Konsumsi Teh di Indonesia Menurun
Industri teh tanah air mulai mengkhawatirkan. Salah satu produsen teh ternama PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (SAEA) telah dinyatakan pailit.
JAKARTA, NusaBali
Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia (DTI) Suharyo Husen mengatakan industri teh memang tidak sebaik saat masa jayanya di tahun 70-an. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya juga konsumsi masyarakat yang tidak tumbuh.
"Dari produksi industri teh nasional 130 ribu ton per tahun, 70 ribu ton itu ekspor, 60 ribu ton di dalam negeri. Konsumsi di dalam negeri juga belum maksimal," tuturnya dikutip detikFinance, Kamis (18/10).
Menurut catatan Suharyo, jumlah konsumsi teh tanah air saat ini sekitar 350 gram per tahun per kapita. Angka itu masih sama dengan jumlah konsumsi per kapita di tahun 70an saat industri teh berjaya. "Dulu 350 gram per tahun perkapita kan kondisinya beda dengan sekarang. Dulu penduduk kita masih sedikit, sekarang penduduk kita sudah 260 juta lebih," tambahnya.
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita penduduk RI, seharusnya konsumsi teh juga ikut meningkat. Jika tidak, maka bisa diartikan masyarakat yang mengonsumsi teh menurun. "Waktu 70-an itu kan kita sedang jaya-jayanya produk teh kita. Produk kita juga sempat digemari di Amerika Serikat," ujarnya.
Pemerintah dan para pengusaha teh berharap konsumsi teh masyarakat RI bisa meningkat menjadi 500 gram per tahun per kapita. Jika naik ke angka itu maka jumlah produksi teh yang dikonsumsi di tanah air meningkat menjadi 130 ribu ton per tahun. "Makanya perlu meningkatkan produktivitas, kalau bisa 400 ribu ton per tahun," ujarnya.
Sebaliknya Kementerian Perindustrian menilai kepailitan produsen teh Sariwangi dan anak usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub) tidak akan mempengaruhi industri makanan dan minuman nasional.
"Kepailitannya 'kan lebih terkait manajemen internal perusahaan, bukan karena iklim investasi. Oleh karena itu kami tidak melihat ada dampak signifikan terhadap industri," kata Direktur Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Abdul Rochim saat dihubungi di Jakarta, Kamis (18/10).
Rochim menyampaikan, dengan kepailitan Sariwangi, maka kemungkinan besar industri serupa lainnya akan mengisi pasar yang ditinggalkan perusahaan tersebut. "Biasanya 'kan seperti itu, pasar yang tadinya diisi oleh Sariwangi akan digantikan oleh produsen teh yang lain," katanya.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi AEA) dan anak usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub) melakukan ingkar janji atau wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian atau homologasi dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terdahulu.
Menurut Hakim Ketua Abdul Kohar dalam pertimbangannya, wanprestasi karena kedua perseroan lalai melakukan pembayaran cicilan utang bunga. Sampai dengan jatuh waktu pada 20 Maret 2017, Sariwangi AEA dan Indorub, tidak bisa membuktikan telah menunaikan kewajibannya kepada PT Bank ICBC Indonesia (ICBC) selaku pemohon. *ant
Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia (DTI) Suharyo Husen mengatakan industri teh memang tidak sebaik saat masa jayanya di tahun 70-an. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya juga konsumsi masyarakat yang tidak tumbuh.
"Dari produksi industri teh nasional 130 ribu ton per tahun, 70 ribu ton itu ekspor, 60 ribu ton di dalam negeri. Konsumsi di dalam negeri juga belum maksimal," tuturnya dikutip detikFinance, Kamis (18/10).
Menurut catatan Suharyo, jumlah konsumsi teh tanah air saat ini sekitar 350 gram per tahun per kapita. Angka itu masih sama dengan jumlah konsumsi per kapita di tahun 70an saat industri teh berjaya. "Dulu 350 gram per tahun perkapita kan kondisinya beda dengan sekarang. Dulu penduduk kita masih sedikit, sekarang penduduk kita sudah 260 juta lebih," tambahnya.
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita penduduk RI, seharusnya konsumsi teh juga ikut meningkat. Jika tidak, maka bisa diartikan masyarakat yang mengonsumsi teh menurun. "Waktu 70-an itu kan kita sedang jaya-jayanya produk teh kita. Produk kita juga sempat digemari di Amerika Serikat," ujarnya.
Pemerintah dan para pengusaha teh berharap konsumsi teh masyarakat RI bisa meningkat menjadi 500 gram per tahun per kapita. Jika naik ke angka itu maka jumlah produksi teh yang dikonsumsi di tanah air meningkat menjadi 130 ribu ton per tahun. "Makanya perlu meningkatkan produktivitas, kalau bisa 400 ribu ton per tahun," ujarnya.
Sebaliknya Kementerian Perindustrian menilai kepailitan produsen teh Sariwangi dan anak usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub) tidak akan mempengaruhi industri makanan dan minuman nasional.
"Kepailitannya 'kan lebih terkait manajemen internal perusahaan, bukan karena iklim investasi. Oleh karena itu kami tidak melihat ada dampak signifikan terhadap industri," kata Direktur Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Abdul Rochim saat dihubungi di Jakarta, Kamis (18/10).
Rochim menyampaikan, dengan kepailitan Sariwangi, maka kemungkinan besar industri serupa lainnya akan mengisi pasar yang ditinggalkan perusahaan tersebut. "Biasanya 'kan seperti itu, pasar yang tadinya diisi oleh Sariwangi akan digantikan oleh produsen teh yang lain," katanya.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi AEA) dan anak usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub) melakukan ingkar janji atau wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian atau homologasi dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terdahulu.
Menurut Hakim Ketua Abdul Kohar dalam pertimbangannya, wanprestasi karena kedua perseroan lalai melakukan pembayaran cicilan utang bunga. Sampai dengan jatuh waktu pada 20 Maret 2017, Sariwangi AEA dan Indorub, tidak bisa membuktikan telah menunaikan kewajibannya kepada PT Bank ICBC Indonesia (ICBC) selaku pemohon. *ant
1
Komentar