Masuk Tarian Sakral, Rejang Renteng Jangan Disalahfungsikan
Versi Ida Ayu Made Diasrini, Tari Rejang Renteng tidak boleh untuk tontonan (balih-balihan), karena itu sudah beda fungsi. Tari Rejang Renteng juga tidak boleh digunakan untuk kegatan partai politik atau menyambut tamu, karena peruntukannya buat Wali dan Bebali
Peneliti Ida Ayu Made Diastini Sosialisasikan Pakem Tari Rejang Renteng
SINGARAJA, NusaBali
Peneliti sekaligus penekun Tari Rejang Renteng, Ida Ayu Made Diastini, menyatakan Tari Rejang Renteng adalah tarian sakral yang termasuk dalam kesenian Wali dan Bebali. Namun, belakangan Tari Rejang Renteng begitu digandrungi kaum perempuan untuk ditarikan sacara massal. Ida Ayu (Dayu) Made Diasrini pun mengingatkan agar Tari Rejang Renteng jangan disalahfungsikan.
Pemaparan ini disampaikan Dayu Made Diasrini dalam seminar serangkaian ‘Gelar Seni Budaya (Gasebu) Kecamatan Sukasada’ di Kelurahan/Kecamatan Sukasada, Buleleng, Minggu (21/10). Seminar ini merupakan bagian dari sosialisasi keliling daerah yang dilakukan Dayu Diasrini untuk meluruhkan kembali pementasan Tari Rejang Renteng yang belakangan dianggap tidak pada tempatnya.
Dalam seminar kemarin, Dayu Diasrini secara gamblang memaparkan pakem dan ketentuan Tari Rejang Renteng yang sedang menjamur belakangan. Menurut Dayu Diasrini, Tari Rejang Renteng merupakan tarian sakral Wali dan Bebali yang dikembangkan oleh Dinas Kebudyaan Provinsi Bali sejak tahun 1999.
“Tarian sakral ini awalnya terinspirasi oleh Tari Renteng, sebuah tarian sakral yang sangat tua di Banjar Adat Saren, Desa Pakraman Mujaning Tambeling, Desa Batumadeg, Klungkung,” papar Dayu Diasrini yang kini menjadi Staf Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Dalam pengembangannya, lanjut Dayu Diasrini, Tari Rejang Renteng masuk kategori tari Wali dan Bebali. Pengembangan yang dilakukan itu disebut sebagai wadah bagi ibu-ibu untuk ngayah di pura. Tari Rejang Renteng pun dapat dibawakan dalam rangkaian piodalan di pura-pura. Selain itu, Tari Rejang Renteng juga dapat dibawakan saat upacara melasti. “Karena banyak berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya, maka tarian ini masuk dalam kelompok tari Wali,” jelas almunus ISI Denpasar ini.
Namun, kata Dayu Diasrini, di beberapa sisi, Tari Rejang Renteng juga dapat dibawakan dalam kegiatan upacara Manusa Yadnya. Bahkan, tarian sakral ini juga dibawakan dalam acara lomba desa, Porseni, pekan budaya, pentas budaya, maupun festival. “Itu bisa dilakukan sepanjang diawali dengan ritual upacara, sehingga Tari Rejang Renteng dapat dimasukkan dalam ketagori tari Bebali,” tandas Dayu Diasrini.
Hanya saja, kata Dayu Diasrini, belakangan sejumlah masyarakat yang belum paham fungsi dan makna Tari Rejang Renteng, justru mementaskannya tidak sesuai tempatnya. Bahkan, ada yang mengubah pakem busana Tari Rejang Renteng yang seharusnya. “Tari Rejang Renteng tidak boleh untuk tontonan (balih-balihan), itu sudah beda fungsinya. Tarian ini juga tidak boleh untuk kegatan partai politik, tak bisa digunakan menyambut tamu. Tari Rejang Renteng ini hanya untuk Wali dan Bebali,” tegasnya.
Dayu Diasrini juga mewanti-wanti busana yang digunakan dalam menarikan Tari Rejang Renteng. Busana Tari Rejang Rentang hanya kebaya polos warna putih, dengan kain (kamben) dan selendang warna kuning. Dayu Diasrini menolak dengan tegas jika ada krama yang mementaskan Tari Rejang Renteng dengan warna busana di luar pakem.
“Tidak boleh itu. Warna busananya hanya putih kuning, tidak bisa diganti warna lain, karena semua ada maknanya. Termasuk payasan (riasan penari) tidak boleh berlebihan, hanya pusung tagel dengan sasakan sederhana, mecelek bunga jepun alami tapa perhiasan yang berlebihan,” imbuhnya.
Dayu Diasrini menjelaskan, jika dalam sebuah pementasan Tari Rejang Renteng, krama mneginginkan pemotongan gerak tarian, juga harus disesuaikan juga dengan ketentuan. Tarian Rejang Renteng yang juga mengadopsi gerakan Tari Pendet dan Rjang Dewa, hanya boleh dipotong saat bagian pengawak (inti) saja. Bagian pengawak yang biasanya ditarikan lima kali, dapat ditarikan tiga kali. Namun, tidak boleh diiringi dengan gambelan angklung berdaun empat yang dikhususkan sebagai alat musik pengiring upacara Pitra Yadnya.
Dengan fenomena yang ada sekarang, Dayu Diasrini berharap masyrakat benar-benar memahami makna dan filosofi serta sebatas mana pengembangan Tari Rejang Renteng. “Jangan sampai terjadi salah kaprah dalam pelaksanaan budaya yang berpengaruh pada hilangnya nilai kesakralan sebuah tari Wali,” ujar perempuan asal Gianyar yang getol lakukan penggalian Tari Rejang Renteng sejak tahun 1999 ini.
Sementara itu, Camat Sukasada, Made Dwi Adnyana, mengatakan seminar Tari Rejang Renteng tersebut digelar untuk menyatukan persepsi pandangan terkait pemahaman dan pakem tentang tarian sakral ini. Momentum seminar ini diambil saat kegiatan Gesebu Kecamatan Sukasana, 19-22 Oktober 2018.
“Kami berangkat dari polemik di masyarakat tentang perbedaan pandangan Tari Rejang Renteng yang sedang booming saat ini. Dengan seminar dan workshop ini, kami ingin menyamakan persepsi di masyarakat, sehingga ke depannya publik memiliki referensi dan tidak ragu lagi saat menarikan Tari Rejang Renteng,” tandas Camat Dwi Adnyana saat acara seminar, Minggu kemarin. *k23
Komentar