Menggagahi Bali
Ada istilah ‘gagah-gagahan’, yang berarti seseorang melakukan sesuatu di luar batas kemampuan. Ia diramalkan bakalan menuai bencana.
Aryantha Soethama
Pengarang
Seseorang ngebut naik motor di jalan raya, di antara deru mobil berseliweran, ia dicap gagah-gagahan, karena semua orang tahu ia bukan pebalap profesional, tapi pengendara motor amatiran. Kalau Valentino Rossi menunggangi motor ngebut di lintasan MotoGP, orang-orang riuh bertepuk tangan, dan berseru, “Valentino itu benar-benar gagah di atas motor.” Padahal bintang film Leonardo DiCaprio jauh lebih gagah.
Gagah berarti tampan, juga bermakna hebat. Orang gagah tubuhnya tegap dan bertenaga, kalau sudah tua renta, masih berdiri tegak dan kuat jalan kaki. Orang gagah itu tampak mulia, disegani. Dalam banyak cerita dan dongeng, laki-laki gagah penyelamat bumi dari bencana. Atau, orang gagah itu pangeran yang menikahi putri jelita. Padahal banyak pahlawan nyata, memenangi perang, tubuhnya tidak tegap, tapi kerempeng, dan suaranya melengking bak tercekik. Namun ia disegani dan ditakuti. Dalam banyak film orang-orang tegap dan gagah berotot, bukan laki-laki kurus kering, menjadi penyelamat.
Lalu, ada istilah ‘menggagahi’, yang berarti menelanjangi, memperkosa, menguasai milik orang lain dengan kekerasan dan paksaan. Istilah ‘menggagahi’ ini tentu tak ada hubungan langsung dengan ‘gagah’ atau ‘gagah-gagahan’, namun kadang bisa juga punya kaitan. Misalnya, seorang anak muda agar kelihatan gagah, ia pun ‘gagah-gagahan’ menggagahi seorang gadis. Ia seret seorang wanita belia ke gubuk kosong selepas petang, lalu dia gagahi, memperkosa gadis malang yang meronta-ronta. Kepada kawan-kawannya, lelaki ia bercerita kalau ia sudah menggagahi tiga wanita tanpa terendus polisi, dan kini ketagihan memperkosa.
Teman-teman laki-laki itu yang kumpul-kumpul sambil menenggak arak bertanya, “Siapa wanita pertama yang kamu perkosa?”
“Pacarku, pacarku korban pertama,” ujarnya penuh nikmat.
Si teman bertanya, kalau pacar kan tak perlu diperkosa, minta saja baik-baik. “Mungkin aku tidak memperkosa ya, cuma menggagahi. Karena ia tak mau dan meronta, ya kuperkosa saja,” jelasnya enteng sambil manggut-manggut menyedot rokok kretek.
Orang gagah, tegap, kekar, tentu tak sedikit yang menggagahi. Tapi, mungkinkah orang gagah digagahi? Mungkin saja, karena menggagahi tidak selalu berhubungan dengan gelegak seks, tapi juga berarti penguasaan dan paksaan. Ketika Belanda menjajah Indonesia, banyak sekali laki-laki gagah yang dipaksa bekerja rodi oleh penjajah, tidak dibayar, akhirnya mencret, kurus kering mati kelaparan. Laki-laki yang dulu gagah, berotot, akhirnya terkulai layu karena digagahi penjajah.
Orang gagah digagahi, bisa mengingatkan kita pada nasib Bali, pulau yang eksotis, romantis, dan selalu menjadi perbincangan dunia. Bali itu dilindungi dewa-dewa yang tampan dan raksasa-raksasa gagah, yang semestinya membuat ciut nyali siapa pun yang hendak menguasai Bali. Tapi, dari ke hari, tanpa disadari Bali dikuasai dan digagahi oleh manusia seantero penjuru dunia. Semakin sering terpetik berita tanah-tanah di Bali dijual dan dikuasai oleh orang luar. Banyak yang mengeluh, hotel-hotel dan tempat wisata bukan lagi milik orang Bali. Keluhan dan gumam Bali sudah dikuasai orang luar kian sering mengalun. Orang Bali bukan lagi tuan di negeri sendiri. Mereka cuma tokoh dan pelaku penting jika menyelenggarakan ritual adat dan agama. Bukankah itu pertanda, Bali yang gagah sudah digagahi?
Digagahi bisa berarti ditelanjangi, yang seharusnya ditutup dibuat terbuka, sehingga orang telanjang malu jadinya. Tapi, banyak orang sengaja telanjang untuk mendapatkan banyak uang, menjadi bintang film porno atau berpose dengan bayaran mahal untuk majalah yang mempertontonkan kemolekan tubuh. Bertelanjang, digagahi, itu bisa menjadi bisnis besar menggiurkan. Tentu, etika dan malu harus dibuang jauh-jauh ketika menerima bayaran sebagai sosok yang digagahi.
Mungkin acap orang Bali tidak menyadari mereka sudah telanjang. Lazimnya mereka tetap membela diri dengan menyatakan, mereka terus menjaga tradisi yang menjadi benteng dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, karena mereka menerima orang-orang luar ke dalam benteng, tanpa disadari, orang Bali digagahi di dalam benteng. Belum sepuluh tahun terakhir, para pakar sosiologi dan pariwisata senang menjelaskan keadaan itu dengan menyebut Bali sebagai benteng terbuka (open fortress). Salah siapa, jika Bali akhirnya telanjang seperti tak tahu malu?
Atau, jangan-jangan orang Bali sendiri yang gigih menggagahi Bali. Seperti penari striptis (silakan tonton Demi Moore dalam film Striptease) yang lenggang-lenggok di panggung melepas baju, kutang, celana, pelan-pelan, satu-satu penuh gelegak, sampai akhirnya telanjang bulat. Penonton gemuruh suit-suit tepuk tangan, dan dengan girang si penari menerima bayaran. 7
Komentar