Digempur Teknologi, Industri Musik Bali Kian Lesu
Cassette Store Day Bali 2018 di Plaza Renon
DENPASAR, NusaBali
Blantika musik Bali memang selalu berwarna. Namun tidak demikian dengan industri musiknya. Belakangan ini, banyak toko kaset yang tutup, bahkan tidak banyak yang mampu bertahan. Produksi kaset atau DVD pun jarang ditemui saat ini, karena kebanyakan penyanyi saat ini hanya merilis single, lalu promosinya pun semakin mudah dengan bantuan teknologi dan media sosial saat ini.
Itulah mengapa para produser kini pun harus hitung-hitungan resiko jika masih menerapkan produksi album seperti dulu. Hal ini dirasakan betul oleh pemilik Jayagiri Production, IGN ‘Rahman’ Murthana. Sebagai seorang produser, Rahman sangat menyadari perkembangan digital berdampak pada industri musik Bali dalam bentuk rilisan fisik.
“Kita mendapatkan imbas atau efek negatif itu, walaupun itu tidak salah. Kalau menurut tiang secara pribadi, kita harus mengikuti teknologi yang berkembang itu, karena kita tidak bisa mengelak dari hal tersebut. Tidak bisa berpikir ke belakang terus. Coba kita lihat, kaset dan DVD sekarang saja sudah langka,” ujar Rahman dalam sebuah talkshow pada acara Cassette Store Day Bali 2018 di Plaza Renon, Minggu (21/10).
Kendati demikian, menurut Rahman, bila ingin rilisan fisik tetap bertahan, maka yang diperlukan adalah terobosan dan perlindungan. Sebab versi Rahman, produksi rilisan fisik saat ini sudah dalam kategori ‘kritis’. “Ada celah untuk bangkit lagi sebenarnya, jika kita dilindungi. Saya di Bali khususnya, masih banyak yang ingin mendengarkan itu, tidak melalui teknologi. Tapi yang masih diproduksi secara kaset tape itu seperti kaset kidung, kekawin, karena pangsanya tradisional, ke desa,” katanya.
Rahman berharap, semangat berkarya musisi Bali ini bisa dilindungi oleh pihak-pihak terkait. Tentunya agar karya musisi terproteksi dari segala bentuk pembajakan. “Ambil contoh ketika kita nyeberang laut ke Jawa, dalam kapal feri, coba perhatikan CD dangdut yang diputar. Itu original. Setelah saya telusuri, ternyata asosiasi pekerja musik di sana dengan lembaga terkait seperti kepolisian, kejaksaaan, gubernur, itu sudah ada kesepakatan atau MoU. Jadi tidak ada yang berani menjual barang bajakan. Saya berharap bisa seperti itu juga di Bali,” terangnya.
Rahman sebenarnya dari dulu sudah mengharapkan hal tersebut. Sebagai Ketua Pramusti Bali, ia merasa memiliki tanggung jawab moral akan hal ini. Namun hal tersebut belum kesampaian sampai saat ini karena berbagai kendala. Ia berharap pemerintahan yang baru yang sudah memulai gebrakan terhadap bahasa, aksara dan sastra Bali, juga turut memperhatikan musik Bali. “Gubernur sudah mengeluarkan Pergub tentang bahasa, aksara, dan sastra Bali, serta peraturan berpakaian adat Bali. Ini kan bagus sekali sebagai sebuah perlindungan. Ini juga saya harapkan dilakukan juga terhadap industri musik Bali,” tandasnya.
Sekedar diketahui, Rahman mengaku awalnya hanya sekedar hobi membangun rumah produksi Jayagiri Production. Ini berawal saat sang adik, Rah Tut (XXX) yang tiba-tiba membuat sebuah lagu Bali dengan format band pada tahun 2003. Aliran musik yang diusung yakni rock dikolaborasikan dengan rap. Rahman merasa lagu tersebut bisa ‘menjual’. Maka, pada saat itu dibuatlah album untuk pertama kalinya dari rumah produksi Jayagiri Production.
Seiring berjalannya waktu, banyak artis yang berada di bawah naungan Jayagiri Production. Mulai dari XXX, Nanoe Biroe, D’Ubud Band, Bintang Band, 4WD, Dian AFI, hingga Benny (vocalis Crazy Horse). “Di situ ada kebangaan saya bisa mengorbitkan mereka. Tapi dengan kondisi yang sekarang, dengan adanya teknologi yang semakin canggih, kita terpapar,” pungkas Rahman. *ind
Itulah mengapa para produser kini pun harus hitung-hitungan resiko jika masih menerapkan produksi album seperti dulu. Hal ini dirasakan betul oleh pemilik Jayagiri Production, IGN ‘Rahman’ Murthana. Sebagai seorang produser, Rahman sangat menyadari perkembangan digital berdampak pada industri musik Bali dalam bentuk rilisan fisik.
“Kita mendapatkan imbas atau efek negatif itu, walaupun itu tidak salah. Kalau menurut tiang secara pribadi, kita harus mengikuti teknologi yang berkembang itu, karena kita tidak bisa mengelak dari hal tersebut. Tidak bisa berpikir ke belakang terus. Coba kita lihat, kaset dan DVD sekarang saja sudah langka,” ujar Rahman dalam sebuah talkshow pada acara Cassette Store Day Bali 2018 di Plaza Renon, Minggu (21/10).
Kendati demikian, menurut Rahman, bila ingin rilisan fisik tetap bertahan, maka yang diperlukan adalah terobosan dan perlindungan. Sebab versi Rahman, produksi rilisan fisik saat ini sudah dalam kategori ‘kritis’. “Ada celah untuk bangkit lagi sebenarnya, jika kita dilindungi. Saya di Bali khususnya, masih banyak yang ingin mendengarkan itu, tidak melalui teknologi. Tapi yang masih diproduksi secara kaset tape itu seperti kaset kidung, kekawin, karena pangsanya tradisional, ke desa,” katanya.
Rahman berharap, semangat berkarya musisi Bali ini bisa dilindungi oleh pihak-pihak terkait. Tentunya agar karya musisi terproteksi dari segala bentuk pembajakan. “Ambil contoh ketika kita nyeberang laut ke Jawa, dalam kapal feri, coba perhatikan CD dangdut yang diputar. Itu original. Setelah saya telusuri, ternyata asosiasi pekerja musik di sana dengan lembaga terkait seperti kepolisian, kejaksaaan, gubernur, itu sudah ada kesepakatan atau MoU. Jadi tidak ada yang berani menjual barang bajakan. Saya berharap bisa seperti itu juga di Bali,” terangnya.
Rahman sebenarnya dari dulu sudah mengharapkan hal tersebut. Sebagai Ketua Pramusti Bali, ia merasa memiliki tanggung jawab moral akan hal ini. Namun hal tersebut belum kesampaian sampai saat ini karena berbagai kendala. Ia berharap pemerintahan yang baru yang sudah memulai gebrakan terhadap bahasa, aksara dan sastra Bali, juga turut memperhatikan musik Bali. “Gubernur sudah mengeluarkan Pergub tentang bahasa, aksara, dan sastra Bali, serta peraturan berpakaian adat Bali. Ini kan bagus sekali sebagai sebuah perlindungan. Ini juga saya harapkan dilakukan juga terhadap industri musik Bali,” tandasnya.
Sekedar diketahui, Rahman mengaku awalnya hanya sekedar hobi membangun rumah produksi Jayagiri Production. Ini berawal saat sang adik, Rah Tut (XXX) yang tiba-tiba membuat sebuah lagu Bali dengan format band pada tahun 2003. Aliran musik yang diusung yakni rock dikolaborasikan dengan rap. Rahman merasa lagu tersebut bisa ‘menjual’. Maka, pada saat itu dibuatlah album untuk pertama kalinya dari rumah produksi Jayagiri Production.
Seiring berjalannya waktu, banyak artis yang berada di bawah naungan Jayagiri Production. Mulai dari XXX, Nanoe Biroe, D’Ubud Band, Bintang Band, 4WD, Dian AFI, hingga Benny (vocalis Crazy Horse). “Di situ ada kebangaan saya bisa mengorbitkan mereka. Tapi dengan kondisi yang sekarang, dengan adanya teknologi yang semakin canggih, kita terpapar,” pungkas Rahman. *ind
Komentar