik, agar mereka bisa bersaing dalam tarung Pileg 2019. Jadi, tidak tepat jika dibilang menjadi terkotak-kotak. BKOW terkotak-kotak jika didukung satu partai. Ini kan lintas partai,” dalih Gug Tini, Kamis kemarin.
Gung Tini juga bantah dikatakan mengajak caleg perempuan ngambul jika keterwakilan perempuan dalam Pileg 2019 ini kurang maksimal. “Kami tidak bilang menurun keterwakilan perempuan di parlemen, tapi naiknya lamban sejak Pileg 2004 jika dibandingkan prosentase jumlah perempuan. Bukan berarti kami mengajak mereka ngambul. Hanya mengajarkan posisi bargaining agar partai yang menaunginya benar-benar serius ikut mengawal caleg perempuan hingga duduk di legislatif,” tegas Gung Tini.
Dia mengatakan, kegiatan yang dilakukan BKOW Bali murni keterpanggilan sebagai wadah perempuan yang punya hak kewarganegaraan untuk memilih. “Untuk itulah kami melalui salah satu program pendidikan kami melaksanakan pendidikan politik bagi perempuan. Ini dalam konteks itu,” ujarnya. “Sekali lagi kami tegaskan tak ada berpolitik praktis. Program Three Ends dari Kementrian PPPA saja saat tahun politik menjadi Program Three Ends Plus kok. Plusnya, adalah akhiri ketidakadilan politik bagi perempuan. Kenapa tidak kami yang sedang tidak mau dan siap menjadi politisi terpanggil ingin membantu teman-teman kami yang punya kemauan untuk nyaleg?” imbuhnya. *nat,edy
Pernyataan Ketua Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Bali, AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda alias Gung Tini, yang ‘memprovokasi’ politisi Srikandi untuk tidak ikut Pemilu 2024, jika partainya tidak serius mengawal kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen dalam Pileg 2019, mendapat reaksi dari kalangan aktivis perempuan. Mereka tidak setuju provokasi tersebut. Mereka juga menyayangkan BKOW Bali yang mulai mengarah kepada kegiatan politik praktis. Padahal, BKOW semangatnya adalah kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mantan Ketua BKOW Provinsi Bali tiga kali periode (1992-2009), Ni Nyoman Masni, bukan memasalahkan pernyataan Gung Tini yang memprovokasi caleg perempuan agar boikot Pemilu 2024, kalau tidak didukung partainya di Pileg 2019. Nyoman Masni justru menyoroti kegiatan BKOW Bali yang dianggap mengarah ke politik praktis. “Dari awal saya sering sampaikan dan minta BKOW tidak boleh menyentuh politik. BKOW itu adalah organisasi sosial kewanitaan, yang menyentuh sosial perempuan. Kalau pribadi-pribadi mau berpolitik silakan, tapi jangan tarik organisasi ke ranah politik,” tandas tokoh perempuan asal Desa Dangin Puri Kauh, Kecamatan Denpasar Utara ini, Kamis (18/10).
Masni khawatir organisasi-organisasi perempuan yang bernaung di bawah BKOW akan terkotak-kotak, kalau BKOW berpolitik. “Banyak organisasi di dalam BKOW. Tadi pagi (kemarin, Red) saya baca di NusaBali, kok BKOW jadi mengarah ke dunia politik?” sesal Masni.
Justru karena tidak mau BKOW ditarik-tarik ke ranah politik, dulu Masni merintis berdirinya Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) bersama tokoh-tokoh nasional dan pendiri BKOW Pusat. KPPI diharapkan menjadi wadah perjuangan perempuan di ranah politik. KPPI resmi dibentuk tahun 2003.
“Saya mendirikan KPPI bersama tokoh-tokoh BKOW Pusat kan untuk mem-berikan wadah bagi perempuan di BKOW yang memang terjun di politik praktis. Bukan malah BKOW yang ditarik ke politik. Jadi, tidak lucu kalau BKOW ikut-ikutan mengurus politik,” tegas Srikandi Golkar ini.
Sementara, Ketua Bali Sruti Provinsi Bali (yang selama ini menjadi garda terdepan dalam mengawal kesetaraan perempuan dengan laki-laki), Luh Riniti Rahayu, mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi langkah BKOW Bali memberikan pembekalan bagi 61 caleg perempuan lintas parpol semua tingkatan yang akan tarung ke Pileg 2019. Memang seharusnya organisasi-organisasi perempuan mendukung keterwakilan perempuan sesuai dengan amanat Undang-undang.
“Namun, tentunya BKOW sebagai Badan Kerjasama Organisasi Wanita tetap harus independen dan tidak berpolitik praktis. Ini penting, agar organisasi-organisasi yang berada di dalam BKOW itu sendiri tidak terpecah belah,” ujar Riniti Rahayu di Denpasar, Kamis siang.
Menurut Riniti, sudah 3 kali Pemilu diberlakukan keterwakilan 30 persen pe-rempuan. Berdasarkan data Bali Sruti yang diungkap Riniti, ada total 403 kursi DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diperebutkan di seluruh Bali dalam setiap Pemilu. Hasilnya, dalam Pileg 2004 keterwakilan perempuan di parlemen hanya mencapai 4,5 persen. Sedangkan hasil Pileg 2009, keterwakilan perempuan naik menjadi 7,5 persen. Terakhir, dari hasil Pileg 2014, keterwakilan perempuan kembali naik menjadi 7,7 persen.
“Jadi, masih jauh sebetulnya dari target minimal keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Semoga dalam Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 mendatang, keterwakilan perempuan bisa meningkat. Usaha harus terus menerus harus dilakukan, bila belum mencapai 30 persen. Harus diperjuangkan, tidak boleh ngambul dong,” ujar akademisi dari Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar yang mantan Komisioner KPU Bali ini.
Riniti mengingatkan, UU mengakomodasi dan mendorong warga negara perempuan untuk ikut berpartisipasi. “Nah, kalau perempuan tidak mau ikut Pemilu lagi, ya kita mundur dong. Mari tetap melaju, jangan ngambul,” pinta Riniti.
Sementara itu, Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Bali, Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati, merasa disodok dengan pernyataan Gung Tini soal ajakan caleg Srikandi boikot Pemilu 2024 jika tak didukung partainya di Pileg 2019. Sri Wigunawati mengatakan, gerakan ‘ancam’ perempuan tidak ikut Pemilu 2024 bukanlah solusi untuk bisa didukung keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. “Saya tidak setuju adanya pernyataan yang bernada mengancam seperti itu. Itu bukan solusi bagi caleg perempuan untuk menembus keterwakilan 30 persen di parlemen,” sesal Wigunawati secara terpisah di Denpasar, Kamis kemarin.
Menurut Wigunawati, dirinya mengapresiasi dan dukung penguatan caleg perempuan dengan pelatihan yang diberikan BKOW Bali. Sebab, itu artinya semakin banyak yang peduli dengan perempuan. “Yang terpenting adalah membangun kesadaran perempuan, yakni penting punya wakil di legislatif dan membangun sister hood perempuan pilih perempuan,” tegas Srikandi Golkar asal Mendoyo, Jembrana ini.
Wigunawati mengingatkan tidak perlu teriak revolusioner untuk menagih utang peradaban terhadap perempuan dengan menebar provokasi caleg perempuan tidak usah ikut Pileg 2024. Karena hal itu justru merugikan perjuangan perempuan selama ini. “Namanya proses, ya harus dilakoni. Ini adalah proses perjuangan yang dilalui dengan penuh semangat. Di Amerika yang pernah saya datangi, perempuan sudah lama berjuang, baru bisa mencapai cita-citanya. Kita baru bebeapa dekade saja kok,” paparnya.
Wigunawati pun meminta caleg perempuan tetap mengisi diri, meningkatkan kualitas diri, supaya bisa bersaing. “Ya, pelan tapi pasti, sambil berproses mengikis peradaban yang tidak berpihak terhadap perempuan di politik. Bukan menyerah begitu saja, karena itu memupus harapan dan semangat perempuan,” terang mantan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Provinsi Bali dan Sekretaris DPD I Golkar Bali 2010-2012 ini.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua BKOW Bali AAA Ngurah Tini Gorda alias Gung Tini bantah lembaga yang dipimpinnya dieret ke ranah politik praktis dan menjadi terkotak-kotak. “Kami justru bekali para caleg perempuan yang berasal dari lintas partai itu dengan kemampuan politik, agar mereka bisa bersaing dalam tarung Pileg 2019. Jadi, tidak tepat jika dibilang menjadi terkotak-kotak. BKOW terkotak-kotak jika didukung satu partai. Ini kan lintas partai,” dalih Gug Tini, Kamis kemarin.
Gung Tini juga bantah dikatakan mengajak caleg perempuan ngambul jika keterwakilan perempuan dalam Pileg 2019 ini kurang maksimal. “Kami tidak bilang menurun keterwakilan perempuan di parlemen, tapi naiknya lamban sejak Pileg 2004 jika dibandingkan prosentase jumlah perempuan. Bukan berarti kami mengajak mereka ngambul. Hanya mengajarkan posisi bargaining agar partai yang menaunginya benar-benar serius ikut mengawal caleg perempuan hingga duduk di legislatif,” tegas Gung Tini.
Dia mengatakan, kegiatan yang dilakukan BKOW Bali murni keterpanggilan sebagai wadah perempuan yang punya hak kewarganegaraan untuk memilih. “Untuk itulah kami melalui salah satu program pendidikan kami melaksanakan pendidikan politik bagi perempuan. Ini dalam konteks itu,” ujarnya. “Sekali lagi kami tegaskan tak ada berpolitik praktis. Program Three Ends dari Kementrian PPPA saja saat tahun politik menjadi Program Three Ends Plus kok. Plusnya, adalah akhiri ketidakadilan politik bagi perempuan. Kenapa tidak kami yang sedang tidak mau dan siap menjadi politisi terpanggil ingin membantu teman-teman kami yang punya kemauan untuk nyaleg?” imbuhnya. *nat,edy
Komentar