Sukarmi Seorang Disabilitas Punya 3 Indra Tujuan
Sutaradara Kadek Sonia Piscayanti mengakui pementasan kali ini merupakan tantangan tersulit
Teater ‘11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah’
SINGARAJA, NusaBali
Pementasan monolog project ‘11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah’ semakin istimewa. Memasuki pementasan ketujuh, sutradara Kadek Sonia Piscayanti menghadirkan Sukarmi seorang disabilitas. Ibu tuli bisu itu memerankan hidupnya yang keras dengan semangat ketiga orang anaknya.
Sukarmi satu diantara 11 ibu dengan berbagai latar belakang terpilih mewakili ungkapan perempuan. Pementasannya dilakukan dengan sangat sederhana di rumahnya sendiri di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada Buleleng, Minggu (21/10) malam. Ia dengan keterbatasannya, menceritakan kisah hidupnya yang sangat pelik. Penampilan monolog Sukarmi semakin ideal dibantu oleh 10 ibu, anak pertamanya, sutradara dan seorang pemain pantomime dari Sekolah Luar Biasa (SLB) 1 Buleleng.
Seluruh pemain pendukung itu pun berperan sebagai Sukarmi. Menerjemahkan setiap jengkal kisah hidup Sukarmi yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh dan isyarat. Dalam naskahnya berjudul ‘Saya Punya 3 Indra Tujuan’ yang ditulis sekaligus disutradarai Kadek Sonia Piscayanti, menceritakan mengenai kisah Sukarmi seorang disabilitas. Ia juga memiliki rasa cinta. Ia pernah menikah. Suami pertamanya pergi, saat ia melahirkan anak perempuan. Ia menikah lagi. Kali ini ia melahirkan anak perempuan lagi. Suaminya pun meninggalkannya lagi.
Belum lama ini, ia menikah untuk ketiga kalinya. Suaminya juga seorang disabilitas tuli-bisu. Kali ini ia melahirkan anak lelaki. Sehat, gemuk, lengkap, dan normal. Ia tak tahu apakah suaminya akan meninggalkan dirinya. Semenjak ditinggal suami pertama dan keduanya, ia tak pernah diberi nafkah. Ia berusaha, menghidupi anaknya semaksimal mungkin. Setiap hari Sukarmi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Dalam sehari ia bisa membersihkan empat hingga lima rumah. Ia terus bekerja sampai lupa bermimpi. Bagi Sukarmi tujuan hidupnya adalah anak-anaknya. Meski tidak punya indra yang lengkap, Sukarmi merasa bahagia bersama anak-anaknya. Dengan kehadiran ketiga anaknya ia pun mengaku memiliki 3 indra dan tujuan. Anak pertamanya dinilainya sebagai mata, anak kedua sebagai rasa dan anak bungsu laki-lakinya disebutnya sebagai tujuan hidup.
Menurut sutaradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti, pementasan kali ini merupakan tantangan tersulit sejauh ini. Sangat sulit mengajar Sukarmi membaca naskah. Membaca naskah juga menyulitkan Sukarmi dalam melakukan gerak bahasa isyarat. “Ini cukup sulit bagi saya, karena ternyata naskah juga menyulitkannya untuk bergerak, belum lagi dia terus menangis. Akhirnya saya potong naskah seringkas mungkin dan membantunya dengan menghadirkan pemain pendukung lainnya,” ungkap dosen Bahasa Inggris Undiksha itu.
Sementara itu salah seorang penonton, Clare Strahn seorang dosen di RMIT University Singapura, sangat tertarik dengan pementasan itu. Bahkan ia yang sedang berkunjung ke Buleleng dengan visi pendidikan, begitu intens menonton selama pementasan. “Saya tidak begitu tahu bahasa isyarat. Tapi intonasi suara, emosi, tatapan matanya, bisa menyampaikan pesan. Bisa kamu bayangkan bagaimana sulitnya menjadi dia bila ingin menyampaikan sesuatu. Sedangkan dia tidak bisa bicara. Saya tertarik sekali dengan pementasan ini. Sangat indah,” akunya. *k23
SINGARAJA, NusaBali
Pementasan monolog project ‘11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah’ semakin istimewa. Memasuki pementasan ketujuh, sutradara Kadek Sonia Piscayanti menghadirkan Sukarmi seorang disabilitas. Ibu tuli bisu itu memerankan hidupnya yang keras dengan semangat ketiga orang anaknya.
Sukarmi satu diantara 11 ibu dengan berbagai latar belakang terpilih mewakili ungkapan perempuan. Pementasannya dilakukan dengan sangat sederhana di rumahnya sendiri di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada Buleleng, Minggu (21/10) malam. Ia dengan keterbatasannya, menceritakan kisah hidupnya yang sangat pelik. Penampilan monolog Sukarmi semakin ideal dibantu oleh 10 ibu, anak pertamanya, sutradara dan seorang pemain pantomime dari Sekolah Luar Biasa (SLB) 1 Buleleng.
Seluruh pemain pendukung itu pun berperan sebagai Sukarmi. Menerjemahkan setiap jengkal kisah hidup Sukarmi yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh dan isyarat. Dalam naskahnya berjudul ‘Saya Punya 3 Indra Tujuan’ yang ditulis sekaligus disutradarai Kadek Sonia Piscayanti, menceritakan mengenai kisah Sukarmi seorang disabilitas. Ia juga memiliki rasa cinta. Ia pernah menikah. Suami pertamanya pergi, saat ia melahirkan anak perempuan. Ia menikah lagi. Kali ini ia melahirkan anak perempuan lagi. Suaminya pun meninggalkannya lagi.
Belum lama ini, ia menikah untuk ketiga kalinya. Suaminya juga seorang disabilitas tuli-bisu. Kali ini ia melahirkan anak lelaki. Sehat, gemuk, lengkap, dan normal. Ia tak tahu apakah suaminya akan meninggalkan dirinya. Semenjak ditinggal suami pertama dan keduanya, ia tak pernah diberi nafkah. Ia berusaha, menghidupi anaknya semaksimal mungkin. Setiap hari Sukarmi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Dalam sehari ia bisa membersihkan empat hingga lima rumah. Ia terus bekerja sampai lupa bermimpi. Bagi Sukarmi tujuan hidupnya adalah anak-anaknya. Meski tidak punya indra yang lengkap, Sukarmi merasa bahagia bersama anak-anaknya. Dengan kehadiran ketiga anaknya ia pun mengaku memiliki 3 indra dan tujuan. Anak pertamanya dinilainya sebagai mata, anak kedua sebagai rasa dan anak bungsu laki-lakinya disebutnya sebagai tujuan hidup.
Menurut sutaradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti, pementasan kali ini merupakan tantangan tersulit sejauh ini. Sangat sulit mengajar Sukarmi membaca naskah. Membaca naskah juga menyulitkan Sukarmi dalam melakukan gerak bahasa isyarat. “Ini cukup sulit bagi saya, karena ternyata naskah juga menyulitkannya untuk bergerak, belum lagi dia terus menangis. Akhirnya saya potong naskah seringkas mungkin dan membantunya dengan menghadirkan pemain pendukung lainnya,” ungkap dosen Bahasa Inggris Undiksha itu.
Sementara itu salah seorang penonton, Clare Strahn seorang dosen di RMIT University Singapura, sangat tertarik dengan pementasan itu. Bahkan ia yang sedang berkunjung ke Buleleng dengan visi pendidikan, begitu intens menonton selama pementasan. “Saya tidak begitu tahu bahasa isyarat. Tapi intonasi suara, emosi, tatapan matanya, bisa menyampaikan pesan. Bisa kamu bayangkan bagaimana sulitnya menjadi dia bila ingin menyampaikan sesuatu. Sedangkan dia tidak bisa bicara. Saya tertarik sekali dengan pementasan ini. Sangat indah,” akunya. *k23
Komentar